Beranda / Analisis / Menambang Kemiskinan di Tanah Rencong

Menambang Kemiskinan di Tanah Rencong

Kamis, 18 Agustus 2022 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Gambar ilustrasi. [Foto: Tirto]

Sikap tegas masyarakat setempat ditunjukan saat perwakilan perusahaan bersama konsultan melakukan konsultasi publik tahap awal penyusunan dokumen amdal, di Desa Lumut, Kecamatan Linge, pada Senin (31/5 2021) lalu.

Dalam pertemuan itu, perwakilan masyarakat Desa Linge dan Owaq, yang berdampak langsung pada penambangan mengatakan, tidak rela kampung mereka rusak, baik dari segi lingkungan maupun budaya dan sejarah.

Kegelisahan turut disuarakan sejumlah elemen sipil. Sebut saja Organisasi konservasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Aceh dengan tegas menyatakan penolakan terhadap kehadiran PT Linge Mineral Resources (LMR) di Aceh Tengah.

Direktur Walhi Provinsi Aceh, Ahmad Shalihin menyatakan, penolakan Walhi Aceh terhadap perusahaan tersebut disebabkan banyak faktor. Diantaranya, karena bisa mengancam wilayah pengelolaan rakyat, bakal mencemari kejernihan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jambo Aye karena hulu sungainya ada di Linge Abong, kemudian karena di Aceh Tengah adalah dataran tinggi maka dikhawatirkan ketika tanahnya dikeruk untuk dijadikan tambang bakal menyebabkan konstruk lingkungan rawan longsor, kehilangan situs budaya kerajaan Linge.

Direktur Walhi Aceh ini menegaskan, tidak pernah ada dalam tinta sejarah bahwa kehadiran perusahaan tambang bakal menyebabkan masyarakat sekitar perusahaan akan sejahtera.

“Sudah banyak kasus yang bisa kita jadikan contoh. Semua wilayah tambang itu yang pasti hanya meninggalkan kerusakan lingkungan, masyarakatnya bahkan nggak meningkat kesejahteraannya,” tegas Shalihin kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Jumat (12/8/2022).

Kondisi belakangan ini, Shalihin mengabarkan bahwa masyarakat di Aceh Tengah sudah terpecah belah, ada yang menolak keberadaan perusahaan, ada yang menerima bahkan ada juga yang masih abu-abu dengan harapan perusahaan akan meningkatkan sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan di Aceh Tengah.

Anggota Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Aceh, Afriadi SP MP mengatakan daerah lereng dan bukit secara otomatis jika terus dikerok akan berpeluang terjadinya longsor semakin besar.

"Kalau ada alternatif lain kenapa enggak, kenapa harus di Linge, mungkin bisa dibangun di daerah-daerah lain," kata Afriadi kepada Dialeksis.com, Jumat (12/8/2022).

Afriadi sebagai salah satu penyusun izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) untuk perusahaan tambang di Aceh mengungkapkan, kerap kali di beberapa perusahaan tambang lainnya, pihak yang menguntungkan hanya beberapa orang saja bukan masyarakat setempat.

"Industri tambang juga berpotensi menghadirkan konflik sosial antar masyarakat, terjadinya bencana. Tambang itu bukan hanya akan berdampak pada wilayah setempat saja, namun tanah Gayo dan Aceh pada umumnya," jelasnya.

Respon lainnya datang dari Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, berhubung izin sudah terbit, maka perusahaan tersebut mau tidak mau harus tetap terbangun. Alfian menegaskan, perusahaan LMR tidak boleh melupakan asas terpenting, yakni soal kearifan lokal warga setempat. Menurutnya, adanya nada penolakan dari warga dikarenakan masyarakat khawatir perusahaan tersebut bakal menghancurkan konstruksi alam yang selama ini mereka rawat.

“Belajar dari pengalaman yang menyangkut dengan tambang, memang rata-rata keberadaan tambang itu hanya menjadi kutukan bagi lingkungan, tidak berdampak membawa kesejahteraan kepada daerah. Contohnya bisa kita lihat dimana-mana.

Tentu ini menjadi dilema yang sangat berat sehingga masyarakat hari ini wajar menolak secara tegas, apalagi dengan dasar-dasar kerusakan lingkungan,” ujar Alfian kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Kamis (11/8/2022)

Selanjutnya »     Keluar dari kutukan Sumber Daya Alam Te...
Halaman: 1 2 3 4 5
Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda