Beranda / Berita / Aceh / Stigma Perempuan Tak Bisa Memimpin Negeri

Stigma Perempuan Tak Bisa Memimpin Negeri

Minggu, 28 Februari 2021 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Riski

Zalikha. [For Dialeksis]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Zalikha warga Lam Raya, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh Besar, baru saja menyelesaikan wisuda Program Doktoral atau S3 nya.

Perempuan kelahiran Aceh Besar tahun 1973 ini menempuh pendidikan S3 dengan memperoleh Beasiswa dari Kementerian Agama Republik Indonesia dalam Program MORA Scholarship untuk melanjutkan pendidikan Doktoralnya di Universitas UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) angkatan 2017.

Zalikha atau yang akrab disapa dengan Bunda oleh warganya, sangat mendorong khususnya kaum perempuan Aceh untuk terus berjuang atau berjihad dalam melanjutkan pendidikan setinggi mungkin, yang itu akan membuka wawasan sekaligus pengembangan keilmuan. sehingga dapat melahirkan generasi-generasi yang kuat akan keilmuan dan akhlak mulia dalam masyarakat. 

"Upaya memajukan kaum perempuan sering kali tersandung berbagai persoalan sosial keagamaan. Budaya patriarki (mengutamakan laki-laki) yang masih kental dirasakan pada masyarakat Aceh umumnya dan masyarakat Aceh Besar khususnya juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan perempuan tertinggal," ujar Zalikha kepada Dialeksis.com, Sabtu (27/02/2021).

Dalam dunia politik, lanjut dia, juga masih sedikit sekali perempuan yang ikut berperan aktif di dalamnya, baik ditingkat paling bawah seperti struktur Pemerintahan Gampong maupun di tingkat Provinsi. Struktur pemerintahan Gampong di Aceh selama ini masih didominasi oleh laki-laki, padahal perempuan juga dapat berperan dan mengambil bagian di dalamnya.

Zalikha menjelaskan, dalam catatan sejarah, wanita-wanita Aceh sudah menunjukkan kegemilangan. Di mana Aceh pernah dipimpin oleh Sulthanah selama 59 tahun, dan Laksamana Keumala Hayati seorang Komandan perang yang sangat luar biasa, di dalam pasukannya terdiri dari laki-laki.

"Selama perempuan dapat menjaga marwah dan mempunyai kompetensi yang tangguh maka wanita dapat menjadi pemimpin baik di ranah publik maupu politik," kata Zalikha.

Dalam pemaparannya, Zalikha sangat menyayangkan, sampai saat ini beberapa kalangan agamawan masih berpandangan bahwa perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin. Hal ini sangat kentara kelihatannya pada masyarakat Gampong dalam wilayah Aceh. 

Misalnya saja Kabupaten Aceh Besar terdiri dari 23 Kecamatan dan 604 buah Gampong, dari 23 Kecamatan tidak satu pun ada camat perempuan. Sejak tahun tahun 2017 baru muncul dua Keuchik (Kepala Desa) perempuan dari 604 Gampong. 

"Ironis memang, kesenjangan masih sangat diskriminatif, dan ini menjadi pertanyaan besar. Semoga ke depan pihak penyelenggara pemerintahan dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota sampai tingkat Desa bisa membenahi dan pro-aktif terhadap persoalan ini," imbuh Zalikha.

Di akhir perbincangannya, Zalikha mengharapkan agar perempuan Aceh dapat melanjutkan pendidikan setinggi mungkin dan menggapai cita-citanya. Agar dapat melawan stigma bahwa perempuan hanya bisa berada tiga ranah 'Dapur, Sumur dan Kasur.' 

"Mari berjuang untuk kemajuan dan perbaikan keadaan," pungkas Zalikha.

Keyword:


Editor :
Fira

riset-JSI
Komentar Anda