DIALEKSIS.COM | Aceh - Kabar membanggakan datang dari Aceh. Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) yang juga mantan Rektor, Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng., IPU., ASEAN. Eng dari Fakultas Teknik, masuk dalam daftar 2 persen ilmuwan berpengaruh dunia yang dirilis Stanford University bekerja sama dengan penerbit ilmiah Elsevier, berdasarkan data publikasi Scopus, nama lain yang masuk meliputi dr. Harapan, DTM&H., M.Infect.Dis., Ph.D (Fakultas Kedokteraan), Prof. Dr. Ir. Muchlisin Z.A., S.Pi., M.Sc (Fakultas Kelautan dan Perikanan), Prof. Dr. rer.nat. Ir. Rinaldi Idroes., S.Si (Fakultas MIPA), Prof. Dr. Mudatsir, M.Kes, dan Prof. Dr. M. Faisal, ST., M. Eng (Fakultas Teknik).
Pencapaian ini menegaskan peran penting akademisi asal Aceh di kancah global, sekaligus membuktikan bahwa perguruan tinggi di daerah juga mampu melahirkan karya riset yang diakui internasional.
Prof. Samsul Rizal menyampaikan rasa syukurnya atas prestasi ini. Ia menilai capaian tersebut merupakan hasil kerja bersama, bukan semata-mata upaya pribadi.
“Alhamdulillah. Terus melakukan penelitian dan juga membimbing mahasiswa serta menjalin kerja sama internasional sehingga bisa berkontribusi untuk ilmu pengetahuan,” ujarnya kepada Dialeksis saat dihubungi, Selasa (23/9).
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kekuatan penelitian bukan hanya terletak pada individu, tetapi juga pada sinergi tim dan ekosistem akademik yang sehat. Menurutnya, laboratorium riset harus diperkuat dengan dukungan sarana, fasilitas, serta pengelolaan yang transparan.
“Laboratorium harus kuat dan tim penelitian harus bisa saling mengisi serta transparan. Kita tidak bisa berjalan sendiri, riset harus dikerjakan secara kolaboratif dengan berbagi peran sesuai keahlian masing-masing,” kata Samsul.
Ia juga menambahkan, keberhasilan riset tidak hanya diukur dari banyaknya publikasi, tetapi juga dari kontribusi nyata terhadap masyarakat dan dunia industri. Bagi Samsul, penelitian harus memberi solusi bagi persoalan yang dihadapi masyarakat serta membuka peluang inovasi baru.
“Publikasi itu penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana hasil riset bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Peneliti jangan terjebak pada angka semata, melainkan bagaimana karya mereka membawa manfaat luas,” tegasnya.
Selain itu, ia menilai kerja sama internasional perlu terus diperluas, baik dalam bentuk joint research, pertukaran peneliti, maupun publikasi bersama. Menurutnya, jejaring global menjadi kunci agar riset dari Aceh dan Indonesia bisa lebih banyak berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dunia.
“Kolaborasi lintas negara membuka peluang besar bagi mahasiswa dan peneliti muda kita. Mereka bisa belajar banyak, memperluas wawasan, dan meningkatkan kualitas penelitian,” jelasnya.
Dengan capaian ini, Samsul berharap generasi muda Aceh dan Indonesia tidak ragu untuk menekuni dunia riset. Ia menekankan pentingnya komitmen, kerja keras, dan kesabaran dalam membangun karier akademik.
“Prestasi ini saya dedikasikan untuk mahasiswa, kolega peneliti, dan masyarakat Aceh. Saya ingin generasi muda melihat bahwa penelitian itu jalan panjang, penuh tantangan, tetapi pada akhirnya akan bermanfaat besar bagi umat manusia,” tutup Rektor Universitas Batam saat ini.