Beranda / Berita / Aceh / Penjelasan YEL Terkait Perdagangan Satwa Lindung Sulit di Hentikan

Penjelasan YEL Terkait Perdagangan Satwa Lindung Sulit di Hentikan

Senin, 24 Januari 2022 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Petugas Badan Konservasi Alam Indonesia (BKSDA) bersiap untuk melepaskan Kukang Sumatra (Nycticebus coucang) di kawasan hutan Aceh Besar, Aceh, Kamis (1/8/2019). BKSDA Aceh melepasliarkan dua ekor satwa langka dan lindungi yakni Kukang Sumatra dan elang laut dada putih. [Foto: CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengurus Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar, mengatakan perdagangan satwa lindung sulit dihentikan. Karena aktor utama dari kasus tersebut belum tersentuh hukum, walaupun penegakan hukum terus berjalan.

“Sulit dihentikan karena aktor utama dan pembeli masih bebas (tidak ditahan),” kata Zulfikar, dalam meeting expert kajian data penegakan hukum dalam kasus perdagangan satwa lindung di Aceh, digagas Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh didukung oleh Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA, kemarin.

Berdasarkan FJL, sepanjang tahun 2020 hingga 2021 aparat penegak hukum menangani sebanyak 19 perkara kasus perburuan dan perdagangan satwa lindung. Sedangkan total pelakunya berjumlah 42 orang.

Ketua FJL Aceh, Zulkarnaini Masry, menyebutkan para pelaku mayoritas warga Aceh, hanya sebagian kecil warga luar Aceh. Namun, pelaku yang ditangkap oleh aparat penegak hukum umunya kurir dan eksekutor lapangan, sedangkan penampung akhir belum tersentuh.

“Padahal satwa lindung dari Aceh diperjualbelikan ke pasar internasional,” kata Zulmasry.

19 perkara tersebut, kata dia, masih ada sembilan tersangka yang belum ditangkap atau buron. Untuk itu, FJL mendesak aparat penegak hukum menangkap mereka. “Karena informasi dari pelaku penting untuk mengungkap kasus secara tuntas. Sebagian besar buronan adalah pemilik satwa, namun ada juga penampung dan eksekutor,” kata Zulmasry.

Zulmasry berharap, para pemodal ditangkap. Supaya kasus kejahatan terhadap satwa dapat dihentikan. Ditinjau dari besaran vonis, kata dia, putusan paling tinggi 3,5 tahun penjara, seperti kasus pembunuhan gajah di Aceh Timur. Sedangkan pembunuhan gajah di Pidie hanya dihukum 6 bulan penjara.

Zulmasry mengatakan dalam kasus perdagangan paruh rangkong sebanyak 71 buah, pelaku hanya dihukum 1 tahun 3 bulan. “Padahal jumlah satwa yang mati sangat banyak. Ini menunjukkan aparat penegak hukum belum punya semangat yang sama,” ujar Zulmasry.

Zulmasry menyebutkan, jenis satwa lindung yang kerap diburu dan diperdagangkan ialah, gajah, orangutan, harimau, siamang, beruang madu, rangkong, trenggiling. Sedangkan yang termasuk opsetan, seperti kulit harimau, tulang belulang beruang madu, paruh rangkong, sisik trenggiling, tanduk kambing hutan, dan tanduk kijang.

“Penegakan hukum yang adil menjadi komitmen negara untuk menyelamatkan satwa lindung di Aceh,” kata Zulmasry. [rmolsumsel]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda