Rabu, 25 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Rencana Proyek PLTB Dinilai Tak Inklusif, Warga Lampuuk Aceh Besar Minta Peninjauan Ulang

Rencana Proyek PLTB Dinilai Tak Inklusif, Warga Lampuuk Aceh Besar Minta Peninjauan Ulang

Rabu, 25 Juni 2025 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muntaziruddin Sufiady Ridwan

Perempuan Pemimpin Akar Rumput Kemukiman Lampuuk, Umi Kalsum (kanan); Koordinator SP Aceh Komunitas Bungoeng Jeumpa Aceh, Salsabila (tengah) dan Yeni Hartini (kiri) dalam diskusi bertajuk "Proyek Iklim dan Dampaknya Bagi Perempuan" yang berlangsung pada Selasa (24/6/2025) di The Gade Coffee and Gold, Banda Aceh. (Foto: Muntaziruddin Sufiady Ridwan/dialeksis.com).


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di wilayah Lampuuk, Aceh besar, menuai kekhawatiran masyarakat setempat. Selain dinilai tak partisipatif, pembangunan ini juga berpotensi mengancam sumber penghidupan warga, terutama perempuan dan lansia produktif yang selama ini bergantung dengan hasil perkebunan lokal.

“Banyak perempuan dan lansia di sana yang sangat bergantung pada hasil kebun. Dan bukan hanya perempuan, itu juga akan berpengaruh kepada para lansia. Dari hasil kebun itu juga menjadi sumber ekonomi mereka,” ujar Yeni Hartini, Koordinator Solidaritas Perempuan Komunitas Bungoeng Jeumpa Aceh dalam diskusi bertajuk “Proyek Iklim dan Dampaknya Bagi Perempuan”, di The Gade Coffee and Gold, Banda Aceh, pada Selasa (24/6/2025) sore.

Dalam penjelasannya, Yeni mengatakan bahwa memang PLTB lebih menguntungkan bila dibandingkan penggunaan bahan bakar fosil lantaran sifatnya yang lebih ramah lingkungan.

Namun, sambungnya, persoalan utama bukan terletak pada pembangunan PLTB, melainkan proses pengambilan keputusan yang tidak inklusif. Keputusan-keputusan yang dibuat, imbuh Yeni, acapkali mengabaikan suara masyarakat lokal, khususnya perempuan dan lansia.

“Pembangkit listrik ini sebenarnya sangat ramah [lingkungan]. Tapi, prosesnya yang tidak baik, gitu,” kata Yeni.

Sejauh ini, SP Komunitas Bungoeng Jeumpa Aceh telah melakukan pengorganisasian di empat desa. Diantaranya adalah Desa Meunasah Lambaro, Desa Meunasah Mesjid, Desa Meunasah Cut dan Desa Meunasah Blang.

Yeni menuturkan, selama proses pengorganisasian itu, terutama para perempuan yang berada di Desa Meunasah Mesjid, menunjukkan penolakan keras terhadap rencana pembangunan PLTB yang prakarsai Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) ini.

“Ketika kami menyampaikan dampak positifnya, mereka langsung teriak tu, ‘Jangan sampaikan angin surga itu, kami nggak butuh itu,’ katanya kan. ‘Kami menolak PLTB itu dibangun di wilayah kami,’ gitu teriak mereka,” kisah Yeni saat menceritakan kembali diskusi mereka dengan para warga.

Ia menerangkan, walaupun pihaknya telah menyampaikan hadirnya PLTB juga punya dampak positif, para perempuan tetap tegas menolak. “Apapun ‘angin surga’, yang hal-hal baik itu tetap di tolak sama mereka,” beber Yeni.

Meski begitu, selain Desa Meunasah Mesjid, desa-desa lain ia nilai masih kurang peduli. Sebab, mayoritas masyarakat di wilayah tersebut bukan penduduk asli Lampuuk.

“Pasca Tsunami itu, di Lampuuk ini memang banyak pendatang dan bukan asli [warga] Lampuuk. Jadi mereka nggak terlalu paham dengan sejarah Sri Musim [Kenduri Raya Gle] itu. Hanya orang-orang lokal [asli] yang paham dengan sejarah itu,” papar Yeni.

Pembangunan PLTB di Lampuuk merupakan bagian dari Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi baru terbarukan.

Merujuk prospektus bertajuk “Pengembangan Energi Angin Proyek 120 MW di Aceh, Aceh Besar 2024”, disebut bahwa bentangan pembangunan proyek PLTB seluas 2.874 hektar itu terletak di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.

Kendati tidak disebut secara gamblang dalam prospektus ini, rangkaian kriteria teknis memaparkan bahwa area tersebut menunjukkan nilai strategis lokasi pembangunannya.

Kriteria seperti kecepatan rata-rata angin yang berada di atas 6 m/s pada ketinggian 100 meter, kontur topografi yang relatif landai, minimnya gangguan dari zona terlarang seperti permukiman, kawasan konservasi, serta kemudahan menjangkau jaringan listrik nasional menjadi penegasnya.

Adapun, lahan yang rencananya bakal digunakan sebagai tempat pembangunan itu berada di area hutan lindung sebagaimana termaktub dalam Qanun Aceh No.4 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Besar pada Pasal 25 huruf c.

Biarpun terdapat beberapa peraturan yang mengizinkan pembangunan PLTB di wilayah hutan lindung--yakni Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2021-, pembangunannya harus mempertimbangkan status dilindungi serta keberadaan beberapa spesies berstatus kritis dalam wilayah tersebut.

Pasalnya, bila tidak diindahkan, maka model kemitraan multi-donor antara pemerintah dengan filantropi sebagai skema pembiayaan proyek bakal terhambat.

“Status dilindungi dan keberadaan spesies yang menjadi perhatian dapat mempersulit pendanaan internasional. Pengaruh terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati harus dibatasi sebanyak mungkin dan setiap kerugian harus dikompensasi,” lanjut prospektus yang terbit pada 31 Agustus 2024 silam ini.

Sementara itu, Khairuddin, Koordinator Panitia Penyelesaian Status Kawasan Hutan di Wilayah Kemukiman Lampuuk, mengatakan bahwa mereka, selaku warga berharap agar pemerintah melakukan peninjauan ulang terkait dengan pembangunan proyek ini.

“Kami juga sama sebenarnya. Pada prinsipnya, kami menolak. Tapi, mengingat potensi positif dan negatifnya, kami tidak ingin langsung vonis ke arah situ. Karena selama ini, kita tidak dilibatkan dalam setiap [proses] pengambilan keputusan. Kami ingin pemerintah meninjau kembali proyek ini,” tegasnya.

Senada, Perempuan Pemimpin Akar Rumput dari salah satu desa dampingan SP Komunitas Bungoeng Jeumpa, Umi Kalsum, mengatakan bahwa selama ini, suara dan aspirasi perempuan cenderung tidak didengarkan.

“Kalo menurut saya, suara-suara perempuan itu masih diabaikan,” katanya.

Pengalaman atas kehadiran PT Solusi Bangun Andalas (PT SBA) di wilayah tersebut, tutur Umi, telah memberi pembelajaran yang berharga bagi masyarakat.

“Kita juga sudah belajar dari kehadiran SBA. Awalnya begitu juga, tapi buktinya sekarang? Paling-paling orang kita yang makan debu. Yang makan telur merahnya bukan juga kita,” ujar Umi Kalsum secara simbolik.

Lebih lanjut, SP Komunitas Bungoeng Jeumpa juga mendorong liputan media dan kampanye narasi bersama jurnalis untuk mengangkat suara warga dan mendorong pemerintah agar bersikap transparan dan adil.

“Ke depan, kita akan terus mengadvokasi isu ini agar bagaimana kemudian tidak ada lagi lahan-lahan warga yang direbut untuk pembangunan ini,” tukas Yeni. [msr]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dpra