DIALEKSIS.COM | Aceh - Kasus diabetes melitus (DM) di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan, termasuk di Provinsi Aceh. Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) Cabang Aceh, dr. Hendra Zufry, SpPD-KEMD, FINASIM, menyebut prevalensi diabetes nasional kini mencapai 11,3 persen dari populasi dewasa, atau sekitar 20,4 juta jiwa.
“Kalau dari 275 juta penduduk Indonesia, berarti sekitar 20 jutanya penderita diabetes, dan di antaranya hanya 24 persen yang terdiagnosis,” ujar Hendra saat dihubungi Dialeksis di Banda Aceh, Kamis (13/11).
Data itu sejalan dengan laporan International Diabetes Federation (IDF) dan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis Kementerian Kesehatan RI. Angka tersebut meningkat dari 10,9 persen pada 2018 menjadi 11,7 persen pada 2023. Kenaikan ini menempatkan Indonesia di peringkat kelima tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Di tingkat daerah, Aceh juga menempati posisi kelima tertinggi penderita diabetes secara nasional, di bawah Gorontalo, Sulawesi Utara, Banten, dan Jawa Timur.
“Yang memprihatinkan bukan hanya tingginya angka kasus, tetapi kondisi pasien yang datang sudah dalam tahap lanjut. Sekitar 80 persen pasien diabetes di Aceh berada dalam kategori buruk dengan kadar gula rata-rata 9,4 mmol/l, dan 74 persen di antaranya datang sudah dalam kondisi komplikasi,” jelas dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrin yang bertugas di RSUD Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh itu.
Menurutnya, 94 persen biaya perawatan diabetes dihabiskan untuk menangani komplikasi, bukan untuk menurunkan kadar gula darah. “Jadi bisa dibilang diabetes adalah penyakit yang tidak hanya banyak diderita, tetapi juga menguras biaya sangat tinggi,” ujar Hendra.
Ia menegaskan pentingnya pengendalian asupan gula harian, yang idealnya tidak lebih dari 30 gram per hari atau sekitar dua sendok makan. Selain itu, masyarakat perlu mengenali gejala klasik diabetes, terutama pada usia muda, seperti sering haus, lapar berlebih, sering buang air kecil, berat badan menurun tanpa sebab, gatal di area kemaluan, dan kesemutan.
“Kalau tidak punya gejala, bukan berarti aman. Pada usia di atas 50 tahun, gejala khas bisa hilang, padahal kadar gula darah tetap tinggi dan perlahan merusak organ,” katanya.
Ia juga mengingatkan pentingnya pemeriksaan rutin bagi mereka yang berisiko tinggi, seperti usia di atas 40 tahun, obesitas, hipertensi, kolesterol tinggi, kurang tidur, dan jarang berolahraga. “Kalau hasil pemeriksaan normal, cukup diulang tiga tahun sekali. Tapi kalau sudah masuk kelompok prediabetes, periksa ulang setahun sekali,” ujarnya.
Hendra menambahkan, kelompok prediabetes jumlahnya tiga kali lebih banyak dari penderita diabetes. “Kalau mereka tidak diawasi dengan baik, maka akan menjadi sumber lonjakan kasus baru di masa mendatang,” katanya.
Ia menekankan bahwa peningkatan kasus diabetes di Aceh dan Indonesia bukan sekadar persoalan medis, tetapi juga mencerminkan tantangan sosial dan perilaku masyarakat.
“Deteksi dini, pengendalian gaya hidup, dan perubahan perilaku menjadi kunci utama. Kita perlu memperkuat edukasi publik, skrining berbasis komunitas, serta memastikan pasien mendapat tatalaksana tepat sejak awal,” ujar Hendra menutup pembicaraan kepada DIaleksis.