DIALEKSIS.COM | Aceh Utara - Ketua Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Cabang Aceh Utara, Dr. Indra Buana, Sp. P, Onk. T(K), FISR, mengatakan bahwa salah satu kunci penyembuhan dan pencegahan penyakit Tuberkulosis (TBC) yang sering terlupakan adalah pemenuhan gizi, khususnya protein hewani yang mudah dijangkau masyarakat.
Menurutnya, putih telur merupakan sumber protein sederhana dan murah yang sangat membantu pemulihan pasien TBC.
"Telur adalah upaya yang sangat mudah untuk membantu proses menyembuhkan penyakit TBC, dan bagi pengidap TBC selain harus minum obat TBC yg teratur dengan dosis obat yg diberikan oleh dokter, putih telur ini sangat diperlukan karena tinggi protein. Selain telur itu, ada ikan, daging dan tempe, tahu serta kacang-kacangan yang juga mengadung protein yg sangat bermanfaat,” ujarnya dalam wawancara kepada media dialeksis.com, Rabu (20/8/2025).
Dr. Indra menjelaskan bahwa pemahaman masyarakat mengenai pencegahan, skrining dan deteksi dini, serta pola hidup sehat menjadi penentu tercapainya target Indonesia bebas TBC pada tahun 2030.
“Harapan kita, ini menjadi perhatian serius dari semua pihak. Masyarakat harus difasilitasi agar paham cara mencegah penyakit TBC. Cara pencegahan paling sederhana adalah dengan etika batuk dan jangan batuk sembarangan, misalnya, saat batuk gunakan tisu atau tutup mulut dengan siku lengan,” jelasnya.
Ia menambahkan, lintas sektor perlu bersinergi dalam upaya ini, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat.
"Kalau ada yang sakit, kita obati. Kemudian kita lakukan deteksi pada keluarga yg sakit dan orang-orang yg kontak erat dengan orang sakit serta memeriksakan dahak ke puskesmas dan kalau ada fasilitas dilakukan pemeriksaan foto rontgen (ronsen) dada serta melakukan skrining sebanyak-banyaknya kasus TBC agar tuntas semua sehingga tidak menular lagi kuman TBC tersebut. Yang belum kena kita cegah, yang sudah sakit kita obati sampai sembuh,” katanya.
Salah satu persoalan besar yang dihadapi adalah lemahnya kondisi gizi pasien TBC. Dr. Indra menjelaskan, meski obat-obatan untuk TBC tersedia gratis melalui program pemerintah, pemenuhan kebutuhan gizi pasien masih menjadi beban tersendiri.
“Kalau masalah obat dan pengetahuan tentang TBC itu bisa kita bantu pemahamannya. Tapi kalau anggaran untuk gizi pengidap TBC, ini perlu kerjasama lintas masyarakat. Karena kalau gizinya kurang bagus, rata-rata paru-parunya sembuh dengan kecacatan. Kalau sudah cacat, maka proses berobat bisa jadi lebih lama lagi,” paparnya.
Ia mengajak semua pihak untuk berempati dan membantu pasien TBC, terutama dalam dukungan makanan bergizi. “Kita harus bersama-sama membantu orang sakit TBC terutama gizi. Ini bagian penting agar pasien bisa pulih lebih cepat,” tambahnya.
Tantangan TBC di Aceh tergolong besar. Data terbaru mencatat, sepanjang tahun 2024 saja sebanyak 12.656 kasus TBC ditemukan di Aceh.
Angka ini cukup mencemaskan, apalagi secara global, Indonesia berada di peringkat kedua terbanyak kasus TBC setelah India, dengan jumlah mencapai 1.060.000 kasus pada tahun yang sama.
Dr. Indra menyebut fakta tersebut sebagai alarm keras. “Ini bukan hanya tanggung jawab tenaga medis, tapi juga tanggung jawab sosial bersama. Karena TBC bisa menular dan menyerang siapa saja. Jadi upaya pencegahan, skrining, deteksi, pengobatan, dan pemenuhan gizi itu harus menjadi gerakan kolektif,” tegasnya.
PPTI Aceh Utara bersama para tenaga kesehatan setempat kini gencar melakukan sosialisasi pencegahan TBC melalui edukasi masyarakat, penyuluhan di sekolah, hingga kampanye etika batuk. Harapannya, angka penularan dapat ditekan secara signifikan.
“Kalau kita bisa bekerja sama, bukan hal mustahil target Indonesia bebas TBC 2030 bisa tercapai. Karena kuncinya ada pada kesadaran bersama dan dukungan nyata kepada para pasien dan pencegahan terhadap penularan kuman TBC,” tutup Dr. Indra.