DIALEKSIS.COM | Aceh - Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh sejak akhir November 2025 dinilai telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan dan pembangunan berskala besar. Dampaknya tidak hanya merusak infrastruktur dan permukiman, tetapi juga melumpuhkan sumber penghidupan masyarakat di berbagai wilayah. Kondisi ini menuntut perumusan arah bersama dalam penanganan pascabencana dengan belajar dari pengalaman pemulihan tsunami Aceh 2004.
Hal tersebut disampaikan Muslahuddin Daud, petani sekaligus pekerja sosial Aceh, dalam policy brief bertajuk Merumuskan Arah Bersama Penanganan Pasca Banjir dan Longsor Aceh: Pembelajaran dari Tsunami 2004 dan Tantangan Bencana Hidrometeorologi 2025. Menurut Muslahuddin, skala dan sebaran dampak banjir serta longsor 2025 bahkan berpotensi melampaui tsunami 2004, meski dengan karakter bencana yang berbeda.
.“Jika tsunami 2004 bersifat sangat destruktif namun terkonsentrasi di wilayah pesisir, bencana banjir dan longsor kali ini menyebar luas ke puluhan kabupaten/kota. Ribuan desa terdampak dengan tingkat kerusakan yang beragam,” ujar Muslahuddin dalam policy briefnya diberikan kepada Dialeksis, Jumat 26 Desember 2025.
Ia menjelaskan, curah hujan ekstrem yang berlangsung lama, degradasi lingkungan di kawasan hulu, serta lemahnya sistem pengelolaan risiko bencana menjadi faktor utama yang memicu banjir dan longsor. Sejumlah daerah seperti Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur bahkan sempat terisolasi akibat putusnya akses transportasi darat, sehingga distribusi bantuan sangat bergantung pada jalur udara.
Muslahuddin menilai situasi tersebut menandakan fase tanggap darurat yang berkepanjangan. Kerusakan jaringan transportasi, gangguan listrik, rusaknya sistem air bersih dan sanitasi, serta lumpuhnya aktivitas ekonomi membuat kebutuhan respons darurat diperkirakan berlangsung hingga dua sampai tiga bulan ke depan.
Dari sisi sosial-ekonomi, dampak bencana dinilai sangat serius. Lahan pertanian dan perkebunan rusak, sawah tertimbun lumpur, sistem irigasi hancur, serta pasar dan usaha kecil berhenti beroperasi.
“Tanpa intervensi pemulihan ekonomi yang terencana, Aceh berisiko menghadapi gelombang kemiskinan baru dan meningkatnya kerentanan sosial,” katanya.
Belajar dari tsunami 2004, Muslahuddin menekankan pentingnya peran sentral masyarakat sipil lokal. Pada masa itu, organisasi masyarakat sipil mampu menjadi jembatan antara kebutuhan warga dan sumber daya bantuan.
Namun, ia mengingatkan agar ketergantungan pada bantuan eksternal tidak terulang, serta seluruh proses pemulihan harus disertai akuntabilitas dan dokumentasi pembelajaran yang kuat.
Ia juga menyoroti tantangan kelembagaan dalam penanganan bencana 2025, terutama karena belum ditetapkannya status bencana nasional. Kondisi tersebut membatasi keterlibatan bantuan internasional secara formal, sehingga masyarakat sipil perlu merumuskan strategi koordinasi yang efektif, baik melalui mekanisme pemerintah maupun forum independen yang bersifat komplementer.
Dalam policy brief tersebut, Muslahuddin menggarisbawahi sejumlah isu strategis pascabencana, mulai dari kejelasan tenurial lahan untuk pemulihan pertanian, relokasi warga secara partisipatif, pemulihan psikososial, penyediaan air bersih dan sanitasi, hingga pengelolaan lumpur dan kayu sisa banjir yang berpotensi menjadi masalah lingkungan baru.
“Pemulihan Aceh tidak boleh dipahami semata sebagai pembangunan fisik. Ini adalah proses pemulihan sosial, ekonomi, dan ekologis yang harus berjalan secara terpadu,” ujarnya.
Sebagai rekomendasi, ia mendorong pembentukan forum koordinasi masyarakat sipil Aceh pascabencana, penyusunan damage and loss assessment berbasis komunitas, serta integrasi pemulihan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam satu kerangka kebijakan bersama. Dengan pembelajaran dari tsunami 2004, Muslahuddin optimistis Aceh memiliki peluang membangun model pemulihan yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.