DIALEKSIS.COM | Celoteh Warga - Di sebuah negeri yang mengelu-elukan klaim penerapan Syariat Islam secara kaffah, ada kisah pilu nan menggelikan tentang nasib kaum duafa. Padahal, konsep agung itu seharusnya menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi ummat yang kurang beruntung.
Mereka, yang sering disebut "kaum lemah tak berdaya", mendadak bertransformasi menjadi "duapha" di mata para pemangku kebijakan. Namun, tragis menimpa, akhirnya mereka benar-benar menjadi "hanapha". Kisah ini, bukan hanya terjadi di satu sudut, tapi laksana cetak biru tragedi birokrasi yang berulang-ulang, menampakkan ironi setajam silet.
Panggung sandiwara ini dibuka dengan gemilang oleh Bapak-Bapak Anggota Dewan Terhormat dari berbagai fraksi. Dengan raut penuh empati, suara mendayu, dan retorika selalu memukau - terutama di hadapan kamera wartawan, mereka mengusulkan program penyelamatan bagi kaum papa.
"Kita harus bantu mereka, saudara-saudara!" teriak seorang Pak Dewan, sambil menggebrak meja. Mungkin saat menggebrak itu, dia gembira dengan budget yang akan dibahas. "Mereka butuh rumah, butuh modal usaha! Kita anggarkan, sebut saja, RpX juta untuk program ‘Bangkit dari Keterpurukan Sesuai Syariah’!"
Anggaplah RpX juta ini adalah jumlah ideal yang dibutuhkan si dhuafa untuk bangkit. Kita sebut saja RpX adalah "Duapha". Dua bagian bantuan yang seharusnya mereka terima (satu untuk rumah, sisanya buat modal, atau simply dua kali lipat dari yang sekarang mereka dapat). Niatnya mulia. Dalil-dalilnya juga kuat. Semua setuju. Masya Allah, ini wujud nyata negeri yang katanya menegakkan Syariat Islam secara kaffah.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan seumur jagung. Setidaknya, sampai rapat pembahasan anggaran dengan Pejabat Eksekutif dimulai. Di ruangan ber-AC yang dinginnya menusuk tulang, jauh dari terik matahari yang menyengat para duafa, tawar-menawar pun dimulai.
Bantuan yang semula "Duapha" (RpX juta untuk rumah bantuan dan modal usaha), mendadak dianggap terlalu ’boros’ atau ’tak efisien’ oleh tim bersama eksekutif yang didampingi para ahli penghematan anggaran.
"Bapak-bapak Dewan yang terhormat," ujar seorang pejabat dengan senyum penuh makna. "Anggaran sebesar itu bisa memicu inflasi moral. Kita harus mendidik rakyat untuk mandiri. Selain itu, ada pos-pos sangat urgen demi rakyat, seperti pengadaan mobil dinas baru, studi banding ke luar negeri untuk mencari ilmu tentang 'manajemen zakat di Eropa'. Juga yang penting, biaya administrasi dan sosialisasi di media massa. Ingat, ini demi akuntabilitas!"
Hasilnya? Tanpa banyak ba-bi-bu, ta-ti-tu, anggaran proyek itu dipangkas secara sadis, disunat 50%. Program "Duapha" yang tadinya RpX juta, kini tinggal Rp1/2X juta. Sebut saja "Satupha". Alasan pemangkasan? Selalu "sangat masuk akal" dan "urgen demi rakyat". Rakyat mana, kita tak tahu. Yang jelas, setengah budget duafa sudah dialihkan ke dompet lain, dengan dalih kepentingan lebih besar.
Kaum duafa seolah didorong untuk selalu bersyukur. "Bersyukurlah, kalian masih dapat 'Satupha’ daripada tidak sama sekali!" Begitu kira-kira bisikan dari ruang rapat yang dingin. Mereka lupa, dalam Syariat, menunaikan hak fakir miskin adalah kewajiban, bukan belas kasihan yang bisa dikurangi sesuka hati.
Puncak dari komedi gelap ini terjadi ketika anggaran disahkan. Palu sudah diketuk, dan kabar gembira sudah tersebar. Para duafa sudah terlanjur bersemangat. Malah, ada yang nekad menjual kambing satu-satunya atau, lebih parah lagi, berhutang pada tengkulak untuk membayar "biaya pengurusan" kepada tim lobi Bapak-Bapak yang menjanjikan mereka bantuan.
Kaum papa sudah bermimpi akan punya rumah sederhana layak huni, warung kecil, atau gerobak motor untuk mencari nafkah. Mereka sudah keluar tenaga, air mata, dan biaya yang sejatinya tak perlu alias gratis karena jauh lebih berharga dari uang itu sendiri.
Tiba-tiba, seperti hantu di siang bolong, seluruh dana bantuan yang sudah diplot, tadinya tinggal "Satupha," hilang tak jelas jejaknya. Entah nyangkut di mana, entah menguap ke dimensi lain, entah tersesat di labirin rekening misterius. Bahkan, duit kesehatan masyarakat ikut dibebankan ke tahun berikutnya.
Ketika duafa coba bertanya, jawaban yang mereka terima selalu penuh klise: "Belum cair," "Terjadi kesalahan administrasi," atau "Mohon bersabar, sedang diaudit."
Alhasil, kaum duafa kini benar-benar "Hanapha" Tak dapat apa-apa. Mereka tak dapat rumah. Tidak ada modal usaha. Yang tersisa hanya hutang pada tengkulak dan rasa sewot tak terperi. Kaum papa, yang seharusnya menerima "Duapha", hanya bisa gigit jari karena ulah pengurus negara yang penuh dalih.
Kisah "Dari Duapha Sampai Hanapha" adalah cerminan sempurna praktik hipokrasi birokrasi di sebuah negeri yang mengklaim diri religius. Slogan-slogan agung keagamaan digunakan untuk memoles kebijakan yang pada dasarnya mencuri hak kaum lemah.
Para Pejabat dan Pak Dewan itu sangat fasih berbicara tentang zakat, infak, dan sedekah konsep kedermawanan pribadi. Tetapi, mereka seolah lupa bahwa mengelola anggaran negara dengan amanah dan adil adalah jihad yang jauh lebih besar dan wajib.
Syariat Islam seharusnya benar-benar diterapkan secara kaffah.
Bukannya hanya soal pakaian dan ritual. Sesungguhnya, ada hal paling utama segera diwujudkan, yakni keadilan dalam distribusi sumber daya dan pertanggungjawaban publik yang transparan.
Jika bantuan buat duafa saja bisa ”diolah” dari dua menjadi satu, kemudian tinggal nol, maka apa beda negeri yang katanya bersyariat dengan dongeng Robin Hood? Hanya saja di sini, yang kaya merampok si miskin dengan dalih undang-undang, studi banding, serta biaya administrasi dan sosialisasi.
Pembaca yang budiman, kalau Anda senyam-senyum sendiri ketika membaca ini, itu tandanya Anda sudah geli. Apabila Anda merasa "tertampar," itu tandanya fenomena "Duapha-Satupha-Hanapha" mungkin saja terjadi di sekitar Anda. Dan kita semua, adalah bagian dari negeri yang membiarkan ironi ini terus menjadi tradisi.
Ironi terbesar, kaum duafa di negeri ini, tak hanya miskin harta, tapi juga fakir keadilan. Dan itu, adalah aib Syariat yang tak termaafkan. Sampai kapan kita akan membiarkan agama hanya menjadi lipstik kebijakan, bukan ruh implementasi yang sesungguhnya?[]
Penulis: Nurdin Hasan | Jurnalis Freelance.