DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Azhari, S.H., MCL, M.A., menilai pelaksanaan syariat Islam di Aceh sudah memiliki fondasi yang kuat, namun masih membutuhkan langkah bertahap dan evaluasi serius agar bisa berjalan secara maksimal.
“Pemerintah Aceh sudah membuat fondasi dengan adanya kanun-kanun terkait syariat Islam. Tinggal sekarang bagaimana kita mengisi dan melaksanakan substansi yang ada di kanun tersebut,” ujar Prof. Azhari ketika ditemui media dialeksis.com pasca diseminasi KontraS Aceh di Banda Aceh, Jumat, 8 Agustus 2025.
Menurutnya, bidang muamalah, hubungan sosial dan transaksi antar manusia, masih memiliki ruang toleransi yang luas.
“Muamalah itu boleh berinteraksi dengan siapa saja, termasuk non-Muslim, tidak ada masalah. Tetapi kalau sudah masuk ke ranah ibadah, itu sifatnya personal antara kita dengan Allah SWT dan tidak bisa dicampur-adukkan,” tegasnya.
Ia mencontohkan, perbedaan ini harus dipahami masyarakat agar pelaksanaan syariat tidak keliru arah. “Toleransi itu ada di muamalah. Tapi kalau ibadah, kita harus patuh penuh pada ketentuan agama. Itu harus konkret,” tambahnya.
Meski sudah berjalan hampir dua dekade, Prof. Azhari mengakui pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih belum sempurna. Namun, menurutnya, hal tersebut wajar karena proses penerapan hukum dan budaya membutuhkan waktu panjang.
“Tidak mungkin kita bisa melaksanakan 100 persen syariat secara instan. Semua butuh proses, pelan-pelan. Ibarat makan, tidak mungkin panas-panas langsung habis sekali suap, harus sedikit demi sedikit,” ujarnya dengan perumpamaan.
Ia mengapresiasi peluang yang telah diberikan pemerintah pusat melalui kewenangan otonomi khusus, termasuk dalam pelaksanaan syariat Islam. Namun, ia mengingatkan bahwa pelaksanaan di lapangan masih menghadapi keterbatasan sumber daya, koordinasi, dan pengawasan.
Prof. Azhari menekankan, bidang syariat Islam di Aceh meliputi beberapa ranah seperti muamalah dan jinayah (pidana). Keduanya harus berjalan seimbang meski diakui masih ada perbedaan capaian.
“Bukan berarti kita menyerah. Semua kita jalankan bersama-sama sesuai kemampuan masing-masing,” katanya.
Sebagai akademisi dan peneliti hukum, Prof. Azhari menyampaikan beberapa rekomendasi konkret bagi Pemerintah Aceh, khususnya kepada Gubernur yang baru, Muzakir Manaf atau Mualem agar pelaksanaan syariat Islam lebih optimal.
“Pertama, kita harus inventarisasi semua kanun yang sudah ada. Mana yang sudah dilaksanakan dengan baik, mana yang sudah ada tapi belum maksimal, dan mana yang belum ada sama sekali sehingga perlu dibuat,” jelasnya.
Menurutnya, evaluasi ini penting untuk memastikan setiap regulasi memiliki tindak lanjut nyata di lapangan. “Qanun yang sudah ada harus dijalankan sepenuhnya, yang belum maksimal harus diperkuat pelaksanaannya, dan yang belum ada kanunnya harus segera disusun,” tegasnya.
Prof. Azhari berharap agar seluruh masyarakat Aceh berpartisipasi dalam memperkuat pelaksanaan syariat Islam.
"Menjaga syariat berarti menjaga marwah Aceh. Saya senang tinggal di Aceh, dan saya berharap kita semua ikut serta memperkuatnya sesuai kemampuan yang kita miliki,” pungkasnya.