Selasa, 02 September 2025
Beranda / Berita / Aceh / Santri Dianiaya Senior, Mahasiswa Psikologi USK Ingatkan Bahaya Trauma Psikis

Santri Dianiaya Senior, Mahasiswa Psikologi USK Ingatkan Bahaya Trauma Psikis

Senin, 01 September 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Muhammad Aulia, mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus pengeroyokan santri kembali mencuat di Aceh. Seorang santri berusia 14 tahun asal Aceh Tengah mengalami luka lebam setelah dianiaya tiga orang seniornya di sebuah pondok pesantren di Matang Geulumpangdua, Bireuen.

Kejadian ini menimbulkan keprihatinan luas, bukan hanya karena luka fisik yang ditimbulkan, tetapi juga dampak psikologis jangka panjang bagi korban.

Muhammad Aulia, mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, menilai kasus semacam ini tidak bisa dianggap sepele. Menurutnya, tindak kekerasan di lingkungan pendidikan memiliki konsekuensi serius pada perkembangan mental korban.

“Saya sebagai mahasiswa psikologi sangat menyayangkan kejadian ini. Semoga kondisi psikologis korban bisa segera membaik, dan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya,” ujar Aulia kepada wartawan dialeksis.com, Senin (1/9/2025).

Aulia menjelaskan, korban pengeroyokan atau bullying umumnya akan mengalami trauma, stres, hingga depresi. Bahkan, tidak jarang hal ini mengikis rasa percaya diri korban.

“Korban bullying biasanya merasa tertindas, minder, dan kehilangan kepercayaan diri. Luka fisik bisa sembuh, tetapi luka batin lebih sulit pulih. Dampaknya bisa terbawa hingga dewasa, memengaruhi hubungan sosial, bahkan motivasi belajar,” jelasnya.

Lebih lanjut, Aulia menegaskan bahwa trauma akibat kekerasan fisik di pesantren atau sekolah dapat menghambat perkembangan anak.

Rasa takut, cemas, hingga kesulitan membangun kepercayaan pada orang lain bisa membatasi ruang gerak korban dalam kehidupan sehari-hari.

“Trauma membuat anak sulit bersosialisasi, sulit percaya pada orang lain, dan cenderung menarik diri. Luka psikologis itu akan selalu membekas jika tidak ditangani dengan benar,” tambahnya.

Dalam pandangan Aulia, keluarga adalah benteng pertama yang bisa membantu korban bangkit. Dukungan sosial dan emosional dari orang tua dapat mempercepat pemulihan trauma.

“Keluarga harus hadir sebagai support system utama. Mereka perlu memberikan dukungan, mendengarkan anak, dan membantu mengembalikan rasa percaya dirinya. Jangan biarkan korban merasa sendirian,” tegasnya.

Aulia juga mengingatkan, jika kasus ini tidak ditangani serius, bukan hanya korban yang dirugikan, tetapi juga dunia pendidikan secara keseluruhan.

“Kalau pelaku tidak dihukum, korban merasa dunia ini tidak adil. Lebih buruk lagi, kekerasan akan dianggap hal biasa di kalangan siswa lain. Ini berbahaya, karena mereka masih labil dan bisa menormalisasi kekerasan,” katanya.

Aulia menilai terapi khusus sangat dibutuhkan bagi korban kasus seperti ini. Ia menekankan agar keluarga tidak ragu membawa anak ke tenaga profesional.

“Kasus pengeroyokan ini berat. Trauma yang ditinggalkan juga berat. Maka sebaiknya korban dibawa ke psikolog atau tenaga profesional, misalnya ke klinik atau rumah sakit seperti RSJ Zainoel Abidin, untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Jangan coba ditangani sendiri,” imbaunya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
17 Augustus - depot
sekwan - polda
damai -esdm
bpka