DIALEKSIS.COM | Aceh - Masa depan pertambangan Aceh berdiri di persimpangan yang penuh tanda tanya. Di satu sisi, potensi sumber daya tampak sebagai harapan untuk mempercepat kesejahteraan; di sisi lain, jejak sosial dan lingkungan yang ditinggalkan bisa berubah menjadi ancaman berkepanjangan jika tata kelola gagal menjawab kepentingan rakyat.
“Pertambangan bukan semata soal cadangan atau pemasukan. Ini soal kehormatan komunitas, keberlanjutan alam, dan keadilan distribusi manfaat,” kata Muhammad Nur, Direktur Eksekutif Forum Bangun Investasi Aceh (ForBina), ketika menerima tim Dialeksis di Banda Aceh pada Sabtu (25/10/2025). Ucapannya tegas, namun disampaikan dengan nada yang memberi ruang bagi dialog.
Kritik yang disampaikan bukan sekadar retorika. Menurut Muhammad, praktik perizinan kerap berlangsung cepat tanpa kajian mendalam yang melibatkan masyarakat setempat. Proses konsultasi seringkali berwajah formalitas; keputusan penting sudah diambil sebelum suara warga didengar.
“Hasilnya adalah ketimpangan informasi dan ketidakadilan yang memicu konflik berkepanjangan,” ujarnya.
Dampak ekologis menjadi kekhawatiran utama. Degradasi lahan, pencemaran sumber air, dan hilangnya fungsi ekosistem merampas mata pencaharian petani dan nelayan. Biaya lingkungan yang timbul jarang dimasukkan dalam perencanaan jangka panjang, sehingga keuntungan ekonomi jangka pendek menutup mata terhadap kerusakan yang bersifat permanen.
Meski demikian, Muhammad tidak berhenti pada kritik. Ia menawarkan langkah-langkah solutif yang, menurutnya, mampu mengubah wajah pertambangan menjadi instrumen pembangunan yang berkeadilan.
Pertama, ia menekankan perlunya perbaikan tata kelola perizinan yang berbasis kajian komprehensif dan transparansi. Pemerintah daerah harus menegaskan prioritas tata ruang yang mengedepankan keseimbangan antara investasi dan keutuhan lingkungan.
Kedua, keterlibatan masyarakat sejak tahap perencanaan harus menjadi prinsip tak tergantikan. Muhammad menegaskan bahwa persetujuan yang sejati hanya akan tercapai jika prosesnya bebas, sadar, dan berdasarkan informasi yang memadai.
“Konsultasi yang formal tanpa makna adalah tipu daya. Keputusan yang adil adalah keputusan yang dilahirkan oleh dialog yang sungguh-sungguh,” tuturnya.
Ketiga, skema pembagian manfaat perlu dirancang agar memberi dampak nyata bagi wilayah terdampak. Pendapatan tambang harus dialokasikan untuk memperbaiki layanan publik, pendidikan, dan infrastruktur lokal. Mekanisme pelaporan yang transparan wajib membuka ruang bagi masyarakat untuk memantau aliran dana dan hasilnya di lapangan.
Keempat, tanggung jawab lingkungan harus dijamin melalui jaminan finansial yang memadai untuk reklamasi dan pemulihan pasca operasi. Perusahaan tambang harus memikul beban pemulihan sebagai bagian tak terpisahkan dari izin operasionalnya, bukan sekadar janji di atas kertas.
Kelima, kapasitas pengawasan daerah harus diperkuat. Pemerintah dan komunitas harus memiliki sumber daya teknis untuk memantau operasional tambang, termasuk aspek kualitas air dan pelaksanaan standar lingkungan. Tanpa pengawasan yang kuat, aturan apa pun hanya akan menjadi hiasan.
Terakhir, Muhammad mengajak untuk memikirkan industrialisasi hilir sebagai strategi meningkatkan nilai tambah. Pengolahan sumber daya di daerah, disertai pelatihan tenaga kerja lokal, akan mengurangi kebocoran manfaat dan membuka peluang kerja untuk masyarakat setempat.
Dalam penjelasannya, Muhammad mengingatkan bahwa indikator keberhasilan pertambangan tidak cukup diukur dari angka produksi semata. Keberhasilan sejati adalah ketika investasi menjaga martabat masyarakat, memulihkan fungsi lingkungan, dan meninggalkan warisan pembangunan yang berkelanjutan.
“Aceh memiliki modal sosial dan alam yang besar. Pilihan kita hari ini menentukan apakah pertambangan menjadi harapan yang terencana atau menjadi sumber luka panjang,” katanya.
Pesan itu bukan sekadar peringatan; ia sekaligus panggilan untuk bertindak bagi pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat agar pengelolaan sumber daya menjadi jawaban atas kesejahteraan yang adil dan lestari. [ra]