Beranda / Analisis / Menakar Peluang Terbitnya UU Legalisasi Cannabis untuk Medis, Mungkinkah?

Menakar Peluang Terbitnya UU Legalisasi Cannabis untuk Medis, Mungkinkah?

Rabu, 12 Februari 2020 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Sara Masroni

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Legalisasi ganja masih ditutup rapat-rapat. Undang-undang (UU) Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika jelas melarang siapapun penggunaan ganja. Bahkan penggunaan ganja (selanjutnya dibaca Cannabis) untuk kebutuhan medis pun dilarang.

Larangan penggunaan cannabis untuk medis tertuang di pasal 8 ayat 1 UU Narkotika. Bunyinya "Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan." Narkotika Golongan I terdiri atas 65 jenis dan salah satunya ganja.

Kisah pilu seorang Fadelis Ari Suderwato, pemilik 39 batang cannabis pada 2017 lalu yang digunakan untuk penyembuhan sang istri, malah harus berurusan dengan penjara. Tak cukup di situ, penahanannya membuat sang isti semakin lemah dan meninggal dunia sebagaimana mengutip CNNIndonesia.

Dikutip dari Tirto, Fidelis ditangkap dan ditahan Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sanggau pada 19 Februari 2017 yang lalu di Rutan Klas IIB Sanggau. Istrinya bernama Yeni Riawati menderita penyakit langka "Syringomyeila". 

Cannabis hasil ekstraksi Fidelis diketahui telah memberi banyak perubahan pada istrinya. Dari yang sulit makan, perlahan mulai lahap. Dari yang mulai sukar bicara, perlahan mulai lancar bicara.

Kasus itu membuat Fidelis divonis majelis hakim delapan bulan penjara dan denda Rp1 miliar subsider satu bulan dalam sidang putusan pada 2 Agustus 2017 lalu. Ia dituntut menggunakan Pasal 111 dan 116 UU nomor 35 tentang Narkotika.

Publik Aceh membuka diskusi cannabis

Sebelumnya Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS, Rafli Kande sontak membuat publik kaget. Ia mengusulkan kepada Pemerintah RI agar menjadikan cannabis sebagai komoditas ekspor. Hal ini disampaikan dalam Rapat Kerja DPR bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) di gedung DPR, Kamis (30/1/2020).

"Legalisasi ganja yang saya tawarkan merupakan mekanisme pemanfaatan ganja Aceh untuk bahan baku kebutuhan medis dan turunannya berkualitas ekspor ke seluruh dunia," ujarnya dalam pesan tertulis mengutip Tempo, Jumat (31/1/2020).

Ditekan habis oleh partai, ia pun meminta maaf kepada publik dan menarik kembali ucapan. Kadung meluas, diskusi tentang cannabis pun semakin tak terbendung di luar senayan. 

Di tengah pro-kontra dan tabuhnya pembicaraan tentang cannabis, LSM Kamp Biawak bekerjasama The Aceh Institute mengadakan diskusi bertajuk Potensi Industri Ganja Aceh sebagai Strategi Pengentasan Kemiskinan di Limpok Darussalam, Banda Aceh, Jum'at (31/1/2020) lalu. 

Hadir dalam diskusi itu Prof Musri Musman sebagai akademisi dan peneliti, Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN) dan Tgk Jamaica sebagai pemerhati ganja.

"Bila setiap penduduk memiliki kesempatan untuk bisa diberi misalnya sekian satu hektare untuk menanam, dan ada regulasi-regulasi yang mengatur itu, saya sangat berkeyakinan wilayah Aceh dan penduduknya ini tidak perlu disubsidi oleh negara. Mereka dapat membiayai diri dan justru menyumbang ke daerah-daerah lain," kata Prof Musri mengutip Tagar.

Dikusi semakin terbuka kala Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Pemanfaatan Cannabis dalam Konteks Penelitian dan Industri di Balai Senat kampus setempat, Senin (3/2/2020).

Hadir dalam diskusi tersebut Rektor Unsyiah Prof Samsul Rizal, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh Irdam, serta para peneliti dan akademisi dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas MIPA dan peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI) Aryos Nivada.

Dalam sambutannya, Rektor Unsyiah Prof Samsul Rizal menegaskan kalau cannabis tidak akan mungkin memotong matai rantai kemiskinan di Aceh. "Yang beruntung traidernya, para petani akan tetap miskin dan tersiksa," ungkapnya.

Pihaknya mendorong agar cannabis dimanfaatkan untuk penelitian dan medis. Bahkan lebih dari itu, Unsyiah berharap bisa jadi pusat riset cannabis di masa yang akan datang.

"Kita berharap Unsyiah bisa menjadi pusat riset cannabis nantinya. Hal ini sebagai bentuk pemberdayaan dunia medis dan perindustrian," harap Rektor Unsyiah.

Selain bakal mengadakan diskusi yang lebih besar, FGD tersebut juga bagian dari agenda menindaklanjuti kerjasama riset cannabis antara Unsyiah dengan Prince of Songkla University Thailand.

Selanjutnya Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran Unsyiah, Dr Safrizal Rahman dalam pemaparannya mengungkapkan, selama ini terlalu besar streotip negatif masyarakat terhadap cannabis. Hal ini telah menutup besar manfaat yang terkandung dalam tumbuhan tersebut.

"Hasil penelitian menyebutkan, di antara manfaat cannabis yakni mampu membunuh sel kanker, menekan efek kemoterapi dan mengurangi kerusakan pada otak," jelas Dr Safrizal.

Pihaknya meminta pemerintah agar mulai manaruh perhatian terhadap legalisasi cannabis untuk kebutuhan penelitian dan medis di masa yang akan datang.

Hal yang sama diungkapkan oleh Peneliti JSI, Aryos Nivada. Dalam forum tersebut ia menyampaikan hingga saat ini pemerintah dan ulama masih kurang menerima keberadaan pemanfaatan cannabis dikarenakan informasi utuh tentang manfaat yang sangat penting di dunia medis belum diterima secara utuh. 

"Kalau ini untuk kepentingan medis, ya ke depan didorong saja untuk dilegalkan," ungkapnya.

Selanjutnya Kajati Aceh, Irdam yang juga dihadirkan dalam diskusi tersebut mengapresiasi atas dibuka diskusi tentang legalisasi cannabis ini.

"Kalau untuk kebutuhan medis sebenarnya kami tidak bisa melarang, namun perlu izin dengan pihak terkait seperti Kepolisian, BNN (Badan Narkotika Nasional), Kementrian Kesehatan dan Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) serta stakeholder lainnya," jelas Kajati Aceh.

"Tidak boleh sembarangan walau untuk kebutuhan penelitian. Kalau belum ada izin atau regulasi yang mengatur soal itu, siapa saja yang terlibat bisa dikenakan hukum formil dan Undang-undangnya jelas," tambahnya.

BNN belum membuka pintu

Badan Narkotika Nasional (BNN), hingga kini masih menutup pintu rapat-rapat terkait legalisasi cannabis, sekalipun untuk medis. "Menolak dengan tegas dan keras," kata Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Sulistyo Pudjo Hartono, menjawab usulan Rafli Kande soal legalisasi cannabis mengutip CNNIndonesia.com, Jumat (31/1/2020).

Menurutnya dalil ekspor ganja untuk kepentingan ekonomi hingga kesehatan tak bisa dibenarkan. Ditakutkan ganja sebagai komoditas ekspor justru berpotensi buruk bagi Indonesia. 

Pihaknya mengklaim jika nantinya ganja diperdagangkan, maka bisa saja produk-produk ganja dalam bentuk lain justru masuk ke Indonesia yang berupa produk lebih canggih, lagi lebih murni lagi. "Nah ini yang dipertaruhkan masa depan bangsa kita," tegasnya.

Peluang revisi UU Narkotika

Mengingat kasus Fidelis dan istrinya pada 2017 lalu, kemudian hasil penelitian beberapa akademisi yang menguatkan pemanfaatan untuk cannabis, publik pun mulai menaruh harapan untuk dibukanya ruang regulasi tanaman ini ke depan. 

"Literatur menyebutkan, gangguan kejiwaan pada pengguna cannabis tidak semata-mata diakibatkan oleh pengguna, melainkan dipengaruhi faktor lain seperti genetik, dukungan sosial dan harapan yang tidak terpenuhi," jelasnya dr Zulfa Zahra, Ahli Kejiwaan saat diskusi di Unsyiah, Senin (3/2/2020).

"Bahkan salah satu kandungan di cannabis yakni CBD, justeru berpotensi sebagai pelindung terhadap gangguan jiwa (anti-psikotik)," tambahnya.

Dorongan akademisi dan publik tentang manfaat cannabis dari segi medis, perlu kiranya regulasi yang mengatur hal itu (UU Nomor 35 tahun 2009) ditinjau kembali.

Dikutip dari VOAIndonesia, Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR) menyebutkan, setidaknya ada 30 negara di dunia yang membolehkan ganja untuk kesehatan. Negara-negara ini antara lain Belanda, Kanada, Meksiko, Turki, dan Zimbabwe. Di Asia Tenggara, Thailand telah melegalkan ganja medis pada akhir 2018.

Sementara di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Muhammad pada 2018 mulai membuka ruang untuk mendiskusikan kemungkinan pengaturan ganja medis. Di Filipina, Kongres tengah membahas Compassionate Medical Cannabis Act yang telah diterima parlemen sejak 2016.

Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR) bersama LBH Masyarakat, Rumah Cemara, dan ICJS akan mengajukan uji materi terkait status ganja di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) ke MK.

Pihaknya akan menguji Pasal 8 dan penjelasan Pasal 6 UU Narkotika karena ada ketidaksesuaian pemanfatan cannabis dalam regulasi tersebut. Permohonan uji materi ini akan diajukan paling lama pada bulan Maret 2020 mendatang.

"Yang kami uji itu terkait pelarangan narkotika golongan satu untuk layanan kesehatan. Kami benturkan dengan hak warga negara mendapatkan kesehatan," kata Direktur ICJR, Erasmus Napitupulu mengutip Tribunnews, Senin (10/2/2020).

Uji materi dilakukan pada Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika disebutkan "Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan" dan ayat (2) disebutkan "Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan".

Kemudian Pasal 6 Ayat (1) huruf a disebutkan "Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "Narkotika Golongan I" adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan".

Genderang legalisasi cannabis untuk medis sudah ditabu. Publik, LSM, peneliti dan akademisi ramai-ramai mendorong revisi UU Tentang Narkotika agar menjadi legal, melihat besarnya manfaat cannabis untuk medis.

Kini menanti 'ketok palu' BNN, Pemerintah RI dan para pemangku kebijakan terkait. Akan titik terang soal legalisasi cannabis untuk kepentingan kemanusiaan melalui medis, dibuka? Publik sungguh menanti jawabannya. (sm)

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda