Beranda / Analisis / KUOTA CALEG 100 PERSEN VS 120 PERSEN

KUOTA CALEG 100 PERSEN VS 120 PERSEN

Kamis, 28 Juni 2018 23:23 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh Aryos Nivada

Dinamika demokrasi di Aceh selalu menyedot perhatian publik Aceh, bahkan nasional. Keanomalian/keasimetrisan membuat penyelenggaraan berbeda dibandingkan dengan provinsi lain. Regulasi dan peraturan maupun tekanan politik menciptakan keanomalian atas pelaksanaan kepemiluan di Aceh. Salah satunya terkait kebijakan pemberlakuan kuota 100% dan 120%. Kilas balik kebijakan 100% atau 120% memicu polemik terjadi pada Pemilu tahun 2014, sekarang kembali mengemuka lagi dan publik Aceh, khususnya elit politik merespon kembali menjelang di tahun 2019.

Munculnya polemik itu, terlihat dari fakta adanya Surat KPU nomor: 605/PL.01.4-SD/06/KPU/VI/2018 tanggal 25 Juni 2018. Isinya mengatur  yang mengatur tentang kouta caleg Aceh 100 persen bagi DPRA/DPRK. Walhasil menuai respon publik Aceh, menilai bahwa surat tersebut merupakan tindakan sepihak pusat yang untuk kesekian kali hendak membonsai kewenangan Aceh. Begitulah kira-kira bahasa mereka yang cinta khususan.

Ruh dari isi surat KPU menyatakan, penetapan calon anggota legislatif (caleg) yang wajib diajukan ke KIP pada Pemilu 2019 sebanyak 100 persen dari jumlah kursi di setiap daerah pemilihan. Dasar pondasi hukumnya merujuk kepada perintah Pasal 244 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Logika hukumnya, mengingat tidak ada ketentuan lain setingkat undang-undang yang mengatur selain ketentuan tersebut pada wilayah tertentu, maka KPU memutuskan ketentuan tersebut berlaku untuk seluruh Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh dan seluruh kabupaten/kota di wilayah Provinsi Aceh.

Apa justifikasi dari KPU itu final berlaku di Aceh ? Tentunya menimbulkan tanda tanya besar bagi kita semua masyarakat Aceh.

Sebelum menjawabnya harus difahami argumentasi subtansi dari putusan KPU apakah memperhatikan atau sengaja mengenyampingkan keberadaan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Partai Lokal (Parlok) yang mengatur tentang pengajuan caleg sebanyak 120 persen seperti berlaku selama Pemilu Legislatif tahun 2009 dan 2014.

Sejarah  Kouta 120 Persen

Jika kita cermati berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan dasar hukum penyelenggaraan Pemilu Legislatif Tahun 2009.

Tersebutkan di dalam Pasal 54 UU 10 Tahun 2008 diatur daftar bakal calon legislatif memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.

Ketentuan inilah yang kemudian diadopsi secara utuh oleh DPRA Periode 2004-2009 dalam Pasal 17  Qanun Aceh Nomor  3 Tahun 2008 Tentang Partai politik lokal peserta pemilihan umum Anggota dewan perwakilan rakyat aceh dan dewan Perwakilan rakyat kabupaten/kota.

Dalam pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 disebutkan Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Apabila dilihat pasal 15, diatur ketentuan tentang daftar bakal calon anggota DPRA dan DPRK yang diajukan oleh Partai Politik Lokal. Dengan demikian apabila merujuk Qanun 3 Tahun 2008 maka pengaturan 120 persen ini adalah untuk partai politik lokal.

Disisi lain, partai nasional tidak perlu lagi diatur ketentuan mengenai 120 persen kouta caleg ketika itu karena sudah diatur dalam UU 10 Tahun 2008. Pelaksanaan Pemilu legislatif tahun 2009 tidak bermasalah dari segi regulasi dikarenakan aturan pengajuan caleg partai lokal dan partai nasional sama sama 120 persen. Ketentuan pencalonan bakal calon dengan jumlah 120 persen ini tidak hanya berlaku di Aceh, namun juga secara nasional dan juga di tingkat DPR RI pada Pemilu 2009.

Permasalahan baru muncul ketika pada pelaksanaan Pemilu Legislatif Tahun 2014. Terjadi perubahan aturan perundang undangan pelaksanaan Pemilu Legislatif. UU 10 Tahun 2008 digantikan dengan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam Pasal 54 UU 8 Tahun 2012 diatur ketentuan Daftar bakal calon memuat paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Disinilah polemik mulai timbul ekses DPRA yang ternyata lalai dalam merevisi Qanun 3 Tahun 2008 agar selaras dengan regulasi nasional. Sehingga terjadi polemik hukum terhadap pengajuan bakal calon di Aceh.  Sejumlah pihak mendesak agar ketentuan kouta caleg di Aceh tetap mengacu pada Qanun 3 Tahun 2008.

KPU Kemudian mempertegas ketentuan kouta caleg 100 persen dalam Pemilu 2014 di Aceh dengan mengeluarkan Surat KPU Nomor 324/KPU/V/2013 tentang Kedudukan Anggota partai Politik Lokal Aceh dalam Pencalonan Anggota DPR, DPRA, dan DPRK oleh Partai Politik Nasional. Dalam ketentuan Angka (5) Surat tersebut disebutkan:

"Jumlah bakal calon yang dapat diajukan oleh partai politik lokal Aceh maupun partai politik nasional dalam pencalonan Pemilu 2014 untuk setiap daerah pemilihan paling banyak 100% dari alokasi kursi setiap daerah pemilihan Anggota DPRA/DPRK. besaran angka 100% jumlah bakal calon yang dapat diajukan dalam Pemilu Anggota DPRA/DPRK tersebut di dasarkan kepada ketentuan Pasal 54 UU Nomor 8 Tahun 2012, mengingat ketentuan dalam Qanun Aceh yang mengatur mengenai jumlah bakal calon yang diajukan untuk setiap daerah pemilihan sebanyak 120% bukan merupakan ketentuan khusus bagi Provinsi Aceh sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007"

Pada  22 Maret 2013,  KIP Aceh berkonsultasi tentang kuota caleg Aceh dengan KPU. Akan tetapi KPU tetap bersikukuh agar partai-partai di Aceh mendaftarkan 100 persen bakal caleg sebagaimana ketentuan yang berlaku secara nasional.

Kemudian pada 22 April 2013 Partai Nasional dan Partai Lokal mulai  mendaftarkan nama bakal caleg. Partai-partai politik di Aceh terbelah dua sebagian mendaftarkan 120 persen dari jatuh kursi di dewan, sebagian lagi menyerahkan 100 persen. Partai Aceh, Golkar, dan Gerindra adalah tiga partai yang mendaftarkan bakal caleg sebanyak 120 persen dari jatah kursi di dewan. Dari jatah 81 kursi di DPR Aceh, tiga partai itu menyerahkan 93 nama ketika itu.

Pada 7 Mei 2013, KPU kemudian menyurati KIP Aceh meminta agar partai politik yang mengajukan 12 persen caleg supaya menguranginya menjadi 100 persen dari jatah kursi di parlemen .

Barulah pada  21 Mei 2013. KPU menerima kuota 120 persen untuk Aceh setelah adanya kesepakatan antara Ditjen Otda Kemendagri, DPRA dan pihak KIP Aceh di Bogor.

Terakhir Pada tanggal 7 Juni 2013, KIP Aceh bersama KIP Kabupaten/Kota menyepakati  keputusan tentang kuota calon legislatif 120 persen dalam rapat koordinasi penyusunan Daftar Calon Sementara di Banda Aceh. KIP Aceh kemudian mengeluarkan  keputusan KIP Aceh Nomor 5 Tahun 2013 tentang pengajuan Bakal Calon Anggota  DPRA ,DPRK dari partai politik dan partai politik lokal sebanyak banyaknya 120 persen

AKAR MASALAH

Apabila merujuk regulasi, maka ketentuan pengajuan kouta caleg 120 persen hanya ada dalam aturan Pasal 17 Qanun Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal. Sedangkan aturan setingkat Undang Undang sejauh ini tidak ada ketentuan yang mengatur hal tersebut. Pasal 244 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menegaskan bahwa pengajuan caleg adalah 100 persen pada dapil bersangkutan.

Disisi lain menggunakan dasar Hukum Qanun 3 Tahun 2008 sebagai pengajuan caleg 120 persen hanya berlaku bagi partai lokal tidak bagi partai nasional. Sehingga apabila diterapkan secara sepihak parlok 120 persen dan parnas 100 persen dalam pengajuan caleg pileg 2019 hal tersebut berpotensi melanggar prinsip keadilan dan kesetaraan dalam pemilu.  Padahal dalam Pasal 14 UU 7 Tahun 2017 disebutkan KPU berkewajiban memperlakukan peserta pemilu secara adil dan setara.

Disisi lain, keputusan KIP Aceh Nomor 5 Tahun 2013 tentang kouta caleg 120 persen pada dasarnya bermasalah dari segi pembentukan keputusan tersebut maupun dasar hukum yang digunakan.

Dalam Keputusan KIP Aceh Nomor 5 Tahun 2013 tentang kouta caleg 120 persen tidak disebutkan dasar hukum yang jelas bagi pemberlakuan 120 persen bagi partai nasional baik dalam pertimbangan maupun konsiderannya. Ironisnya lagi, KIP Aceh sendiri ternyata tidak memiliki kewenangan mandiri membuat petunjuk teknis tentang pencalonan dalam Pemilu legisatif yang berbeda dengan regulasi nasional atau PKPU.  Bila mengacu UUPA, KIP Aceh hanya berwenang menetapkan petunjuk teknis tata cara pelaksanaan dalam penyelenggaraan Pilkada. Hal tersebut diatur tegas dalam Pasal 58 ayat 1 huruf b UUPA.

Memang dalam Pasal 58 ayat 1 huruf l  UUPA disebutkan bahwa KIP dapat  melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi apabila merujuk regulasi  lainnya yang mengatur tupoksi penyelenggara pemilu yang berlaku ketika itu, yaitu UU 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, juga tidak disebutkan bahwa KPU Provinsi (KIP Aceh) dapat membuat petunjuk teknis tentang pedoman dalam pencalonan pileg. UU 15 Tahun 2011 ini kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan kehadiran UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Penyelenggara pemilu di tingkat provinsi hanya diberikan kewenangan menerbitkan keputusan yang sifatnya penetapan. Misalnya, menerbitkan Keputusan KIP Aceh tentang daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif dan daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif yang akan dipilih pada pemilu legislatif. UUPA juga tidak mengatur mekanisme pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden

Yang memiliki kewenangan membuat pedoman teknis penyelenggara Pemilu pada Pileg 2014 adalah KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c UU 15 Tahun 2011 (UU ini sudah dicabut).

Lantas bagaimana dikaitkan dengan momentum Pemilu 2019 ?

Dalam konteks Pemilu 2019, ketentuan kurang lebih  serupa juga tercantum Dalam UU 7 Tahun 2017. Disebutkan KPU bertugas menyusun Peraturan KPU untuk setiap Tahapan Pemilu sebagaimana diatur pada Pasal 12 Huruf c UU 7/2017. KPU  juga berwenang menetapkan Peraturan KPU untuk setiap Tahapan Pemilu sebagaimana bunyi pasal 13 Huruf b UU 7/2017. Dalam konteks Pileg 2019 tidak dimungkinkan bagi KPU Provinsi /KIP Aceh maupun KPU/KIP Kab/Kota untuk menyusun petunjuk teknis dalam tahapan pemilu.

Mencermati dari dasar regulasi dan peraturan, maka dapat disimpulkan, KIP Aceh memang tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan juknis kouta 120 persen dalam Pileg 2014.

Kehadiran Keputusan KIP Aceh Nomor 5 Tahun 2013 dapat dilihat dari dua sisi,  sebuah kecelakaan sejarah dalam tata kelola pemilu di Aceh ataukah karena hadirnya tekanan elit politik terlalu kuat pada masa itu ?

Mengutip pandangan Dosen Tata Negara Fakultas Hukum Unsyiah yang juga Mantan Ketua Divisi Hukum Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Zainal Abidin SH M.Si,  kebijakan KIP tentang kuota daftar caleg disetiap daerah pemilihan bermasalah secara hukum, KIP tidak mengacu ke Qanun dan ke peraturan KPU pula tidak (Serambi/20/6/2013).

Zainal Abidin dalam tulisannya berpendapat,  bahwa kedudukan KIP terhadap Qanun hanya sebagai implementator, KIP tidak berwenang mereview (menilai) Qanun karena hanya pengadilan sebagai pengadil peraturan perundang-undangan. Apalagi membuat kebijakan yang bertentangan dengan Qanun. KIP seluruh Aceh membuat kesepakatan bahwa daftar alokasi caleg memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan dan berlaku bagi partai politik lokal serta partai politik nasional, sementara Qanun hanya memayungi kuota caleg 120% untuk partai lokal. Lalu kesepakatan tersebut dituangkan dalam SK KIP No.5 Tahun 2013.

Kesepakatan yang tidak sesuai dengan Qanun dirumuskan oleh KIP dalam bentuk nomenklatur hukum apapun dalam kacamata yuridis tidak memiliki kekuatan untuk memarginalkan ketentuan yang ada dalam Qanun. Walaupun pada beberapa Pasal UUPA KIP diberi kewenang untuk mengatur (dalam bentuk peraturan dan keputusan), akan tetapi bersifat prosedural (melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan) tidak menciptakan norma hukum baru.

SOLUSI HUKUM

Polemik regulasi kerap hadir dalam setiap penyelenggaraan Pemilu Aceh. Debat antara aturan lex specialist dan lex generalis kerap mewarnai perjalanan demokrasi Aceh. dibutuhkan kearifan sekaligus kebijaksanaan dalam menyikapi regulasi penyelenggaraan Pemilu di daerah khusus seperti Aceh.

Hemat penulis, ada dua solusi yang paling masuk akal dalam rangka mengakhir polemik kouta caleg 120 persen di Aceh

Pertama, Pemerintah Pusat melalui Mendagri dapat membatalkan ketentuan kouta caleg 120 persen sebagaimana tercantum dalam pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 Tentang Partai Lokal.

Hal ini dimungkinkan sebab dalam ketentuan Pasal 235 Ayat 2 UUPA huruf c disebutkan bahwa : Pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan  peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam Undang- Undang ini.

pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 Tentang Partai Lokal yang mengatur kouta caleg 120 persen bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yaitu  Pasal 244 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur syarat caleg 100 persen.

Kedua, Parnas melakukan uji materiil terhadap ketentuan kouta caleg 120 persen sebagaimana tercantum dalam pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008 Tentang Partai Lokal ke Mahkamah Agung. Hal ini dirasakan perlu dilakukan dikarenakan pengaturan dalam pasal tersebut menciderai kesetaraan dan keadilan dalam kontestasi pemilu legislatif tahun 2019. Hal itu dimungkinkan bila merujuk aturan dalam Pasal 235 Ayat 3 UUPA , disebutkan  Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang- undangan.


Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda