Jum`at, 23 Mei 2025
Beranda / Berita / Stagnasi Partai Golkar Kota Banda Aceh, Evaluasi Urgensi Kepemimpinan dan Kaderisasi

Stagnasi Partai Golkar Kota Banda Aceh, Evaluasi Urgensi Kepemimpinan dan Kaderisasi

Kamis, 22 Mei 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Firdaus Mirza Nusuary

Penulis: Firdaus Mirza Nusuary Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala


DIALEKSIS.COM | Kolom - Partai Golkar pernah menjadi simbol kekuatan politik nasional di masa Orde Baru, mendominasi panggung politik di bawah kendali Presiden Soeharto. Pascareformasi, meskipun sempat terancam dibubarkan, Golkar berhasil bertahan dan terus menjadi salah satu partai besar nasional yang konsisten masuk tiga besar perolehan suara dalam berbagai pemilu.

Namun, situasi kontras terlihat di Kota Banda Aceh. Sejak Pemilu 2009 hingga 2024, perolehan kursi Partai Golkar di DPRK Banda Aceh stagnan di angka tiga. Empat kali berturut - turut mencatat hasil serupa menunjukkan bahwa ada persoalan mendasar yang belum juga diatasi.

Stagnasi Partai Golkar di Banda Aceh bukan sekadar persoalan manajemen internal, tetapi juga mencerminkan dinamika relasi kekuasaan, perubahan struktur sosial, dan kegagalan adaptasi terhadap transformasi politik lokal.

Pada masa Orde Baru, Golkar memperoleh legitimasi melalui jaringan patronase dan dukungan birokrasi. Namun, dalam konteks Aceh pascareformasi dan pascakonflik, pendekatan 'top down' tak lagi efektif. Masyarakat Banda Aceh, yang semakin kritis dan terfragmentasi secara ideologis, lebih condong kepada partai dengan narasi lokal seperti Partai Aceh, atau partai nasional yang mampu menawarkan identitas baru, seperti Gerindra dan PKS.

Golkar gagal membangun legitimasi 'rasional prosedural' ala Weber yakni legitimasi berbasis program, aturan, dan respons terhadap kebutuhan konstituen. Isu-isu seperti pembangunan inklusif, lingkungan hidup, ekonomi kreatif, atau kesetaraan sosial tak menjadi bagian narasi utama Golkar di Banda Aceh.

Kepemimpinan Partai Golkar di Banda Aceh menunjukkan gejala elite capture di mana struktur partai dikuasai segelintir elite yang menutup ruang bagi kader muda dan inovasi. Fenomena ini sesuai dengan “Hukum Besi Oligarki” dari Robert Michels, yang menyatakan bahwa organisasi politik cenderung dikuasai kelompok kecil yang mempertahankan status quo.

Ketika Sabri Badruddin dilantik sebagai Ketua DPD II, ia sempat menyampaikan komitmen untuk memperkuat konsolidasi dan kaderisasi. Namun, hingga Pemilu 2024, janji tersebut belum membuahkan hasil nyata. Dengan hanya 12.665 suara, Golkar kembali hanya meraih tiga kursi dari Dapil 1, 2, dan 3, sementara Dapil 4 dan 5 nihil perwakilan. Ini mengindikasikan kegagalan dalam mendistribusikan kekuatan politik dan menyusun strategi caleg yang relevan.

Keputusan politik yang lamban juga berdampak pada Pilkada Serentak 2024. Golkar tak hanya gagal mengusung calon sendiri karena jumlah kursi yang minim, tetapi juga tak mampu mendorong kader internal sebagai kandidat. Kader muda potensial seperti Afdhal justru memilih hengkang ke Partai Gerindra menandakan retaknya ikatan vertikal antara elite dan kader akar rumput.

Banda Aceh adalah kota dengan keragaman sosial tinggi: dari ulama, akademisi, aktivis, hingga generasi muda 'digital native'. Golkar gagal membangun 'social embeddedness' keterikatan sosial yang diperlukan untuk merespons dinamika segmen pemilih baru.

Minimnya keterlibatan perempuan dan generasi Z dalam kaderisasi menambah panjang daftar kegagalan adaptif partai ini. Dapil 4 dan 5 yang tanpa kursi kemungkinan merupakan wilayah dengan dominasi pemilih muda atau kelas menengah, kelompok yang tidak terhubung dengan narasi politik lama ala Golkar.

Sebaliknya, di Kabupaten Bireuen, Golkar justru mampu membangun basis kuat di bawah kepemimpinan Mukhlis Takabeya tokoh lokal dengan kapital sosial luas dan pendekatan strategis. Di Banda Aceh, Golkar tampaknya terjebak dalam rutinitas organisasi tanpa inovasi kultural.

Mandeknya kaderisasi menunjukkan masalah serius dalam sistem rekrutmen partai. Jika merujuk pada Pierre Bourdieu, partai politik adalah arena perebutan modal simbolik baik berupa prestise, jaringan, maupun akses politik. Bila kader potensial merasa tidak mendapat ruang, mereka akan berpindah ke partai lain yang lebih menjanjikan distribusi modal politik yang adil.

Contohnya adalah migrasi Afdhal ke Partai Gerindra, yang memberi ruang lebih besar bagi kader muda untuk berkembang. Untuk bangkit dari stagnasi, Golkar Banda Aceh harus melakukan transformasi menyeluruh, antara lain: Ketua DPD II harus berasal dari figur yang memiliki kapital sosial luas dan diterima lintas segmen masyarakat, bukan sekadar loyalis lama.

Selain itu, narasi partai harus menyentuh isu-isu kontemporer seperti lingkungan, UMKM, teknologi digital, dan pendidikan untuk menarik pemilih muda. Penting juga berikan ruang dan otonomi lebih besar kepada kader di tingkat kecamatan agar lebih responsif terhadap keragaman lokal.

Musyawarah Daerah (Musda) ke - 12 DPD Partai Golkar Provinsi Aceh harus menjadi titik balik untuk melakukan evaluasi objektif terhadap seluruh DPD II, termasuk Banda Aceh. DPD maupun DPP Golkar harus bersikap tegas mengapresiasi yang berhasil dan mengevaluasi yang gagal.

"Yang sukses berikan penghargaan sebagai motivasi politik, yang belum berjuang sepenuhnya maka harus siap dievaluasi."

Stagnasi Partai Golkar Banda Aceh adalah cermin kegagalan membaca arah perubahan sosial - politik Aceh pascakonflik. Jika tak segera berbenah dan membangun identitas baru yang inklusif dan progresif, Golkar akan terus menjadi penonton dalam dinamika politik lokal.

"Dalam politik, bertahan bukanlah soal kekuatan masa lalu, melainkan kemampuan membaca angin perubahan."

Penulis: Firdaus Mirza Nusuary Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
hardiknas