DIALEKSIS.COM | Aceh - Pemerintah Aceh diminta segera mengambil langkah strategis dengan duduk bersama lintas universitas untuk merancang dan membahas blue print arah pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab rekon) Aceh pascabencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah daerah.
Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. Ir. Agussabti, M.Si., IPU, akademisi dan pakar kebencanaan Aceh, yang menilai penanganan pascabencana tidak boleh bersifat parsial, reaktif, dan jangka pendek, melainkan harus dirancang secara terukur, ilmiah, dan berorientasi pada pemulihan berkelanjutan.
Menurut Agussabti, keterlibatan lintas universitas menjadi sangat penting agar konsep rehab rekon didasarkan pada kajian ilmiah, pemetaan risiko, serta analisis sosial, ekonomi, dan lingkungan yang komprehensif. Namun, ia menegaskan bahwa pendekatan akademik saja tidak cukup jika tidak disinergikan dengan realitas lapangan.
“Penyusunan blue print rehab rekon harus melibatkan langsung daerah dan masyarakat terdampak. Mereka yang paling memahami kebutuhan riil, karakter wilayah, serta persoalan mendasar yang harus dipulihkan. Tanpa itu, pembangunan berisiko tidak tepat sasaran,” kata Agussabti kepada Dialeksis saat dihubungi minta tanggapan.
Ia menekankan bahwa keterlibatan daerah terdampak akan memperkuat konektivitas antarwilayah, memastikan pemulihan infrastruktur dasar, ekonomi masyarakat, serta layanan sosial benar-benar menjawab kebutuhan aktual. Dengan demikian, proses pemulihan tidak sekadar membangun kembali fisik, tetapi juga memulihkan sistem kehidupan masyarakat agar dapat kembali normal secara bermartabat.
Lebih lanjut, Agussabti menilai hasil perumusan road map atau blue print rehab rekon harus diikat dengan komitmen bersama antara Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, perguruan tinggi, serta pemangku kepentingan lainnya. Komitmen tersebut, menurutnya, perlu dituangkan secara formal dalam keputusan atau kesepakatan bersama agar memiliki kekuatan moral dan administratif.
“Tanpa komitmen tertulis, blue print hanya akan menjadi dokumen di atas kertas. Dengan keputusan bersama, semua pihak memiliki tanggung jawab dan keseriusan untuk menjalankan konsep rehab rekon yang telah disepakati,” ujar Ketua Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA IPB) Wilayah Aceh.
Agussabti yang juga sebagai Ketua Forum Wakil Rektor I Perguruan Tinggi Negeri Badan Kerja Sama (PTN BKS) Wilayah Barat, menyoroti pentingnya kontrol publik dalam seluruh tahapan pelaksanaan rehab rekon. Ia menilai transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama untuk mencegah penyimpangan serta memastikan program berjalan sesuai dengan alur dan target yang telah disusun dalam blue print.
“Partisipasi publik, pengawasan masyarakat sipil, media, dan akademisi harus diperkuat. Ini penting agar proses rehab rekon tetap berada dalam koridor kepentingan korban bencana, bukan kepentingan lain,” tegasnya.
Sebagai tambahan, Agussabti mendorong agar blue print rehab rekon Aceh tidak hanya berorientasi pada pemulihan pascabencana, tetapi juga sekaligus menjadi instrumen pengurangan risiko bencana ke depan. Ia menilai momentum pascabencana harus dimanfaatkan untuk membangun tata ruang yang lebih aman, sistem peringatan dini yang efektif, serta penguatan kapasitas masyarakat menghadapi bencana.
“Rehab rekon yang baik adalah yang mampu mengurangi kerentanan di masa depan. Jangan sampai kita membangun kembali di titik yang sama dengan risiko yang sama. Aceh harus bangkit dengan konsep pembangunan yang lebih tangguh, adaptif, dan berkelanjutan,” pungkas calon Rektor USK mendatang. [arn]