Jum`at, 15 Agustus 2025
Beranda / Celoteh Warga / Damai Yang Hidup Di Dapur Rakyat

Damai Yang Hidup Di Dapur Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Mirza Ferdian

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - “Kita harus bersatu.” Kalimat ini mungkin terdengar sederhana. Tapi dalam konteks Aceh pasca-konflik, maknanya sangat dalam. Bersatu bukan hanya tentang tidak bertikai, tetapi tentang bersepakat membangun masa depan bersama.

Kini, dua dekade telah berlalu sejak damai diteken di Helsinki, Finlandia. Senjata sudah lama dibungkam. Namun, damai bukan sekadar tentang berakhirnya konflik. Damai sejati adalah ketika rakyat hidup layak, berpendidikan, punya pekerjaan, dan merasa dihargai oleh negara.

Faktanya, Aceh masih bergulat dengan kemiskinan, pengangguran, stunting, narkoba, dan kesenjangan sosial yang akut. Banyak warga yang hidup pas-pasan, kesulitan mendapat layanan kesehatan, dan putus sekolah karena tak mampu. Ironisnya, ini terjadi di tengah aliran dana otonomi khusus (Otsus) yang merupakan kompensasi perdamaian dengan nilai yang tidak sedikit.

Salah satu kesalahan fundamental adalah terlalu lama terjebak pada pembangunan fisik semata, namun lupa membangun manusianya (SDM). Jalan dibangun, gedung didirikan, namun rakyat belum sepenuhnya diberdayakan. Dana habis, dampak minim.

Kalau ingin damai ini bermakna, rakyat harus berdaya secara ekonomi. Masyarakat harus punya akses terhadap pelatihan, modal usaha, pasar, dan pendampingan. Bantuan sosial saja tidak cukup. Kita perlu menciptakan lapangan kerja yang nyata, bukan sekadar proyek sesaat yang selesai tanpa kesinambungan.

Pemberdayaan ekonomi bukan soal membagi-bagi uang, tetapi memberikan pelatihan berbasis potensi lokal, mengembangkan UMKM dan koperasi yang produktif, serta membangun inkubasi wirausaha anak muda di kabupaten/kota. Koneksitas dan sinergi antar dinas dan kelembagaan yang berorientasi dan memprioritaskan pengembangan kemandirian ekonomi harus menjadi mindset semua pihak, tanpa terkecuali.

Program-program ini harus tepat sasaran, bukan untuk mereka yang dekat dengan kekuasaan. Harus dijalankan dengan perencanaan matang dan berbasis kebutuhan riil masyarakat.

Ekonomi tanpa SDM yang kuat ibarat membangun rumah di atas pasir. Setiap anak Aceh berhak atas pendidikan yang berkualitas, dari SD hingga perguruan tinggi. Kita perlu menjamin tidak ada lagi anak yang putus sekolah karena miskin. Pastikan setiap daerah terluar dan tertinggal memiliki akses yang sama terhadap pendidikan.

Mirisnya, meski 20% APBA dialokasikan untuk sektor pendidikan, sebagian besar tersedot untuk operasional. Padahal seharusnya dana ini mampu membentuk kapasitas SDM melalui kebijakan yang jelas dan memberikan dampak signifikan, misalnya alokasi dana 1% untuk riset, beasiswa berprestasi dan tidak mampu, pelatihan vokasi, hingga penguatan pendidikan vokasi berbasis kebutuhan daerah.

SDM yang unggul akan menjadi motor ekonomi. Mereka tidak hanya mencari kerja, tapi menciptakan pekerjaan. Mereka tidak hanya menjadi objek program, tapi aktor perubahan.

Kini saatnya semua elemen Aceh bersatu. Eksekutif dan legislatif harus satu visi,  rakyat sejahtera. Ulama dan cendekiawan bersuara untuk keadilan sosial. Pemuda dan perempuan diberi ruang nyata untuk berperan. Masyarakat sipil dilibatkan secara aktif dalam merumuskan dan mengawal kebijakan.

Kita harus keluar dari lingkaran saling menyalahkan. Dua puluh tahun cukup untuk berkaca dan menyusun langkah baru. Masalah-masalah multidimensi di Aceh harus diselesaikan dengan pendekatan kolektif dan kolaboratif.

Masalah lainnya adalah ketidaksinkronan antara visi misi Pemerintah Aceh dengan kabupaten/kota. Selama ini, program berjalan masing-masing, seolah pembangunan hanya tanggung jawab provinsi. Ini harus diakhiri. Tidak boleh ada lagi gap atau pemisahan dalam program kegiatan. Kita harus manunggal membangun Aceh, dan menghidupkan ego ke-Acehan dalam semangat positif.

Kita memasuki babak baru dalam tata kelola pembangunan dari Money Follow Function ke Money Follow Program.

Dulu, anggaran diberikan berdasarkan fungsi organisasi. Misalnya, Dinas A otomatis mendapat anggaran karena punya kewenangan tertentu tanpa memperhitungkan apakah kegiatannya berdampak nyata atau tidak. Pendekatan ini sering menimbulkan pemborosan, tumpang tindih, dan program tidak efektif karena hanya fokus pada struktur, bukan hasil.

Kini, kita beralih ke pendekatan Money Follow Program. Artinya, anggaran dialokasikan untuk program-program prioritas yang memberi dampak nyata ke masyarakat. Fokusnya adalah output dan outcome, bukan sekadar serapan anggaran.

Ini sejalan dengan konsep Penganggaran Berbasis Kinerja, setiap rupiah harus punya hasil yang terukur. Perencanaan harus berbasis data, kebutuhan masyarakat, dan dilakukan secara transparan.

Jika prinsip ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka pembangunan akan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. SDM dan ekonomi masyarakat akan tumbuh bersama.

Dan di sanalah makna damai yang sejati,  damai yang hidup di dapur rakyat, di ladang petani, di ruang kelas anak-anak, dan di hati setiap masyarakat Aceh.

Untuk keluar dari lingkaran stagnasi ini, Aceh membutuhkan arah pembangunan jangka panjang yang jelas. Sudah saatnya Pemerintah Aceh menyusun semacam GBHN Aceh atau Haluan Pembangunan Aceh untuk 30 tahun ke depan, sebagai peta jalan bersama lintas pemerintahan. Bukan visi 5 tahunan yang berubah tiap ganti kepala daerah, tetapi visi bersama untuk Aceh masa depan.

Selamat Memperingati 20 Tahun Damai Aceh, 15 Agustus 2005 - 15 Agustus 2025, Semoga damai ini tidak sekadar dikenang, tetapi terus diperjuangkan dan diwariskan.[]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI