Jum`at, 26 Desember 2025
Beranda / Celoteh Warga / Aceh dan Pos-Pos Ketakutan

Aceh dan Pos-Pos Ketakutan

Jum`at, 26 Desember 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Mirza Ferdian

Mirza Ferdian, Warga Banda Aceh serta Mantan Aktivis. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Saya tak lagi ingat persis kapan peristiwa itu terjadi, hari dan tanggalnya hilang dari ingatan. Yang jelas, pagi itu kami berdua berangkat dari Banda Aceh menuju Lamno dengan sepeda motor Yamaha Scorpio keluaran 2004. Saat itu saya masih kelas dua STM. Motor itu dibelikan orang tua setelah proses negosiasi panjang, banyak diplomasi gagal, ganti merek, ganti jenis, hingga akhirnya air mata yang meluluhkan segalanya.

Dengan mesin 225 cc sebagai penggerak, roda Scorpio melaju mantap. Sesekali kami berakselerasi di tikungan Gunung Kulu dan Gunung Paro. Motor ini memang sangat asyik diajak touring.

Saat itu pertengahan 2004. Aceh masih berada dalam status Darurat Militer. Tujuan kami adalah rumah Tabib Usuh di Gampong Sapek, Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Tabib Usuh dikenal sebagai bagian dari GAM. Ketika berada di Banda Aceh, ia kerap berpindah-pindah tempat, sering menetap di Dayah Al-Muhajirin Tgk Chik di Ujeun, milik Tgk. Ahmad Tajuddin yang lebih dikenal sebagai Abi Lampisang.

Kami tiba di puncak Gunung Geurutee dan berhenti sejenak untuk melepas lelah. Dari sana, Samudra Hindia terbentang luas. Namun perjalanan ini bukan sekadar soal keindahan alam. Di tanjakan Gunung Geurutee ada Pos TNI. Di tengah gunung, ada lagi Pos TNI.

Sepanjang Banda Aceh-Lamno, pos-pos serupa berdiri seperti gerbang ketakutan. Entah mengapa, kami selamat melewati semuanya, hingga satu titik.

Gampong Sapek sebenarnya belum sampai ke Kota Lamno. Letaknya di kaki Gunung Geurutee. Tabib Usuh sebelumnya pernah ditampung cukup lama oleh orang tua saya di ruko keluarga di Stui, samping Cane Mamak KL. Ia tinggal di lantai dua dan tak pernah turun di siang hari. Selepas Magrib, barulah ia keluar mencari tujuan lain. Kedatangan kami kali ini murni untuk bersilaturahmi, apalagi masih suasana Idulfitri.

Petaka kemudian dimulai.

Sebagaimana SOP tak tertulis orang Aceh, setiap melewati pos TNI atau Polri, laju kendaraan harus diturunkan drastis. Selain menyalakan klakson, kita harus membungkukkan badan, mengucap salam, dan memberikan senyum paling tulus, bahkan lebih tulus daripada senyum kepada pacar.

“Woi, berhenti kau! Balik!”

Teriakan itu datang dari Pos TNI di kaki Gunung Geurutee. Kami memutar balik dan memarkirkan motor dengan rapi. Salah satu dari mereka langsung menghardik,

“Kalian ini ya, mentang-mentang motor kau bagus, berani kali kau melaju kencang!”

Saya spontan menjawab, “Siap salah, Pak. Tadi kami jalan 20 km per jam.”

Ia tertawa.

Dompet kami diminta. Dari KTP merah putih, ia tahu saya masih pelajar. Selain uang, ia menemukan selembar foto perempuan di dompet saya.

“Siapa ini?” tanyanya.

“Bukan pacar, Bang. Juga bukan kawan. Statusnya tak jelas,” jawab saya pelan.

Saya jelaskan bahwa saat perpisahan sekolah menegah pertama, perempuan itu memberi beberapa lembar foto, satu untuk dompet, tiga ukuran album. Dahinya berkerut. Ia mengembalikan dompet saya utuh.

Rekan saya tidak seberuntung itu.

Usianya jauh lebih tua dari saya. Di dompetnya juga ditemukan foto seorang perempuan. Ia dipermainkan. Tentara itu memasukkan foto tersebut ke selangkangannya.

“Marah kau?”

“Tidak, Pak.”

“Hah? Foto pacarmu kuginiin, kau tak marah? Berarti kau tak setia!”

Ia tertawa, lalu mengulang pertanyaan itu. Rekan saya akhirnya menjawab jujur, “Marah, Pak.”

Mata tentara itu melotot. Setengah berteriak, “Apa? Marah kau sama kami? Berani kau marah?”

Rekan saya buru-buru meralat, “Tidak marah, Pak.”

Mereka pun tertawa terbahak-bahak. Kami hanya bisa cengar-cengir di bawah intimidasi.

Belum puas, mereka memerintahkan kami membersihkan tinja di belakang pos. Dengan terpaksa, di bawah tekanan dan rasa takut, kami melakukannya.

Dua jam kami tertahan di pos itu. Setelahnya, kami diizinkan melanjutkan perjalanan dengan satu syarat, motor harus dihidupkan setelah berjarak 100 meter dari pos. Jika kurang, kami akan ditembak, begitu ancamannya.

Sejak di Banda Aceh, kami sudah sepakat merahasiakan tujuan sebenarnya. Jawaban kami harus sama, menjenguk saudara sakit di Lambeuso. Kebetulan, kakek saya memang orang Lambeuso. Berkat jawaban seragam itu, kami lolos dari interogasi. Jika berbeda, ceritanya mungkin tak akan sama.

Saat akhirnya bertemu Tabib Usuh, kami tak menceritakan apa pun tentang kejadian di perjalanan. Padahal berulang kali ia bertanya bagaimana perjalanan kami. Seolah-olah ia tahu ada sesuatu yang terjadi.

Dalam suasana Darurat Militer, apa yang kami alami mungkin terhitung ringan, sekadar kekerasan verbal dan pelecehan. Padahal di luar sana, ada yang disiksa hingga kehilangan nyawa tanpa pernah terbukti bersalah. Ada yang mengalami pelecehan seksual dan penderitaan yang jauh lebih kejam.

Semoga semua itu tak pernah terulang di Bumoe Aceh tercinta. Bagi orang Aceh, soal nasionalisme dan keacehan tak perlu diuji. Demo ricuh kemarin adalah bukti bahwa benih-benih konflik itu masih ada. Pemerintah pusat perlu memberi perhatian serius agar isu-isu seperti ini tidak dimanfaatkan dan berkembang liar.

Hai para pihak, orang Aceh ini sebenarnya sangat mudah diurus, “Menyoe get tapeutimang boh kreh jeut taraba, menyoe hana get tapeutimang bu leubeh han dipeutaba.”[**]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI