Selasa, 05 Agustus 2025
Beranda / Berita / Pengawasan Buruh Migran Aceh Lemah, Banyak Jadi Korban TPPO

Pengawasan Buruh Migran Aceh Lemah, Banyak Jadi Korban TPPO

Selasa, 05 Agustus 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Peneliti Kebijakan SEI, Crisna Akbar. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam momentum peringatan Hari Anti Perdagangan Manusia yang jatuh setiap 30 Juli, Lembaga Pendampingan Hukum Sumatera Environmental Initiative (SEI) memberikan perhatian terhadap lambannya penanganan kasus - kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Aceh. 

SEI menyebut lemahnya penegakan hukum dan minimnya pengawasan terhadap pekerja migran asal Aceh sebagai dua faktor utama yang memperparah situasi ini.

Peneliti Kebijakan SEI, Crisna Akbar, menyampaikan bahwa lembaganya menyoroti khusus kinerja aparat penegak hukum, terutama penyidik kepolisian di Polda Aceh, dalam menangani kasus TPPO

Menurutnya, proses hukum kerap berjalan berbelit dan jauh dari rasa keadilan yang seharusnya didapatkan oleh para korban.

“Kami menemukan indikasi kuat bahwa proses hukum dalam kasus TPPO di Aceh sangat tidak efektif. Ini tidak hanya karena kendala teknis, tetapi lebih kepada minimnya pengetahuan dari para penyidik terhadap skema dan unsur-unsur perdagangan orang itu sendiri,” tegas Crisna kepada media dialeksis.com, Selasa (5/8/2025).

Menurut SEI, bukti lemahnya penanganan kasus TPPO di Aceh terlihat dari lambannya pengusutan kasus-kasus yang dilaporkan langsung oleh para korban atau pihak keluarga. 

Tidak sedikit laporan yang terhenti di meja penyidik tanpa kejelasan arah proses hukum, padahal korban telah memenuhi unsur-unsur perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

“Kita mendapati beberapa kasus korban TPPO yang telah memenuhi unsur tindakan eksploitasi, penipuan, dan pemaksaan, tetapi justru diproses sebagai kasus umum atau bahkan diabaikan,” ujarnya.

Selain buruknya penegakan hukum, SEI juga mencatat lemahnya sistem pengawasan terhadap keberangkatan pekerja migran asal Aceh ke luar negeri. 

Dalam catatan mereka, masih banyak Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang dikirim ke Malaysia secara unprosedural melalui jalur-jalur tidak resmi yang dimediasi oleh agen ilegal atau perorangan.

“Proses perekrutan hingga penempatan mereka sering kali sudah mengandung tiga unsur TPPO: perekrutan dengan tipu daya, pengangkutan tanpa dokumen resmi, dan eksploitasi di tempat kerja,” ujar Crisna.

Sementara itu, di sektor perikanan laut, modus operandi perdagangan orang lebih sering menyasar lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan kelautan.

Dengan iming-iming pekerjaan bergaji besar di luar negeri, mereka dijebak untuk bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi.

“Kami temukan kasus anak-anak muda lulusan SMK yang dikirim bekerja di kapal-kapal asing, tanpa pelindungan hukum, tanpa kontrak yang jelas, dan berakhir menjadi korban kerja paksa,” ungkap Crisna.

Menanggapi situasi ini, SEI mendorong reformasi mendalam dalam penanganan kasus TPPO di Aceh. Menurut Crisna, pelatihan khusus untuk aparat penegak hukum, khususnya penyidik, mutlak diperlukan agar mereka mampu memahami kompleksitas kejahatan perdagangan orang.

“Tanpa peningkatan kapasitas dan pemahaman terhadap TPPO, aparat hukum hanya akan menjadi penghambat keadilan. Negara justru absen dalam melindungi warganya yang rentan dieksploitasi,” tambahnya.

Selain itu, SEI juga mendesak Pemerintah Aceh untuk membentuk sistem pengawasan dan pelindungan pekerja migran yang lebih sistematis. Mulai dari tahap rekrutmen, keberangkatan, hingga kepulangan pekerja migran harus diawasi oleh lembaga yang memiliki mandat dan kapasitas yang jelas.

“Tanpa sistem pelindungan yang terintegrasi, maka pengiriman tenaga kerja ke luar negeri hanya akan menjadi saluran baru bagi praktik perdagangan orang,” tutup Crisna.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI