DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus pengutipan retribusi yang melampaui ketentuan resmi di kawasan wisata Lamreh, Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, kembali menyedot perhatian publik.
Setelah viral di media sosial, sejumlah wisatawan mengeluhkan adanya pungutan yang dianggap tidak sesuai aturan, sehingga menimbulkan citra negatif terhadap pengelolaan wisata di daerah tersebut.
Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh yang juga pengamat kebijakan publik dan politik Aceh, Dr. Nasrul Zaman, ST., M.Kes, menilai persoalan ini bukan sekadar isu teknis pungutan liar, tetapi mencerminkan lemahnya tata kelola pariwisata daerah. Menurutnya, reputasi wisata Aceh, khususnya Aceh Besar, bisa rusak apabila persoalan ini terus dibiarkan.
“Keluhan wisatawan tentang pungutan di luar ketentuan resmi jelas merugikan semua pihak. Bukan hanya wisatawan yang dirugikan secara langsung, tetapi juga masyarakat setempat dan pemerintah daerah yang kehilangan kepercayaan publik,” ujar Nasrul Zaman kepada wartawan dialeksis.com, Sabtu (16/8/2025).
Ia menegaskan, masalah ini muncul karena belum adanya pendidikan wisata yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sebagai pelaku pengelola wisata.
Padahal, menurutnya, masyarakat adalah garda terdepan yang berinteraksi langsung dengan wisatawan, sehingga seharusnya mendapatkan pembekalan yang cukup untuk bersikap ramah, sabar, dan melayani.
“Wisata itu bukan sekadar soal tempat indah, tapi bagaimana pelayanan diberikan. Kalau masyarakat tidak dididik untuk melayani dengan baik, maka wisatawan akan kapok datang. Pemerintah Aceh Besar harus serius membangun pendidikan wisata, bukan hanya memungut retribusi,” tegasnya.
Nasrul Zaman mencontohkan keberhasilan daerah lain dalam mengelola pariwisata berbasis masyarakat, seperti Bali dan Yogyakarta.
Kedua daerah tersebut menurutnya mampu menjaga keseimbangan antara pengelolaan resmi pemerintah dengan keterlibatan masyarakat lokal, tanpa menimbulkan persoalan pungutan liar.
“Di Bali dan Yogyakarta, masyarakatnya sudah terbiasa melayani wisatawan dengan sabar, penuh keramahan, dan profesional. Itu semua berkat adanya pendidikan wisata yang berkelanjutan. Aceh Besar seharusnya belajar dari sana,” jelasnya.
Ia mengingatkan, apabila pengelolaan wisata diabaikan, maka akan banyak masalah yang timbul. Mulai dari pungutan liar, konflik antara masyarakat pengelola, hingga merosotnya minat wisatawan untuk datang kembali.
"Ini menjadi tantangan serius bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, khususnya Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata, untuk melakukan penertiban sekaligus pembinaan,” tambahnya.
Fenomena pungutan liar di objek wisata, lanjut Nasrul, bukan hanya masalah kecil yang bisa dianggap sepele. Di era keterbukaan informasi saat ini, setiap keluhan wisatawan bisa dengan cepat menjadi viral di media sosial, dan dampaknya bisa sangat merugikan.
“Sekali wisatawan kecewa dan menulis pengalamannya di media sosial, itu langsung menyebar luas. Citra Aceh sebagai daerah tujuan wisata akan jatuh. Sayang sekali, padahal kita punya potensi alam luar biasa,” ujarnya.
Ia menegaskan, pengelolaan pariwisata yang buruk akan menjadi isu negatif bagi Aceh secara keseluruhan. Padahal, sektor pariwisata selama ini diharapkan menjadi salah satu sumber ekonomi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam.
“Kalau hal seperti ini terus dibiarkan, jangan harap wisata Aceh bisa berkembang. Pemerintah harus segera turun tangan, lakukan pembinaan dan penertiban, sekaligus memberi pelatihan kepada masyarakat pengelola wisata,” pungkasnya. [nh]