Beranda / Berita / Aceh / Santri Dianiaya Senior Pesantren di Pidie, Ayu Ningsih: Bukti Minimnya Sosialisasi!

Santri Dianiaya Senior Pesantren di Pidie, Ayu Ningsih: Bukti Minimnya Sosialisasi!

Sabtu, 12 Maret 2022 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Dosen Fisipol USK, Ayu Ningsih, S.H, M.Kn. [Foto: Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penganiayaan dan pengeroyokan yang dilakukan santri terhadap juniornya terjadi di Pondok Pesantren Darussa'adah Teupin Raya, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie. Aksi bullying atau perundungan yang videonya tersebar di media sosial ini tengah ditangani pihak yayasan dan Kepolisian.

“Saya sangat menyayangkan peristiwa pengeroyokan dan bullying yang dilakukan oleh santri senior terhadap juniornya di salah satu pondok pasantren yang ada di Pidie. Hal ini merupakan salah satu bukti minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait terhadap isu perlindungan anak, pencegahan kekerasan dan dampak bullying di satuan Pendidikan, sehingga tak heran jika grafik kekerasan dan bullying di satuan Pendidikan terus saja meningkat jumlahnya, pelakunya juga bervariasi mulai dari guru, murid, pengurus/pemilik, bahkan petugas kebersihan dan penjaga keamanan juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan dan bullying di satuan pendidikan,” ucap Dosen Fisipol USK, Ayu Ningsih, S.H, M.Kn kepada Dialeksis.com, Sabtu (12/3/2022).

Kemudian, dirinya menyampaikan, ironisnya lagi aksi pengeroyokan seperti ini merupakan hal yang lazim terjadi di satuan Pendidikan, sementara siswa yang lainnya hanya menonton saja melihat kejadian tersebut dan takut melaporkannya, sementara korban juga tidak berani melapor karena takut dengan ancaman dan intimidasi dari pelaku, bahkan institusi pendidikan cenderung membiarkan hal ini terus terjadi setiap tahunnya, (data pengaduan KPPAA, ada sekitar 10 pengaduan kasus penganiayaan dan bullying yang terjadi di satuan Pendidikan, baik di sekolah umum, pasantren/dayah dan sekolah berasrama) yang berhasil diselesaikan secara mediasi.

Lanjutnya, Ayu mangatakan, Satuan Pendidikan harus bertanggungjawab menyelesaikan berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan bullying yang terjadi dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, demi masa depan anak didik yang lebih baik, bukannya penyelesaian permasalahan.

“Berdasarkan emosional semata dengan mengambil Tindakan tegas bahkan mengeluarkan santri/siswa dari sekolah/dayah karena perbuatan yang dilakukannya dianggap telah mencemarkan dan mencoreng nama baik sekolah,” tukasnya.

Hal yang sebaiknya dilakukan adalah mencari penyebab dan akar permasalahan terjadinya aksi kekerasan/pengeroyokan dan bullying, jika tidak bisa diselesaikan secara baik-baik/kekeluargaan, tentunya pihak guru, orang tua yang bersangkutan dan komite sekolah juga harus ikut serta berperan menyelesaikan permasalahan yang ada. Langkah berikutnya adalah menerbitkan surat peringatan kesatu sampai ketiga dengan segala konsekuensinya kepada pelaku dan melibatkan pihak kepolisian jika situasi sudah tidak memungkinkan.

“Hukuman yang diberikan apabila santri/siswa yang melakukan kesalahan tentunya berkorelasi dengan tindakan yang dilakukannya, ada sebab dan akibat, ada kesalahan ada konsekuensi dan ada tanggung jawabnya. Hukuman yang diberikan hendaknya bersifat mendidik yang sesuai dengan tingkat perkembangan santri/siswa. Perlu adanya konseling di satuan pendikan, penerapan konseling bukan hanya untuk siswa semata, guru juga perlu di konseling karena tidak menutup kemungkinan guru yang bermasalah membutuhkan dukungan, penguatan dan bimbingan untuk menemukan jalan keluar/solusi yang terbaik,” ujarnya. 

Lanjutnya, ada beberapa dampak kekerasan yang dialami oleh anak, diantaranya dampak fisik seperti mengakibatkan organ tubuh mengalami pendarahan, memar dan luka-luka. Dampak psikologis seperti trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurun semangat belajar, menurun daya kreativitas, hilangnya inisiatif dan konsentrasi, suka melamun, kurang rasa percaya diri/minder, stress, depresi. Dampak sosial seperti menarik diri dari lingkungan dan merasa tidak Bahagia, menjadi pendiam dan tidak percaya terhadap orang lain.

“Upaya dalam mencegah kekerasan dalam satuan Pendidikan, memang tidak semudah menangkap dan memberi hukuman bagi pelaku kekerasan. Namun perlu adanya tindakan pencegahan bagi semua pihak yang bersinggungan dengan permasalahan tersebut,” tambahnya.

Oleh karena itu Ayu Ningish berharap guru, orang tua, siswa, komite sekolah dapat memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi yang tepat, untuk mengatasi suatu permasalahan. Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak didik dengan mengatakan “tidak” pada kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan dan diskriminiasi. Untuk menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah, guru dapat menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa, mengenali potensi siswa untuk berkreasi, menghargai siswa sesuai dengan talenta yang dimilikinya. []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda