Beranda / Berita / Aceh / Soal Dukungan Kelanjutan Proyek IPAL di Gampong Pande, Begini Respon Budayawan Aceh

Soal Dukungan Kelanjutan Proyek IPAL di Gampong Pande, Begini Respon Budayawan Aceh

Kamis, 25 Februari 2021 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Alfi Nora

Budayawan Aceh, Herman RN

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dukungan Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman terhadap kelanjutan dari pembangunan proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande, Kota Banda Aceh menuai berbagai respons dari masyarakat.

Karena, berdasarkan dari surat rekomendasi Walikota Banda Aceh yang dikirim ke Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI disebutkan bahwa berdasarkan kajian arkeologi memang terdapat nisan-nisan kuno dan kerangka manusia yang ditemukan di lokasi IPAL itu, akan tetapi bukan merupakan makam raja atau keluarga raja pada masa kesultanan Aceh, hanya bagian dari pemakaman masyarakat umum orang-orang terdahulu.

Menanggapi hal itu, Budayawan Aceh, Herman RN mengatakan, penetapan suatu situs cagar budaya perlu diusulkan, tidak bisa sembarangan.

"Penetapan sebuah lokasi sebagai cagar budaya itu harus diusulkan dengan beberapa tinjauan. Nanti pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang punya hak untuk menperhitungkan kelayakan tempat itu bisa dianggap sebagai cagar budaya," ujar Herman saat dihubungi Dialeksis.com, Kamis (25/2/2021)

Kemudian, lanjut dia, terkait dukungan Aminullah Usman yang mengatakan tetap melanjutkan pembangunan proyek IPAL karena bukan termasuk situs cagar budaya itu karena belum ada yang mengkaji lokasi dan belum ada yang mengusulkan.

"Sekarang orang baru tahu bahwa tempat itu ada ulang betulang manusia yang sudah ratusan tahun baru sekarang, selama ini orang hanya menebak bahwa disitu banyak makam zaman dulu, makam masa kerajaan itu memang sudah jadi rahasia umum," jelas Herman.

"Tetapi makam itu selama ini hanya sebagai objek wisata sejarah bukan cagar budaya, ini merupakan dua hal yang harus dibedakan," tambahnya.

Herman menjelaskan, tidak semua objek wisata itu dianggap sebagai cagar budaya. Situs cagar budaya itu butuh waktu dalam pengusulannya. Ia menyarankan, lebih baik Pemerintah Kota Banda Aceh menurunkan tim ahli bekerja sama dengan BPCB, mengkaji ulang dulu, apakah memang lokasi itu tidak menjadi masalah di kemudian hari karena nilai-nilai sejarah yang terlalu tinggi.

"Kalau memang nanti pihak BPCB mengatakan ini memang benar usia manusia sekian tahun setelah dikaji dan diusulkan sebagai daerah cagar budaya, otomatis harus ditunda pembangunan itu," katanya.

"Makanya menurut saya bukan berarti dihentikan tetapi ditinjau ulang soal kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul kedepan," pungkasnya.


Keyword:


Editor :
Fira

riset-JSI
Komentar Anda