DIALEKSIS.COM | Jakarta - Masih ingat polemik besar yang mengguncang publik pada Mei“Juni 2025 terkait sengketa empat pulau Aceh yang sempat tercatat sebagai wilayah Sumatera Utara? Persoalan tersebut menjadi sorotan nasional hingga Presiden Prabowo Subianto turun tangan dan memutuskan empat pulau itu dikembalikan kepada Aceh. Kini, dinamika panjang sengketa tersebut dituangkan dalam sebuah buku yang merangkum dokumen, arsip, dan foto yang selama ini jarang terungkap.
Penerbit Teras Budaya resmi meluncurkan buku berjudul “Diplomasi Sengketa 4 Pulau Aceh“Sumatera Utara”, karya investigatif setebal 242 halaman yang menelusuri salah satu konflik administratif paling panjang dan membingungkan dalam sejarah Aceh pascareformasi.
Buku ini mengupas secara rinci perjalanan empat pulau yang selama hampir dua dekade berpindah-pindah secara administratif antara Aceh dan Sumatera Utara, hingga akhirnya ditetapkan kembali sebagai wilayah Aceh pada tahun 2025.
CEO Teras Budaya, Remmy Novaris DM, menyebut buku tersebut sebagai dokumentasi paling komprehensif yang pernah diterbitkan terkait persoalan teritorial empat pulau tersebut.
“Buku ini menampilkan data, dokumen, dan kronologi lengkap tentang berpindah-pindahnya status kepemilikan empat pulau dari Aceh ke Sumut, lalu kembali ke Aceh, kemudian bergeser lagi ke Sumut, dan pada akhirnya dipulihkan sebagai wilayah Aceh pada 2025,” kata Remmy di Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Menurut Remmy, dinamika sengketa empat pulau itu bukan sekadar persoalan batas administrasi, melainkan potret hubungan pusat“daerah, tarik-menarik kewenangan antar instansi, serta kegelisahan masyarakat di wilayah perbatasan. Karena itu, dokumentasi sejarah administratifnya menjadi sangat penting untuk dipahami publik, akademisi, serta pembuat kebijakan.
Remmy, yang juga dikenal sebagai novelis dan pegiat literasi, menyebut buku tersebut berhasil membuka fakta-fakta penting yang selama ini hanya beredar sebagai rumor.
“Duet penulis nasional Murizal Hamzah dan Fikar W. Eda mampu menyajikan fakta yang selama ini tidak pernah terungkap. Mereka membuka arsip, mewawancarai para pihak terkait, dan membangun kembali peta peristiwa secara kronologis. Ini bukan sekadar laporan investigatif, tetapi catatan sejarah yang harus dikenang dan dipahami bersama,” ujarnya.
Penerbitan buku ini diharapkan dapat membuka ruang dialog yang lebih sehat mengenai isu batas wilayah, tata kelola pemerintahan daerah, serta penguatan otonomi Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi Teras Budaya, buku ini menjadi kontribusi penting dalam memperkaya literatur kebangsaan, khususnya yang menyangkut dinamika Aceh.
Sementara itu, kedua penulis, Murizal Hamzah dan Fikar W. Eda, menjelaskan bahwa penyusunan buku ini berangkat dari maraknya hoaks dan fitnah yang beredar selama tiga bulan masa memanasnya konflik empat pulau tersebut.
“Jika kebohongan terus direproduksi, ia bisa dianggap sebagai kebenaran. Padahal, ada data, fakta, dan arsip yang membuktikan bahwa itu adalah fitnah. Misalnya, ada anggapan bahwa peralihan empat pulau ke Sumut terjadi pada 2025. Faktanya, pulau-pulau tersebut sudah berubah kepemilikan sejak 2008,” jelas Murizal.
Ia menambahkan bahwa dalam sejarah administratif, empat pulau tersebut bahkan dua kali tercatat sebagai wilayah Sumut.
“Ini terjadi karena manajemen arsip kita kacau. Kita lupa sejarah. Padahal filsuf Jerman Nietzsche sudah mengingatkan bahwa sejarah adalah kombinasi kemampuan mengingat dan kemampuan melupakan. Orang yang lupa tidak akan belajar dari sejarah, sementara orang yang selalu teringat tidak pernah cukup bebas untuk melangkah maju,” ujar Murizal.
Buku “Diplomasi Sengketa 4 Pulau Aceh“Sumatera Utara” kini telah beredar sebagai rujukan baru bagi siapa pun yang ingin memahami lebih dalam konflik administratif yang sempat menyita perhatian nasional pada 2025. []