Beranda / Berita / Aceh / Walhi Menangkan Gugatan Izin PLTA Tampur-I

Walhi Menangkan Gugatan Izin PLTA Tampur-I

Sabtu, 31 Agustus 2019 08:48 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM| - Upaya Walhi Aceh yang menggugat PT. Kamirzu untuk Pembangunan PLTA Tampur-1 membuahkan hasil. Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Banda Aceh mengabulkan seluruh gugatan Walhi Aceh.

Gugatan itu terkait penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterbitkan Gubernur Aceh kepada PT. Kamirzu untuk Pembangunan PLTA Tampur-I.

Atas kemenangan itu, Walhi Aceh mengirimkan relis tentang gugatan yang mereka lakukan, dimana telah dikabulkan majlis hakim TUN Banda Aceh.

Muhammad Reza Maulana, Ketua Tim Pengacara Walhi Aceh, mengatakan, "Intinya dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) No.522.51/DPMPTSP/1499/2017 yang diterbitkan Gubernur Aceh, bukanlah wewenang gubernur.

Izin IPPKH itu dihubungkan dengan UUPA (Pasal 156, 165 dan 150) UU Kehutanan dan aturan Pelaksananya (UU 41/1999, PP 24/2010, Permen LHK No. P-50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan seterusnya), menyatakan bahwa Gubernur hanya berwenang menerbitkan IPPKH untuk luasan paling banyak 5 hektar dan bersifat non-komersial.

Sedangkan fakta hukumnya IPPKH yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh kepada PT. Kamirzu terbit dengan luasan 4.407 Hektar, oleh karena itu majelis hakim menyatakan Gubernur Aceh tidak berwenang menerbitkan IPPKH.

Selain itu dalam pertimbangannya majelis hakim juga menyampaikan penerbitan izin di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) juga bertentangan dengan Pasal 150 UU Pemerintahan Aceh.

Ada yang menarik dalam putusan ini, penemuan hukum oleh majelis yaitu objek sengketa (IPPKH) ternyata telah diubah atau direvisi dengan IPPKH baru pada 29 Januari 2019.Majelis hakim menyatakan karena bentuknya revisi maka dianggap satu kesatuan, sehingga majelis hakim menarik perubahan tersebut ke dalam persidangan dan disebutkan di dalam pembatalan putusannya.

Artinya, selain objektif menilai dan memutuskan, majelis hakim juga memberikan pelajaran hukum baru bagi seluruh rakyat Indonesia, sebut Muhammad Reza.

Menurut Muhammad Nur, Direktur Walhi Aceh, keputusan ini sebagai kemenangan rakyat yang berjuang untuk pemenuhan hak dan keadilan hukum demi terciptanya lingkungan yang sehat.

M Nur mengapresiasi putusan ini, karena saat ini sangat langka ada pengadilan yang memberikan putusan hukum dengan gugatan aspek lingkungan hidup.

"Terima kasih kepada majelis hakim yang telah dengan teliti melihat perkara ini dari berbagi aspek. Hingga saat ini dukungan dari masyarakat juga ditunjukkan melalui petisi "Batalkan Proyek PLTA Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa" yang mencapai hingga 144.000 tandatangan," kata M Nur.

Dilain sisi, M Fahmi, salah satu anggota tim Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH), menyambut keputusan ini sebagai kemenangan besar bagi lingkungan. "Keputusan pengadilan untuk mencabut IPPKH bendungan PLTA Tampur ini diharapkan bisa menjadi preseden bagi proyek-proyek lain yang mengancam perlindungan hutan di Indonesia."

Bagaimana keputusan majlis hakim, berikut amar putusanya;

Dalam eksepsi, menolak Eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi untuk seluruhnya.

Dalam pokok perkara,

Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya

Menyatakan batal dan/atau tidak sah Keputusan Gubernur Aceh No. 522.51/DPMPTSP/1499/2017, tanggal 09 Juni 2017 tentang Pemberian IPPKH dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik tenaga air Tampur-I (443 MW) seluas -+ 4.407 Ha atas nama PT. Kamirzu di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh beserta perubahnnya.

Mewajibkan tergugat untuk mencabut objek sengketa beserta perubahannya.

.Membayar biaya perkara secara tanggung renteng.

 Selebihnya majelis hakim memberikan kesempatan untuk para pihak yang berkeberatan mengajukan banding ke PT. TUN Medan paling lama 14 hari sejak putusan ini dibacakan.

Risiko dan Dampak Proyek PLTA Tampur-1

Dari evaluasi curah hujan, kemiringan dan jenis tanah di daerah itu yang dilakukan pada bulan November 2017, dari hasil survei ditemukan bahwa PLTA Tampur dan infrastruktur pendukungnya, seperti jalan dan jalur transmisi, akan dikembangkan di tanah yang sangat sensitif.

Lokasi yang dipilih adalah suboptimal untuk pembangunan dan kemungkinan akan mengalami peningkatan tingkat erosi, banjir, tanah longsor dan rawan gempa. Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera.

Bendungan setinggi 193 meter berpotensi untuk jebol dan menelan banyak korban jiwa hingga membawa bencana bagi masyarakat yang berada di hilir.

Mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan, kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser yang berfungsi sebagai habitat Gajah Sumatra yang terancam punah.

Daerah itu masih berhutan lebat dan, selama survei, tim menemukan banyak jejak kaki gajah di sepanjang Sungai Lesten dan setidaknya 6 sarang orangutan. Proyek PLTA Tampur termasuk dalam koridor gajah besar terakhir (yaitu, koridor Lesten) dalam Kawasan Ekosistem Leuser, dan kemungkinan akan memecah populasi gajah terakhir di Aceh, mendorongnya semakin mendekati kepunahan.

Proyek ini akan membanjiri seluruh desa Lesten, saat ini menampung 74 keluarga. Perusahaan diharuskan menyelesaikan proses relokasi ke semua 74 keluarga sebelum 9 Juni 2018.

Tetapi sampai saat ini PT. Kamirzu masih belum menemukan daerah yang cocok untuk relokasi desa tanpa risiko mengekspos komunitas Lesten untuk semakin meningkatnya konflik dengan gajah.

Putusan majlis hakim TUN Banda Aceh ini, menjadi pelajaran bagi peminta PPKH dan pihak yang mengeluarkan izin. (baga/rel)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda