Selasa, 11 November 2025
Beranda / Celoteh Warga / Lubok Sukon, Aroma Maulid dan Kenangan

Lubok Sukon, Aroma Maulid dan Kenangan

Selasa, 11 November 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Mirza Ferdian

Aroma Maulid di Lubok Sukon. [Foto: Mirza Ferdian untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Celoteh Warga - Saya hampir tak pernah melewatkan undangan Maulid di Desa Lubok Sukon. Bukan semata karena hidangannya yang menggoda, melainkan suasananya yang selalu menenangkan hati, sebuah kampung yang seolah tak tersentuh oleh hiruk pikuk modernitas.

Lubok Sukon, sebuah desa di Aceh Besar, masih menyimpan wajah Aceh lama yang autentik. Rumah-rumah kayu panggung, Rumoeh Aceh, berdiri gagah berdampingan dengan rumah beton yang lebih modern, menandai pertemuan masa lalu dan masa kini dalam satu pandangan mata. 

Pagar antar rumah bukan dari besi atau tembok, melainkan deretan tanaman teh-tehan yang rapi. Hampir di setiap pekarangan, pohon buah tumbuh subur, ada mangga, rambutan, alpukat, hingga durian. Semua seolah ingin menunjukkan bahwa kehidupan di sini mengalir dalam keseimbangan, antara manusia, alam, dan tradisi.

Dari desa sederhana ini pula lahir banyak tokoh besar. Ada Muzakkir Walad, mantan Gubernur Aceh dua periode, Cek Mad Rahmany, yang pernah mengemban tugas sebagai Duta Besar RI di salah satu negara Timur Tengah dan yang paling fenomenal dr. Taqwallah, mantan Sekda Aceh dengan semboyan “BEREH” (Bersih, Rapi, Estetis, dan Hijau) yang sempat viral di seluruh Aceh.

Malam tadi, telepon jadul saya berdering. Dari seberang terdengar suara lembut, penuh kehangatan.

“Singoh neujak u rumoeh beh, na kanduri moklod bacut,” katanya.

Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan dengan semangat.

“Bek hana neujak, watee lon undang bak dayah pih hana troh,” sambungnya, memastikan.

Ada semacam kerinduan yang selalu memanggil saya kembali ke Lubok, ke suasana kampung yang tak berubah, ke tawa dan keramahan orang-orangnya.

Sejak diresmikan sebagai desa wisata pada 15 Oktober 2012, Lubok Sukon menjelma menjadi destinasi budaya yang menawan. Letaknya hanya sekitar 20 kilometer dari Banda Aceh, menjadikannya mudah dijangkau siapa pun yang ingin merasakan kehidupan pedesaan yang sesungguhnya. Para pemandu wisata kerap merekomendasikan tempat ini kepada tamu-tamu mereka, sebab suasananya tenang, warganya ramah, dan udaranya masih sesegar embun pagi.

Salah satu daya tariknya adalah wisata “Wet-wet lam Gampong”, menyusuri kehidupan desa. Para wisatawan diajak berjalan kaki menapaki jalan tanah, menyapa warga yang menjemur padi, atau menyaksikan ibu-ibu menyiapkan timphan dan leumang di dapur kayu. Tak jarang, mereka diberi kesempatan mencicipi pisang peungat asoe kaya atau bu kulah yang berpadu dengan kuah beulangong dan boh itek masen. Hidangan yang saya nikmati siang tadi pun masih terasa hangat di ingatan, seperti sapaan manis yang tak lekang waktu.

Anak-anak muda di desa ini juga tak mau ketinggalan. Mereka dilatih membuat kerajinan dari tempurung kelapa yang disulap menjadi cenderamata khas yang diburu pengunjung. Meski begitu, saya berharap kreativitas ini tak berhenti di satu bentuk saja. Masih banyak potensi yang bisa dikembangkan, agar wisatawan memiliki lebih banyak pilihan oleh-oleh untuk dibawa pulang.

Sebab sejatinya, kemajuan sebuah desa tak selalu diukur dari megahnya bangunan atau banyaknya hasil bumi. Tapi dari bagaimana ia menjaga jati diri budaya, sambil menumbuhkan ekonomi berbasis kreativitas dan pariwisata. Kekayaan alam bisa habis, tapi kekayaan ide dan kearifan lokal akan abadi bila terus dirawat.

Kita, orang-orang yang mencintai Aceh, punya tanggung jawab untuk mengubah citra daerah ini. Aceh bukan semata kisah perang dan perlawanan. Aceh juga tentang senyum yang tulus, tangan yang ramah menyambut, dan secawan kopi yang diseduh dengan keikhlasan.

Dan malam ini, di sela-sela kenangan Maulid yang baru usai, tiba-tiba rasa lapar itu datang lagi, saya mengingat ketan hangat berpadu kuah santan dan pisang raja bertabur srikaya yang saya santap siang tadi sebagai hidangan penutup.

Saya tersenyum sendiri. Doa saya sederhana saja, semoga tahun depan, suara lembut di ujung telepon itu kembali memanggil saya,

“Singoh neujak u rumoeh beh…”

Dan saya, seperti biasa, pasti akan datang lagi.[mf]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI