DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kemana arah telunjuk hendak kita arahkan sekiranya di tahun 2045 ada orang asing bertanya di mana kami bisa menemukan jejak Indonesia di Aceh?
Beda, jika ada yang bertanya jejak Aceh di Indonesia. Kita dan banyak orang luar dengan cepat bisa menunjuk jejak kehadiran Aceh bagi Indonesia.
Pertanyaan ini kita ajukan saat ini mengingat tidak ada satupun kota di Aceh masuk dalam daftar 50 kota prioritas nasional Kementerian PU yang digadang menjadi kota masa depan.
Kota-kota ini disebut akan menjadi wajah Indonesia yang maju, dan seimbang. Indonesia di masa depan tidak lagi dilihat Jawa Sentris saja seperti yang menjadi citra kuat Indonesia selama ini.
Namun, ketika tidak ada satupun kota di Aceh masuk dalam daftar 50 kota prioritas nasional kita perlu bertanya apakah Aceh bukan wajah Indonesia?
Bukankah Aceh gerbang Indonesia dari Samudera Hindia. Dengan posisi Aceh yang menghadap langsung ke Samudera Hindia otomatis Aceh menjadi wajah pertama yang dilihat oleh 3 miliar manusia dari Afrika, Asia Selatan dan Timur Tengah.
Selat Malaka juga jalur sibuk yang dilalui oleh 120 ribu kapal saban tahun. Jalur ini dilalui oleh Tiongkok, India, Singapura, Jepang, Korea Selatan, juga Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Dan, ingat Selat Malaka bukan lagi sekedar jalur ekonomi tapi juga jalur geopolitik. Mereka yang melintas Selat Malaka, meski tidak singgah pasti akan melihat Aceh. Bukan sekedar melihat, sangat mungkin mereka mengingat Aceh yang pernah membuat Indonesia terkenal dipanggung dunia baik di masa lalu maupun di masa Aceh dan Indonesia mengakhiri konflik panjangnya.
Di masa lalu, kisah kebesaran Aceh sudah jelas menjadi cerita yang menjadi kebanggaan Indonesia juga, seperti kisah Laksamana Keumalahayati. Bahkan lukisan perempuan Aceh itu ada di rumah Prabowo.
Begitu juga dengan kota. Kota bukan sekadar titik koordinat. Ia adalah narasi peradaban. Athena melahirkan demokrasi, Baghdad memahat ilmu pengetahuan, dan Kyoto menjaga tradisi dalam modernitas. Kota adalah panggung tempat bangsa menampilkan dirinya kepada dunia.
Lalu, bagaimana dengan Aceh? Apakah tidak ada denyut masa lalu yang bisa menjadi nadi untuk kota masa depan? Banda Aceh, yang didirikan pada 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M) oleh Sultan Johan Syah. bukan sekadar kota, tapi mercusuar Islam di Asia Tenggara. Pelajar dari Timur Tengah dan India datang ke sini untuk belajar.
Kuala Batee, pelabuhan penting di pantai barat, pernah menjadi simpul perdagangan dan diplomasi. Di masa Sultan Iskandar Muda, Aceh menjadi pusat niaga internasional, menarik perhatian Belanda dan Kesultanan Utsmaniyah. Bahkan Amerika Serikat mengirim kapal perang USS Potomac untuk menyerbu Kuala Batu pada 1832, sebagai respons atas insiden kapal Friendship. Serangan itu bukan hanya aksi militer, tapi pengakuan bahwa Aceh adalah simpul penting dalam jalur niaga global.
Meulaboh, yang dahulu dikenal sebagai Pasir Karam, berkembang sebagai pusat perdagangan lada dan rempah sejak abad ke-17. Ia menjadi pelabuhan strategis yang menghubungkan dataran tinggi penghasil komoditas dengan jalur laut internasional. Di masa Sultan Iskandar Muda, Meulaboh menjadi bagian dari sistem niaga dan pertahanan pesisir barat Aceh. Namun kini, kota yang pernah menjadi simpul dagang dan spiritual itu lebih dikenal sebagai “korban tsunami” ketimbang sebagai simpul sejarah peradaban.
Memang itu tinggal cerita, cerita nan jauh di masa silam. Di sinilah masalahnya, ketika pejabat dan politisi di Aceh, tidak punya kemampuan menghidupkan narasi masa lalu menjadi narasi masa hadapan lewat perencanaan jangka panjang terhadap kota-kota yang ada di Aceh secara kolaboratif.
Kita hanya menempatkan Indonesia sebatas supporting system regulasi dan anggaran. Selebihnya, Aceh yang menentukan arah jalannya sendiri dan arah kemandiriannya sendiri. Kita lebih memilih memutus koneksi ketimbang memperbaiki hubungan kemitraaan, bahkan dengan tetangga Sumut. Pandangan kita masih melihat Aceh sebagai entitas state yang hanya layak bermitra dengan negara-negara ketimbang dengan provinsi.
Padahal, kita sadar kerjasama, kemitraaan, koneksi adalah kunci untuk saling memasuki gerbang pintu masa depan. Bahkan China dan Amerika rela berlomba untuk maju dan kuat agar lebih banyak negara bersedia menjalin kerjasama atau mengikat aliansi. Sayangnya, penglihatan ekonomi dan geopolitik ini kalah oleh spirit yang diam-diam sedang mengarahkan Aceh sebagai The Forbidden City???
Penulis: Risman Rachman, Pemerhati politik dan Pemerintahan