Beranda / Berita / Pemanasan Global Jadi Ancaman Serius Ketahanan Pangan

Pemanasan Global Jadi Ancaman Serius Ketahanan Pangan

Kamis, 16 Februari 2023 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam Diskusi bertema : Regional Process Design and Expected Outcomes yang menjadi rangkaian The 10th World Water Forum Kick Off Meeting di Cendrawasih Room, Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (16/2/2023). [Foto: InfoPublik/Agus Siswanto]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pemanasan global yang terjadi dalam delapan tahun terakhir menjadi ancaman serius terhadap ketahanan pangan global.

Berdasarkan data iklim global pada 2022, kondisi tersebut telah menyebabkan kekeringan dan banjir.

Demikian disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, dalam Diskusi bertema 'Regional Process Design and Expected Outcomes' yang menjadi rangkaian The 10th World Water Forum Kick-Off Meeting di Cendrawasih Room, Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (16/2/2023).

"Perubahan iklim telah menyebabkan pemanasan global sehingga menjadi ancaman," kata Dwikorita.

Menurut Dwikorita, untuk mengatasi dampak perubahan iklim global itu diperlukan penggunaan data tentang cuaca, air, dan lingkungan.

"Jangan abaikan penggunaan data seperti cuaca," tegasnya.

Dwikorita menyatakan, pentingnya saling tukar data seperti air dan cuaca untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim.

Di sisi lain, Dwikorita mengingatkan semua pemangku kepentingan agar tetap memperhatikan peranan laut sebagai penghubung antarkawasan.

"Laut harus tetap dipikirkan karena berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup," ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, Dwikorita menuturkan, poros penggerak perubahan iklim yang terjadi belakangan ini adalah semakin cepatnya kenaikan suhu bumi.

Untuk itu, perlu dilakukan sejumlah upaya pengendalian kecepatan kenaikan suhu bumi tersebut.

Menurutnya, penyebab temperatur atau suhu permukaan di bumi semakin panas adalah akumulasi gas-gas rumah kaca yang konsentrasinya semakin meningkat, terutama gas karbondioksida atau CO2. Sumber penghasil gas bermacam-macam.

Hanya saja, yang proporsinya paling tinggi dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.

"Jadi energi fosil itu perlu untuk dikendalikan, diminimalisasi. Pembakaran energi fosil ini perlu dikurangi atau bahkan digantikan dengan energi yang lebih ramah lingkungan. Misalnya renewable energy, energi surya, energi angin, energi air," tutur Dwikorita.

Upaya mitigasi yang dapat dilakukan berikutnya adalah melakukan penghijauan dengan melihat fungsi pepohonan yang mengubah CO2 menjadi O2 atau oksigen.

Saat ini, kata Dwikorita, hutan-hutan di bumi semakin jauh berkurang, terutama hutan tropis. Karena itu, penggalakkan penghijauan perlu untuk dilakukan untuk semakin banyak memproduksi O2.

Sebelumnya, Indonesia terpilih sebagai tuan rumah World Water Forum (WWF) ke-10 yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-23 Mei 2024.

Sebagai perkenalan menuju forum lintas batas terbesar di dunia yang fokus dalam pembahasan isu-isu air ini, terlebih dahulu berlangsung Kick-Off Meeting pada 15-16 Februari 2023 di Jakarta Convention Center.

Kick-Off Meeting World Water Forum ke-10 dihadiri oleh lebih dari 1.400 peserta dari berbagai pemangku kepentingan di bidang pengelolaan air.

Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah World Water Forum (WWF) mendatang, diharapkan semakin membuka peluang kerja sama di bidang pengelolaan sumber daya air di samping memberi dampak ekonomi bagi Indonesia. [InfoPublik]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda