Selasa, 23 Desember 2025
Beranda / Celoteh Warga / Membaca Bu Kek Siansu, Menemukan Mualem di Tengah Bencana Aceh

Membaca Bu Kek Siansu, Menemukan Mualem di Tengah Bencana Aceh

Selasa, 23 Desember 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Herman RN

Herman RN, Sastrawan dan Budawan sekaligus Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala. Foto: Doc pribadi/Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Celoteh Warga - Malam ini aku lelah. Jadi kupilih membaca cerita silat sebelum rebah ke peraduan. 

Di luar, angin semilir menyusup lewat celah jendela. 

Negeri yang baru dirobek bencana masih menyimpan aroma amarah lumpur, suara tangis yang belum reda, dan harapan yang masih mencari pijakan.

Di halaman-halaman tua itu, aku bertemu dengan sosok yang sudah lama kukenal: Bu Kek Siansu. 

Ia berkata, “Pendekar sejati bukanlah yang menang bertarung, melainkan yang mampu menolong sesama.” 

Kata-kata itu tiba-tiba terasa bukan sekadar nasihat silat, melainkan gema dari tanah Aceh. 

Aku melihat Mualem, gubernur yang sejak awal bencana turun langsung ke daerah-daerah, menuntun semua pihak agar segera menolong korban. 

Seakan ia sendiri sedang mengulang ucapan sang pendekar: jangan bertengkar soal status, mari menolong sesama.

Aku membuka lembar berikutnya. Bu Kek Siansu berujar, “Kekuatan bukan untuk menakutkan, melainkan untuk melindungi.” 

Di kepalaku, kalimat itu menjelma pada sikap Mualem. 

Baginya, apapun kekuatan yang dimiliki daerah, provinsi, pusat, bahkan asing lebih utama dipakai untuk melindungi rakyat yang sedang dilanda bencana. 

Tidak untuk menekan, tidak untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menjadi tameng bagi yang lemah.

Dan ketika aku sampai pada ucapan ketiga, “Lebih baik tubuhku yang hancur, daripada hati manusia yang binasa oleh kebencian,” aku teringat langkah Mualem yang terus bergerak, meski fisiknya tidak sekuat yang lain. Ia memandu, menjaga harapan, agar bencana ini tidak berubah menjadi krisis kebencian. 

Seperti Bu Kek Siansu, ia memilih menanggung lelah tubuhnya demi memastikan hati rakyat tetap utuh.

Malam semakin larut. Angin membawa aroma tanah basah, seakan mengingatkan bahwa luka Aceh belum sembuh. 

Namun di antara halaman silat dan kenyataan bencana, aku menemukan satu benang merah yakni kepemimpinan budiman. 

Bu Kek Siansu dan Mualem sama - sama menunjukkan bahwa kekuatan sejati adalah keberanian menanggung penderitaan bersama, demi memastikan hati manusia tidak binasa oleh kebencian, melainkan hidup oleh harapan.

Siapakah Bu Kek Siansu?

Bagi yang belum mengenalnya, Bu Kek Siansu adalah julukan bagi Kwa Sin Liong, tokoh utama dalam serial silat karya Kho Ping Hoo. 

Sejak kecil ia dikenal sebagai Sin Tong (Anak Ajaib) karena mampu mengobati berbagai penyakit. 

Ia kemudian menjadi murid Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, menguasai ilmu pengobatan, tenaga dalam, dan filsafat hidup yang menekankan kebajikan. 

Karena sikapnya yang selalu menolong tanpa pamrih, ia dikenang sebagai pendekar budiman adalah sosok yang lebih besar dari sekadar jagoan silat, melainkan figur moral yang menuntun manusia.

Membaca kembali sosok Bu Kek Siansu di tengah bencana Aceh membuat kita sadar: kepemimpinan budiman bukan hanya ada di lembaran silat fiksi, tetapi juga hadir nyata dalam langkah Mualem. []

Penulis: Herman RN, Sastrawan dan Budawan sekaligus Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI