DIALEKSIS.COM | Analisis - Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi kebutuhan penting bagi kota modern. Bukan hanya sebagai paru-paru kota, tetapi juga ruang bersama yang mencerminkan nilai sosial, budaya, dan sejarah suatu wilayah. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk menjamin keberadaan dan pengelolaan RTH secara adil dan berkelanjutan.
Blang Padang, yang terletak di pusat Kota Banda Aceh, merupakan salah satu RTH paling penting. Ia tidak hanya menjadi landmark kota, tapi juga pusat berbagai kegiatan publik. Namun dalam perkembangannya, muncul sejumlah polemik, seperti:
• Klaim sebagai aset Pemerintah Aceh,
• Dugaan sebagai tanah wakaf untuk Masjid Raya Baiturrahman,
• Klaim penggunaan oleh TNI Angkatan Darat.
Situasi ini membutuhkan kajian yang menyeluruh”berbasis sejarah, hukum, dan tata ruang”agar status hukum dan pengelolaannya menjadi jelas serta berpihak pada kepentingan publik.
Fakta dan Data
Blang Padang adalah salah satu ruang terbuka hijau (RTH) paling vital di Kota Banda Aceh. Berlokasi di Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, kawasan ini dikelilingi oleh sejumlah jalan utama yang menghubungkan pusat pemerintahan, masjid raya, serta kawasan komersial kota. Luasnya diperkirakan mencapai 8 hingga 10 hektare, menjadikannya salah satu kawasan terbuka terbesar dan paling strategis di Banda Aceh.
Namun, kekuatan Blang Padang tidak hanya terletak pada luas lahannya, melainkan juga pada sejarah panjang dan fungsi sosialnya yang telah melewati berbagai fase zaman. Berikut rangkuman data dan fakta sejarah penggunaan Blang Padang:
1. Masa Kesultanan Aceh
Pada era Kesultanan Aceh, Blang Padang dikenal sebagai padang rakyat. Kawasan ini digunakan sebagai tempat latihan militer pasukan Sultan, lokasi pengumuman resmi kerajaan, hingga lahan rumput musiman untuk ternak. Meski penggunaannya bersifat terbuka untuk rakyat, tidak ditemukan dokumen resmi yang menyatakan bahwa lahan ini pernah diwakafkan secara hukum atau adat.
2. Masa Kolonial Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, Blang Padang dicatat dalam arsip kolonial sebagai Paradeplaats, atau lapangan parade militer. Tentara Hindia Belanda (KNIL) memanfaatkan kawasan ini untuk latihan militer dan berbagai acara resmi. Catatan ini memperkuat fakta bahwa Blang Padang sejak lama telah berfungsi sebagai tanah negara, bukan milik pribadi atau lembaga keagamaan.
3. Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Blang Padang tetap memainkan peran penting sebagai ruang publik. Kawasan ini menjadi tempat penyelenggaraan upacara kenegaraan, kegiatan olahraga rakyat, hingga ajang nasional seperti Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional tahun 1981. Saat itu, muncul penamaan simbolik “Desa Arafah” untuk mendukung kegiatan keagamaan. Namun, sebutan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengubah status kepemilikan tanah.
4. Kondisi Saat Ini
Saat ini, Blang Padang telah ditetapkan sebagai salah satu zona ruang terbuka hijau strategis dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh. Pemerintah Aceh melalui dokumen Action Plan 2015“2020 juga menegaskan peran kawasan ini sebagai pusat kegiatan publik, olahraga, kebudayaan, hingga wisata sejarah. Fungsinya tidak hanya sebagai paru-paru kota, tetapi juga sebagai ruang integrasi sosial yang mewadahi beragam kegiatan warga.
Dengan lokasi yang strategis, sejarah yang panjang, dan nilai sosial yang tinggi, Blang Padang tak sekadar lahan kosong di tengah kota. Ia adalah ruang hidup warga, simbol keterbukaan, dan bagian penting dari identitas Banda Aceh yang harus dijaga bersama.
Status Kepemilikan Blang Padang
Status kepemilikan Blang Padang selama ini kerap diselimuti narasi multitafsir. Namun, jika merujuk pada fakta hukum dan administrasi pertanahan, status lahan strategis ini sesungguhnya sudah cukup terang.
Hingga kini, tidak ditemukan adanya Akta Ikrar Wakaf (AIW) maupun sertifikat tanah wakaf yang tercatat resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), Badan Pertanahan Nasional (BPN), maupun Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dengan demikian, klaim bahwa Blang Padang merupakan tanah wakaf tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Penamaan kawasan dengan istilah “Desa Arafah” yang kerap dikaitkan dengan unsur religius, juga tidak serta-merta memberikan kekuatan hukum atas status wakaf. Sebab, secara legal formal, nama lokasi atau simbol kultural tidak bisa menggantikan dokumen otentik sebagai dasar penetapan wakaf.
Sebaliknya, Blang Padang secara administratif telah tercatat sebagai aset milik Pemerintah Aceh yang diperuntukkan bagi kepentingan publik. Ini menjadikan status hukumnya sebagai bagian dari tanah negara yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah daerah, bukan tanah milik pribadi, lembaga keagamaan, apalagi wakaf.
Adapun pemanfaatan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya oleh Kodam Iskandar Muda, selama ini bersifat pendampingan kegiatan kenegaraan atau seremonial. Kehadiran TNI di sana tidak menandakan bentuk penguasaan tetap, apalagi kepemilikan.
Dengan demikian, secara hukum dan administrasi pertanahan, Blang Padang adalah tanah negara yang sah dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Aceh. Narasi wakaf yang berkembang selama ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kekeliruan persepsi publik dan hambatan dalam pengambilan kebijakan tata ruang di kawasan tersebut.
Klaim TNI AD
Kodam Iskandar Muda pernah menempatkan plang bertuliskan “Hak Pakai TNI AD No. Reg. 30101043.” Klaim ini menimbulkan kebingungan dan perlu ditelusuri legalitasnya.
Analisis Kasus
Di tengah geliat pembangunan kota dan tarik-menarik kepentingan sektoral, Blang Padang berdiri sebagai satu-satunya ruang terbuka hijau luas yang tersisa di jantung Banda Aceh. Namun, status hukumnya yang belum final membuat kawasan ini berada dalam bayang-bayang ketidakpastian. Analisis berikut merangkum berbagai aspek penting dari persoalan Blang Padang.
1. Status Hukum: Bukan Wakaf, Bukan Milik TNI
Secara legal, tidak ada bukti sah yang menunjukkan Blang Padang merupakan tanah wakaf. Tidak ditemukan Akta Ikrar Wakaf atau sertifikat tanah wakaf di KUA, BPN, maupun BWI. Justru dokumen resmi mencatat kawasan ini sebagai aset milik Pemerintah Aceh yang diperuntukkan bagi kepentingan umum.
Sementara itu, klaim Kodam Iskandar Muda terhadap Blang Padang hanya tercatat dalam sistem inventaris barang milik negara dengan Nomor Register RE 30101043. Ini bersifat administratif internal dan bukan sertifikat hak pakai atau hak pengelolaan yang diterbitkan oleh BPN. Artinya, secara hukum, klaim tersebut tidak memiliki kekuatan kepemilikan tetap.
2. Fungsi Sosial dan Budaya: Ruang Demokrasi Terbuka
Sejak masa Kesultanan Aceh hingga era kemerdekaan, Blang Padang telah digunakan sebagai ruang publik: tempat latihan militer, pusat peringatan kenegaraan, kegiatan olahraga rakyat, hingga arena MTQ tingkat nasional. Fungsinya sebagai ruang terbuka publik telah mengakar kuat dalam kesadaran kolektif warga kota, menjadikannya simbol kebersamaan, kebhinekaan, dan demokrasi lokal.
3. Nilai Strategis Blang Padang
Blang Padang memiliki nilai strategis lintas sektor:
Ekologis: Menjadi paru-paru kota, kawasan ini berperan penting dalam menurunkan suhu, menyerap air hujan, dan memperbaiki kualitas udara.
Tata Ruang: Sebagai landmark perkotaan, Blang Padang memperkuat identitas visual dan budaya Kota Banda Aceh.
Sosial: Ia menjadi tempat inklusif yang terbuka untuk semua kalangan ” dari pedagang kecil, pelari pagi, hingga panggung budaya dan aksi demonstrasi.
4. Ancaman Alih Fungsi: Dari Ruang Rakyat Menjadi Ruang Tertutup?
Ancaman terhadap Blang Padang nyata adanya. Tekanan pembangunan, investasi, dan kekaburan tata kelola bisa berujung pada alih fungsi ruang ini menjadi kawasan tertutup atau bahkan komersial. Bila tidak ada regulasi dan proteksi hukum yang jelas, publik dapat kehilangan akses terhadap ruang yang selama ini menjadi milik bersama.
5. Peran TNI: Pendamping Seremonial, Bukan Pengelola
Kodam Iskandar Muda memang kerap menggunakan Blang Padang untuk kegiatan seremonial, protokoler, dan pengamanan acara besar. Namun, penggunaan ini bersifat sementara dan fungsional ” bukan sebagai bentuk penguasaan tetap atau legalitas kepemilikan. Fungsi TNI di sini lebih sebagai penjaga keamanan, bukan sebagai pemegang hak atas lahan.
6. Nomor Register RE 30101043: Sekadar Catatan Administratif
Nomor Register RE 30101043 yang diklaim TNI hanyalah pencatatan di dalam sistem Barang Milik Negara (BMN). Di sisi lain, Pemerintah Aceh juga mencatat Blang Padang sebagai Barang Milik Daerah (BMD). Hingga kini, tidak satu pun pihak ” baik TNI maupun Pemprov Aceh ” memiliki sertifikat resmi dari BPN. Inilah yang membuat urgensi penyelesaian status kepemilikan semakin mendesak.
7. Urgensi Kolaborasi Lintas Sektor
Untuk menuntaskan status hukum Blang Padang, diperlukan kolaborasi multipihak yang melibatkan Pemerintah Aceh, Kodam IM, Kementerian Keuangan, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Pertahanan. Hanya melalui koordinasi antarinstansi dan keterbukaan data, kejelasan status dan kepemilikan kawasan ini dapat diselesaikan secara adil dan transparan.
8. Menjaga Kepentingan Publik di Atas Segalanya
Di atas semua polemik dan klaim, satu hal yang tak boleh dilupakan: Blang Padang adalah ruang publik milik rakyat. Ia bukan sekadar hamparan rumput, melainkan warisan sejarah, simbol keterbukaan, dan ruang ekspresi warga kota. Kepentingan publik harus ditempatkan sebagai prioritas utama ” di atas klaim administratif maupun ambisi komersialisasi.
Jika Blang Padang hilang dari tangan rakyat, maka yang raib bukan hanya sebidang tanah, tapi juga denyut kehidupan sosial kota ini.
Kesimpulan
Blang Padang, yang terletak di jantung Kota Banda Aceh, merupakan aset Pemerintah Daerah Aceh yang diperuntukkan bagi kepentingan publik. Kawasan ini bukan hanya simbol ruang terbuka hijau (RTH) strategis kota, tetapi juga menjadi ruang sosial, budaya, dan sejarah bagi masyarakat Banda Aceh.
Hingga kini, tidak ada bukti legal yang sahih yang menunjukkan bahwa lahan Blang Padang merupakan tanah wakaf. Klaim sepihak yang menyebutkan status wakaf tidak didukung oleh dokumen hukum yang valid atau tercatat secara resmi dalam lembaga pengelola wakaf yang diakui negara.
Di sisi lain, klaim Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap kawasan ini melalui Nomor Register RE 30101043 sejatinya bersifat administratif semata. Register tersebut tidak menunjukkan hak milik yang sah secara hukum atas tanah, melainkan hanya mencatat penggunaan lahan dalam kapasitas institusional.
Status Blang Padang sebagai ruang terbuka hijau telah ditegaskan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini secara tegas melarang alih fungsi kawasan RTH strategis tanpa melalui proses hukum dan persetujuan publik yang ketat.
Adapun keberadaan Kodam Iskandar Muda di kawasan Blang Padang selama ini hanya bersifat seremonial dan dalam rangka pengamanan kegiatan kenegaraan atau sosial. Penggunaan tersebut tidak dapat diartikan sebagai bentuk penguasaan tetap atas lahan, apalagi kepemilikan.
Dengan demikian, Blang Padang harus tetap dijaga sebagai aset bersama rakyat Aceh. Pemerintah Daerah memiliki dasar hukum, moral, dan publik untuk mempertahankan fungsi sosial dan ekologis kawasan ini, agar tidak tergeser oleh klaim administratif atau kepentingan institusional yang tidak berdasar.
Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan Blang Padang
Untuk memastikan Blang Padang tetap menjadi ruang publik yang inklusif, lestari, dan bermanfaat bagi masyarakat Aceh, diperlukan sejumlah langkah konkret dan terukur dari Pemerintah Aceh serta para pemangku kepentingan terkait.
Pertama, Pemerintah Aceh didesak segera mengambil langkah hukum formal dengan mengurus sertifikasi resmi atas lahan Blang Padang melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sertifikasi ini penting untuk memperkuat legalitas kepemilikan daerah dan menghindari sengketa yang berlarut-larut.
Kedua, perlu segera disusun dan disahkan regulasi daerah khusus yang secara spesifik mengatur tata kelola dan perlindungan kawasan Blang Padang. Aturan ini harus menjamin statusnya sebagai ruang terbuka hijau strategis sekaligus mengatur batasan pemanfaatan agar sesuai dengan visi kepentingan publik.
Ketiga, setiap rencana revitalisasi kawasan Blang Padang wajib dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat, akademisi, komunitas lokal, dan unsur sipil lainnya. Proses ini harus mengedepankan prinsip transparansi serta menjamin bahwa fungsi sosial, budaya, dan ekologis Blang Padang tetap menjadi prioritas utama.
Keempat, segala bentuk rencana alih fungsi kawasan, khususnya untuk kepentingan komersial yang membatasi akses publik, harus ditolak secara tegas. Blang Padang bukan ruang bisnis, melainkan ruang hidup bersama yang menjadi simbol keterbukaan, keadilan, dan identitas kota.
Kelima, penting untuk segera membentuk forum kerja sama antarinstansi yang melibatkan Pemerintah Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh, BPN, TNI, dan perwakilan masyarakat sipil. Forum ini bertugas menyelesaikan status hukum dan skema pengelolaan Blang Padang secara adil, transparan, dan akuntabel.
Dengan langkah-langkah ini, Blang Padang dapat dijaga sebagai warisan ruang publik yang tidak hanya menjadi kebanggaan warga Banda Aceh, tetapi juga menjadi model tata kelola ruang kota yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Penulis: Muhammad Ridwansyah selaku Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien