Senin, 19 Mei 2025
Beranda / Berita / Aceh / Survei: Pemuda Tinggalkan Agama, Akademisi UIN Ar-Raniry Ajak Perkuat Keislaman

Survei: Pemuda Tinggalkan Agama, Akademisi UIN Ar-Raniry Ajak Perkuat Keislaman

Minggu, 18 Mei 2025 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD), Dr. Teuku Zulkhairi. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sebuah survei global yang dirilis dan dikutip oleh Dialeksis.com menyebutkan bahwa semakin banyak anak muda di berbagai belahan dunia mulai meninggalkan agama warisan, yakni agama yang mereka anut karena diturunkan dari keluarga dan lingkungan. Fenomena ini menunjukkan adanya jarak yang semakin melebar antara generasi muda dengan nilai-nilai spiritual yang sebelumnya menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka.

Menanggapi fenomena tersebut, akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD), Dr. Teuku Zulkhairi, menyatakan keprihatinan sekaligus mengajak semua pihak di Aceh khususnya para da’i, akademisi, dan pengelola lembaga pendidikan Islam untuk tidak memandang remeh perkembangan tersebut.

“Meski survei ini berskala global, Aceh tidak boleh merasa kebal. Justru kita harus memandang ini sebagai peringatan dini untuk lebih serius membina generasi muda kita agar tetap bangga dan mantap dengan identitas keislamannya,” ujar Teuku Zulkhairi saat dihubungi Dialeksis.com , Minggu, 18 Mei 2025.

Menurutnya, salah satu faktor utama yang menyebabkan anak muda meninggalkan agama adalah cara penyampaian agama yang tidak kontekstual, monoton, dan tidak mampu menjawab kegelisahan zaman. Dalam banyak kasus, agama justru hadir dalam bentuk yang terlalu formalistik dan terputus dari realitas yang dihadapi anak muda.

“Jika agama hanya disampaikan sebagai kumpulan doktrin yang harus dihafal, tanpa menjawab pertanyaan mereka tentang eksistensi, nilai, dan tantangan hidup, maka sangat mungkin mereka merasa agama tidak lagi relevan,” lanjutnya.

Oleh sebab itu, Zulkhairi menyampaikan enam langkah strategis yang menurutnya penting untuk segera dilakukan demi menguatkan kembali hubungan generasi muda Aceh dengan agamanya:

Pertama, memperkuat pendidikan Islam yang kontekstual dan rasional di sekolah-sekolah dan kampus. Ia mendorong agar pelajaran agama tidak hanya mengajarkan hafalan, tetapi juga mengajak siswa berdialog dan berpikir. Tema-tema kontemporer seperti lingkungan, gender, ekonomi syariah, bahkan krisis eksistensial anak muda, perlu dibahas dalam perspektif Islam secara terbuka.

“Generasi muda membutuhkan ruang untuk bertanya dan merenung. Islam harus hadir di tengah percakapan mereka, bukan hanya menjadi hafalan semata,” ujarnya.

Kedua, menghidupkan kembali masjid sebagai pusat pembinaan generasi muda. Menurutnya, masjid-masjid di Aceh bisa difungsikan lebih luas, tidak hanya sebagai tempat salat berjamaah, tetapi juga sebagai ruang kreatif yang menggelar kajian Islam tematik, mentoring akhlak, hingga pelatihan kepemimpinan spiritual.

Ketiga, mendorong lahirnya gerakan kampanye identitas Islam di media sosial. Di era digital, lanjut Zulkhairi, anak muda banyak mendapatkan pengaruh dari konten-konten daring. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran dai, aktivis dakwah, dan konten kreator dari Aceh yang mampu menghadirkan narasi Islam yang positif dan menarik dalam bentuk yang sesuai dengan gaya komunikasi generasi muda, seperti video pendek, podcast, meme edukatif, hingga vlog inspiratif.

Keempat, menciptakan program beasiswa dan ekspedisi ilmiah ke dayah. Ia mengusulkan agar generasi muda Aceh diberi kesempatan untuk belajar langsung ke dayah-dayah selama masa liburan melalui program seperti “Back to Dayah”. Selain itu, kunjungan edukatif ke situs-situs sejarah ulama Aceh juga bisa menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan keilmuan Islam yang telah berakar kuat di bumi Serambi Mekkah.

Kelima, menyelenggarakan festival Islam kreatif sebagai media ekspresi positif bagi anak muda. Festival tersebut bisa diisi dengan lomba stand-up dakwah, vlog islami, komik digital, hingga desain grafis dakwah. Menurut Zulkhairi, Islam tidak harus disampaikan dalam bentuk-bentuk yang kaku. Seni dan kreativitas adalah jembatan penting dalam mendekatkan nilai-nilai Islam kepada generasi muda yang akrab dengan dunia visual dan ekspresi bebas.

Keenam, menghidupkan kembali kisah-kisah teladan dari para tokoh ulama dan pejuang Aceh. Nama-nama besar seperti Tgk. Chik di Tiro, Tgk. Hasan Krueng Kalee, Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Sultan Iskandar Muda bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga cermin karakter keislaman yang kokoh dan kontekstual. Zulkhairi menyarankan agar ketokohan mereka diangkat ulang dalam bentuk yang lebih menarik bagi generasi muda, misalnya melalui film pendek, serial YouTube, atau novel grafis.

“Kalau kita tidak menanamkan kebanggaan beragama sejak dini, anak-anak kita akan mencari identitas di tempat lain. Bisa jadi pada gaya hidup asing yang sekuler atau bahkan nihilistik. Kita harus hadir lebih awal, sebelum dunia yang keliru menjemput mereka lebih dulu,” ujarnya mengingatkan.

Di akhir pernyataannya, Zulkhairi juga mengajak semua pihak untuk tidak hanya mengandalkan lembaga formal seperti dayah atau sekolah dalam pembinaan keagamaan. Menurutnya, orang tua, media, komunitas, dan para tokoh publik juga memikul tanggung jawab besar dalam menjaga dan menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap Islam.

“Sudah waktunya kita bergerak bersama, bukan saling menyalahkan. Agama bukan barang warisan yang bisa kita wariskan begitu saja, melainkan nilai hidup yang harus terus ditanam, dirawat, dan dikomunikasikan secara hidup pula,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes
hardiknas