Beranda / Berita / Aceh / Pesta Seks Anak di Bawah Umur di Pidie, KPPA Aceh: Usut Motifnya

Pesta Seks Anak di Bawah Umur di Pidie, KPPA Aceh: Usut Motifnya

Senin, 05 Oktober 2020 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni/Biyu

Wakil Ketua KPPA Aceh, Ayu Ningsih.


DIALEKSIS.COM | Pidie - Tiga pasangan yang bukan suami istri, melakukan pesta seks di salah satu rumah kosong di salah satu desa di Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie.

Diketahui dua pasangan diantaranya merupakan anak di bawah umur. Mereka ditangkap warga setempat setelah melakukan hubungan intim selama empat hari dan diamankan pada Kamis (1/10/2020).

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Ayu Ningsih menyayangkan terjadinya kasus ini.

"Bagaimana bisa seorang anak sudah berhari-hari tidak berada di rumah, tetapi orangtua tidak pernah mencari atau membuat laporan ke polisi tentang kepergian anaknya," ungkap Ayu Ningsih kepada Dialeksis.com, Senin (5/10/2020).

Wakil Ketua KPPA Aceh itu juga mempertanyakan bagaimana pengasuhan anak di era digital seperti sekarang ini. "Kondisi sekarang, anak-anak berisiko terpapar konten pornografi. Perlu dipertanyakan bagaimana (evaluasi) sikap serta didikan orangtua dalam mengawasi anak-anaknya," ujar Ayu.

Menurutnya, hal seperti kasus di Pidie yang melibatkan anak yang di bawah umur ini tidak boleh terjadi lagi ke depan.

"Orangtua harus intens berkomunikasi dengan anak, terutama mengajarkan hal-hal positif dan negatif dari kemajuan teknologi. Ajarkan pendidikan agama sejak dini dan tidak tabu mengenalkan bagian tubuh mana saja yang tidak bisa dilihat, diraba atau disentuh oleh mereka," jelas Ayu.

"Jika tidak diajarkan hal seperti ini, risikonya sangat besar. Terutama anak-anak yang sudah memasuki fase remaja, orangtua harus lebih ekstra lagi dalam mengawasi anak-anaknya sehingga tidak terjebak dalam pergaulan bebas dan narkoba," tambahnya.

Wakil Ketua KPPA Aceh itu berharap, pihak kepolisian dapat mengembangkan apa motif di balik kasus ini. Apakah ada pihak lain mengorganisir atau tidak.

"Sebab, kalau dilihat motifnya, anak-anak tersebut seolah-olah sudah terbiasa melakukan hal demikian, tidak punya rasa malu lagi. Perlu dicari apakah ada yang mengenalkan, mengajari, menyuruh mereka melakukan hal terlarang tersebut, atau bahkan mungkin mereka pernah menjadi korban pelecehan seksual," jelas Ayu.

"Selanjutnya, anak-anak yang terlibat kasus tersebut dapat dilakukan pembinaan dan rehabilitasi mental atau psikologis dan sosialnya, dengan ditempatkan di LPKA (lembaga pembinaan khusus anak). Jika mereka dihukum cambuk atau penjara, tetap saja sulit merubah prilaku yang demikian karena sudah terbiasa," tambahnya.

Ayu juga mengimbau, kejadian ini agar menjadi pelajaran bagi masyarakat semua, terutama para orangtua agar tidak lalai dalam mendidik dan mengawasi anak-anaknya.

"Jangan sampai terulang lagi kasus yang seperti ini. Orangtua harus senantiasa memantau, mengetahui tumbuh kembang anak dan perubahan sikap serta perilaku anak-anaknya," ungkap Ayu.

"Jika mengalami perubahan sikap dan perilaku yang menyimpang, jangan malu untuk segera berkonsultasi dengan lembaga layanan perlindungan anak yang ada di kabupaten/kota seperti P2TP2A, Puspaga dan lain-lain," tambahnya.

Wakil Ketua KPPA Aceh itu juga menuturkan, upaya perlindungan anak menjadi tanggung jawab bersama. Sudah saatnya pemerintah memprioritaskan programnya pada isu terkait, mengingat kasus-kasus yang terjadi pada anak semakin meningkat.

"Jangan abai untuk melakukan pengawasan terhadap anak. Upaya pencegahan harus dilakukan oleh semua pihak agar anak-anak terus terlindungi," tutupnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda