Beranda / Berita / Aceh / Warga Kopelma Darussalam Menolak Penggusuran Rumah Dinas

Warga Kopelma Darussalam Menolak Penggusuran Rumah Dinas

Minggu, 22 Agustus 2021 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Sebanyak 39 warga yang menempati rumah Dinas eks Dosen di Kopelma Darussalam menolak dilakukan penggusuran oleh pihak Rektorat Unsyiah. [Foto: ANTARA/Teuku Dedi Iskandar]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sebanyak 39 warga yang menempati rumah Dinas eks Dosen di Kopelma Darussalam menolak dilakukan penggusuran oleh pihak Rektorat Unsyiah.

Dari rillis yang didapat oleh Dialeksis.com, Minggu (22/08/2021), dalam siaran persnya Ketua Forum Warga Kopelma Darussalam, Dr Otto Syamsuddin Ishak, mengatakan dengan tegas menolak pihak rektorat Unsyiah menggusur rumah yang ditempati saat ini oleh keluarga mantan dosen yang pernah mengabdikan diri kepada Unsyiah kala itu.

Tidak sampai di situ, warga juga telah melayangkan surat ke pihak DPRA dan Gubenur Aceh agar penggusuran ditangguhkan hingga saat yang belum ditentukan kemudian hari.

Namun, ironisnya pihak rektorat Unsyiah seakan mengabaikan hal tersebut. Bahkan mengeluarkan 'jurus' baru yakni membuat surat lain memaksaa pihak warga segera mengosongkan rumah tersebut.

Dalam siaran pers yang diterima wartawan, Minggu (22/08/2021), Otto memberitahukan pada publik bahwa di dalam rapat koordinsasi yang diselenggarakan oleh BPN Kota Banda Aceh pada tanggal 5 Agustus 2021, yang terkait dengan Riwayat Tanah Hak Pakai Nomor 1 Kopelma Erpacht Verponding Nomor 14 “Roempit”, sebagaimana yang termaktub di dalam slide presentasi dari pihak BPN Kota, ada indikasi pemutarbalikan fakta.

Pertama, Slide No 01 menyatakan bahwa 1 Agustus 1925, N.V LandBouw Onderneming Roempit melalui kuasanya secara Lisan menyerahkan Erpacht Verponding Nomor 14 kepada T. Nyak Arief sesuai dengan Afshict Proces Verbal tanggal 14 Februari 1939 dibuat oleh J.C. Tiggleman. Adisprant Controulansch Bestuur di Koetaraja.

"Bahwa status tanah erpacht ini berada dalam status hukum pemerintahan barat, dikarenakan tanah tersebut berada di daerah Istimewa Aceh maka sebelum tahun 1958 tanah yang memiliki luas 181.3 Ha ditetapkan oleh Gubernur Ali Hasyimi sebagai lokasi pengembangan Kota Pelajar dan Mahasiswa Darussalam untuk dijadikan lokasi pembangunan Perguruan Tinggi Jantong Hate Rakyat Aceh,"tegas Otto.

Lalu pada point kedua slide point Nomor 3 menyatakan bahwa Surat Nomor 994/1/DIT.AGR/74 tanggal 22 Juli 1974 Gubernur Aceh Menyetujui untuk memberikan ganti rugi kepada ahli waris T. Nyak Arief.

Otto membantah pernyataan itu dengan menyatakan bahwa ganti rugi ini diwakilkan oleh ahli waris yaitu saudara T. Samsul Bahri S.H adalah persetujuan ganti rugi terhadap tanaman yang usahakan masyarakat di atas tanah Erpacht yang dikuasai oleh T. Nyak Arief. “Jadi bukan ganti rugi lahan,” tegas Otto.

Ketiga, Slide Nomor 04 menyatakan bahwa pada 18 Januari 1975 diterbitkan berita acara penaksiran Ganti Rugi perkebunan yang dibuat oleh Panitia Penaksir sejumlah Rp. 32.625.000 terhadap ganti rugi atas tanaman, bangunan dan alat alat pengolahan/pabrik.

Otto, membantah bahwa ganti rugi ini adalah atas negosiasi tanaman diatas lahan erpacht milik Pemerintah daerah berpedoman pada surat , Ali Hasyimi selaku Gubernur Daerah Istimewa Aceh Pada tanggal 30 Januari 1961.

Kemudian yang keempat slide Nomor 05 menyatakan bahwa berdasarkan SK Mentri P dan K No. 742/D/2/DIT/75/349 19 Mei 1975, bendahara proyek menyetujui ganti rugi Rp. 32.625.000.

"Bahwa tidak dijelaskan ganti rugi untuk obyek apa. Padahal menjadi dasar Hukum ganti rugi tanaman (bukan untuk lahan yang menjadi hak milik Pemerintah Aceh) adalah status opersional pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sementara secara tehnis tanah tersebut adalah milik Pemerintah Daerah," terang Otto lagi.

Lanjut yang kelima slide point Nomor 06 menyatakan bahwa Kuitansi Tanda terima uang sejumlah Rp. 32.625.000 oleh T. Syamsul Bahri, S.H untuk Pembayaran tanaman diatas tanah seluas 181.3 Ha/ Hak Erpacht Nomor 14 Roempit.

"Mohon dipertunjukan bukti penanda tangganan pembayaran tersebut," ucap Otto berapi-api.

Hal lain yang keenam slide nomor 07 menyatakan bahwa T. Syamsul Bahri SH, bertindak untuk dan atas nama para ahli waris. 

Pernyataan hukum para ahli waris dalam pernyataan legal Alm. T. Nyak Arief sesuai dengan akta Notaris Abdul Latif Nomor 42 membuat keterangan yang berbunyi “ Bahwa atas nama para ahli waris melepaskan semua hak atas kebun bekas hak Erpacht nomor 14 Roempit yang sekarang Kampus Unsyiah seluas 181.3 Ha. 

"Kami membantah bahwa sifat pembuatan akta notaris merupakan sikap dari para ahli waris tentang penguasaan terhadap tanah erpacht yang sudah diwakafkan oleh T. Nyak Arief kepada Pemerintah Daerah pada tahun 1958," imbuhnya lagi.

Pada tanggal 30 Januari 1961, Ali Hasyimi selaku Gubernur Daerah Istimewa Aceh menyatakan larangan kepada pemilik/Pemegang Hak Erpacht yang letaknya didalam Daerah istimewa Aceh untuk menjual, menyerahkan dan menyewakan tanah Hak Erpacht tanpa izin dari Gubernur Aceh.

Dimana yang ketujuh slide Nomor 09 menyatakan bahwa Terbitnya Hak pakai Nomor 1/ Kopelma atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 4 November 1992. 

Hal ini juga dibantah berdasarkan PP Nomor 40 1996, tentang hak Guna Usaha, Hak guna Bangunan dan Hak pakai atas tanah pada bagian keempat Jangka waktu hak guna Usaha berbunyi:

Pasal 8 : (1). Hak guna usaha sebagaimana dimaksud pada pasal 6 diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, sehingga bila mana sertifikat hak pakai tertanggal 4 Desember 1992, maka akhir masa pemakaian adalah jatuh pada 2027 (35 tahun) telah habis masa hak pakai. 

Oleh karena itu, pihak Unsyiah tidak dapat melakukan tindakan yang berkonsekuensi hukum, karena melanggar Pasal 12, tentang kewajiban dan hak pemegang hak guna usaha (Poin D).

Oleh karena ada indikasi pemanipulasian fakta sejarah, sosial dan hukum di dalam presentasi slide pihak BPN Kota, yang kemudian dapat menjadi pegangan untuk pihak Universitas Syiah Kuala mengeluarkan Surat pemberitahuan pengosongan rumah dinas hingga batas waktu 31 Agustus, 12 Agustus 2021, yang sudah barang tentu merugikan warga Kopelma Darussalam, yang sekaligus pemusnahan aset Pemerintah Aceh, dan melanggar Qanun No.2/2018 Tentang Rencana Tata Ruang Banda Aceh 2009-2029, yang mana Kopelma Darussalam ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. 

"Demikianlah pernyataan ini kami susun untuk menjadi pertimbangan pihak-pihak terkait, antara lain, Gubernur Aceh, Pimpinan DPRA, instansi horizontal dan vertikal yang terkait, Walikota dan DPR Kota, serta publik warga Aceh pada umumnya," tandas Otto. (*)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda