DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kementerian Agama Republik Indonesia meluncurkan sebuah pendekatan revolusioner dalam dunia pendidikan yaitu Kurikulum Berbasis Cinta (KBC).
Menurut Dr. Syarfuni, M.Pd, seorang akademisi Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) sekaligus pemerhati pendidikan di Aceh mengatakan bahwa program ini merupakan sebuah gerakan spiritual dan sosial yang ingin membumikan cinta sebagai pondasi utama dalam proses belajar-mengajar.
Kurikulum ini hadir dengan lima nilai utama yang disebut sebagai Panca Cinta yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada diri dan sesama, cinta kepada ilmu pengetahuan, cinta kepada lingkungan, serta cinta kepada bangsa dan negeri.
Lima cinta ini bukan hanya menjadi slogan, tetapi menjadi arah baru dalam merumuskan kurikulum yang lebih inklusif, manusiawi, dan menyentuh akar kehidupan.
“Selama ini kita terlalu fokus pada kecerdasan kognitif. Nilai-nilai kemanusiaan seringkali terpinggirkan. Padahal, justru itu yang membentuk karakter dan membangun jembatan empati di tengah perbedaan,” ujar Syarfuni kepada Dialeksis.com, Sabtu, 26 Juli 2025.
Ia menilai bahwa KBC sangat tepat diterapkan di Indonesia yang majemuk dan religius. Dengan pendekatan yang menekankan Hablum Minallah (hubungan dengan Tuhan) dan Hablum Minannas (hubungan antar manusia), kurikulum ini tidak hanya mengajarkan doa dan akhlak, tapi juga merangsang empati lintas iman, suku, dan budaya.
Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, dalam peluncuran KBC mengatakan bahwa selama ini pendidikan agama kerap terjebak pada dogmatisme yang justru menciptakan jarak antarumat.
“Kita tidak boleh lagi mengajarkan agama dengan cara-cara yang bisa menanamkan kebencian terhadap mereka yang berbeda. KBC hadir untuk menyadarkan kita bahwa cinta adalah inti dari semua ajaran agama,” tegas Nasaruddin.
Lebih dari sekadar memori atau hafalan, KBC berusaha menyentuh dimensi terdalam dari jiwa peserta didik. Setiap materi dirancang untuk mengajak siswa memahami dirinya, mencintai lingkungan sekitarnya, serta terlibat aktif dalam menciptakan harmoni sosial.
Dalam kurikulum ini, pelajaran agama tidak lagi berdiri sendiri, tetapi diintegrasikan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan.
“Ini adalah kurikulum yang menjadikan sekolah sebagai rumah kasih. Kita ingin membentuk generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga punya rasa. Yang tidak hanya tahu rumus, tapi juga tahu cara menolong orang lain,” jelas Dr. Syarfuni.
Salah satu contoh konkret implementasi KBC adalah adanya proyek-proyek sosial dan lingkungan yang menjadi bagian dari penilaian sekolah. Misalnya, siswa diminta membuat kegiatan kebersihan lingkungan bersama warga, atau merancang kampanye anti-perundungan di sekolah.
Meski ide dasarnya sangat kuat, penerapan KBC tentu tidak mudah. Diperlukan pelatihan guru yang mendalam, adaptasi materi ajar, hingga dukungan dari orang tua dan masyarakat. Kementerian Agama mengakui bahwa ini akan dilakukan secara bertahap.
Namun begitu, banyak pihak optimis. Di sejumlah madrasah percontohan, KBC mulai menunjukkan hasil positif, suasana belajar lebih menyenangkan, konflik antar siswa berkurang, dan minat terhadap pelajaran agama meningkat.
“pendidikan bukan hanya menjadi tempat untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, tetapi juga tempat untuk membentuk karakter manusia yang penuh kasih dan peduli terhadap sesama dan alam sekitar," pungkasnya.