DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fajran Zain, warga Desa Doy, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh menuliskan surat terbuka yang ditujukan kepada Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal.
Ia menyampaikan keluh kesahnya tentang persoalan pengelolaan sampah di daerahnya yang menjadi sebuah persoalan lama yang belum juga menemukan solusi nyata.
Fajran mengungkapkan bahwa wajah kumuh Ulee Kareng sudah menjadi pemandangan yang akrab sejak era kepemimpinan Wali Kota sebelumnya, bahkan berlanjut hingga para penjabat sementara yang silih berganti.
Harapan besar kini tertumpu pada kepemimpinan Illiza Sa’aduddin Djamal, sosok yang dikenal vokal dalam berbagai isu sosial di Banda Aceh.
“Bunda, inilah sisi lain wajah Ulee Kareng, wilayah yang dikenal orang dengan sebutan UK atau United Kingdoms atau Wilayah para Raja Meusaboh,” tulis Fajran dalam surat bertajuk Surat Untuk Walikota Banda Aceh dilansir media dialeksis.com, Jumat (18/7/2025).
Masalah utama yang diangkat Fajran adalah tentang pengelolaan sampah. Ia menyebutkan bahwa Banda Aceh menghasilkan sekitar 258 ton sampah per hari, sebuah angka yang besar untuk kota berpenduduk sekitar 250 ribu jiwa. Namun, menurutnya, solusi yang ditempuh selama ini masih setengah hati.
“Ini bukan hanya soal manajemen di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau teknologi pengubah sampah menjadi energi alternatif. Yang tidak kalah penting adalah literasi pengelolaan sampah rumah tangga. Warga harus tahu bagaimana memilah sampah sejak dari rumah,” ujarnya.
Yang paling mendesak, kata Fajran, adalah kebutuhan akan satu unit truk sampah yang standby di salah satu sudut Ulee Kareng.
Ia menilai saat ini warga kesulitan membuang sampah karena tidak ada lokasi pembuangan sementara yang memadai. Akibatnya, sampah sering ditumpuk sembarangan di pojok-pojok kedai atau halaman kosong.
“Bunda, kenapa tidak sediakan saja satu truk sampah yang terparkir di salah satu sudut UK? Agar kami tahu kemana membuang sampah. Agar petugas tidak bekerja dua kali. Agar sampah tidak menghambat lalu lintas pagi hari saat jam sibuk,” tambah Fajran.
Ia juga menyoroti waktu pengangkutan sampah oleh petugas kebersihan yang kerap berlangsung pukul 07.00 hingga 08.00 pagi, bersamaan dengan jam sibuk warga menuju kantor atau sekolah, sehingga kerap menimbulkan kemacetan dan konflik kecil di jalan.
"Petugas sampah mengangkut sampah di UK pada pukul 07.00 hingga 08.00 yang itu adalah Rush Hour bagi warga yang menuju ke kantor atau mengantar anak ke sekolah atau berkegiatan pagi lainnya," ujarnya.
Fajran menyampaikan bahwa jika persoalan ini adalah soal anggaran, warga siap bergotong royong. “Ataukah kita tidak punya uang untuk pengadaan truk sampah yang dimaksud? Kami siap urunan kok, walau hanya Rp10.000 per orang,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menyinggung bahwa isu sampah bukanlah satu-satunya tantangan Kota Banda Aceh. Kemacetan dan polusi udara juga menjadi bagian dari problem perkotaan yang saling terkait.
Maka ia berharap Pemkot Banda Aceh mengusung strategi yang lebih holistik, bukan hanya dari aspek teknologi dan infrastruktur, tetapi juga dari sisi edukasi publik dan partisipasi warga.
"Isu sampah adalah salah satu itu Kota, termasuk kemacetan dan polusi udara. Dan itu menjadi isu di Kota Kita Banda Aceh" tutupnya. [nh]