DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen FISIP Universitas Teuku Umar sekaligus penggerak Solidaritas Masyarakat Inong Peduli Aceh (SMIPA), Cut Asmaul Husna menyoroti Surat Keputusan (SK) penetapan anggota Baitul Mal kembali diumumkan tanpa satu pun nama perempuan.
Menurutnya, fenomena ini bukan sekadar kebetulan administratif, melainkan cerminan dari pola lama yaitu pengabaian sistematis terhadap peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik di Aceh.
“Kenapa perempuan diabaikan dalam penetapan SK Baitul Mal? Bahkan di beberapa lembaga publik lainnya, seperti saat penetapan Komisi Informasi Aceh dulu, juga tidak ada satu pun perempuan. Pertanyaannya: perempuan ini sebenarnya diperlukan kapan? Hanya saat perang, kampanye, dan urusan rumah tangga kah?” ujar Cut Asmaul Husna dengan nada getir, Kamis (6/11/2025).
Menurutnya, wacana kesetaraan gender di Aceh selama ini terlalu sering berhenti di tataran slogan. Ketika bicara pemberdayaan, nama perempuan kerap dijadikan pemanis. Namun ketika bicara kekuasaan dan posisi strategis, ruang itu tetap dikunci rapat.
Cut Asmaul Husna menepis anggapan bahwa tidak adanya perwakilan perempuan dalam lembaga seperti Baitul Mal karena faktor kualifikasi. Ia menyebut, Aceh memiliki banyak sumber daya manusia perempuan yang berkualitas, berpendidikan tinggi, dan memiliki integritas.
“Apakah memang para perempuan di Aceh tidak mampu? Perguruan tinggi kita banyak menghasilkan perempuan dengan kapasitas bagus, akademisi, aktivis, profesional. Tapi kalau ruangnya terus disempitkan, lama-lama kami tidak tertarik ikut kompetisi atau rekrutmen kelembagaan. Karena hasilnya selalu bias,” ujarnya.
Ia menegaskan, absennya perempuan bukan hanya soal representasi angka, tetapi juga hilangnya perspektif penting dalam proses pembangunan.
Menurut Husna, perempuan memandang persoalan sosial, ekonomi, dan kemiskinan dengan cara yang berbeda karena pengalaman hidup mereka yang langsung bersentuhan dengan dampak kebijakan publik.
“Perempuan penting dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Perspektif perempuan itu selalu berbeda, mulai dari perencanaan hingga pada dampak pembangunan. Ketika perspektif itu hilang, maka kebijakan yang lahir pun tidak inklusif,” tambahnya.
Ketiadaan perempuan dalam struktur lembaga publik bukan hal baru. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah lembaga strategis di Aceh mulai dari Komisi Informasi Aceh, Baitul Mal, hingga lembaga pengawasan publik lainnya seringkali menetapkan susunan kepengurusan tanpa mempertimbangkan keterwakilan perempuan.
Padahal, menurut regulasi nasional dan prinsip good governance, keterlibatan perempuan dalam lembaga publik merupakan syarat penting untuk memastikan transparansi dan keadilan sosial.
“Ini pola yang berulang. Pemerintah Aceh dan tim seleksi seolah menutup mata terhadap urgensi keterlibatan perempuan. Padahal dalam banyak hal, perempuan punya sensitivitas sosial yang kuat dan lebih dekat dengan persoalan masyarakat kecil,” tegas Husna.
Melalui Solidaritas Masyarakat Inong Peduli Aceh, Cut Asmaul Husna menyerukan agar pemerintah tidak hanya menjadikan isu gender sebagai jargon, melainkan komitmen nyata dalam kebijakan rekrutmen publik.
“Kita tidak sedang meminta belas kasihan. Kita menuntut keadilan dan ruang yang setara. Karena pembangunan Aceh tidak akan maju jika hanya dilihat dari satu sudut pandang “ sudut pandang laki-laki saja,” katanya.
Ia juga mendorong perempuan Aceh untuk terus berani bersuara dan mengambil peran, meski sistem belum sepenuhnya berpihak.
“Kalau kita diam, kita akan terus diabaikan. Tapi kalau kita bersuara dan menuntut hak kita, itu artinya kita menjaga marwah perempuan Aceh yang dulu ikut memperjuangkan negeri ini,” tutupnya. [nh]