Jum`at, 29 Agustus 2025
Beranda / Data / Indonesia Catat Pengangguran Tertinggi di ASEAN 2025; Aceh Termasuk 10 Besar Nasional

Indonesia Catat Pengangguran Tertinggi di ASEAN 2025; Aceh Termasuk 10 Besar Nasional

Kamis, 28 Agustus 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

 Fakhruddin Dosen di Fakultas Ekonomi Bisnis USK. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di kawasan ASEAN tahun 2025. Berdasarkan laporan Trading Economics (14 Agustus 2025), tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional mencapai 4,76% per Maret 2025, setara dengan lebih dari 7 juta penduduk tidak memiliki pekerjaan. Meski turun tipis dari 4,91% pada 2024, angka ini tetap menempatkan Indonesia di posisi paling rawan ketenagakerjaan di Asia Tenggara.

Di level daerah, Aceh kembali menjadi sorotan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat, per Februari 2025 jumlah pengangguran di provinsi ini mencapai 149 ribu orang, atau TPT 5,50%. Angka ini masih lebih tinggi dibanding rata-rata nasional, sehingga menempatkan Aceh dalam kelompok 10 besar provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia.

Pengamat ekonomi Universitas Syiah Kuala, Fakhruddin, menilai masalah pengangguran di Aceh tidak bisa dilepaskan dari fenomena mismatch antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan industri lokal. Menurutnya, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang semestinya siap pakai justru menjadi penyumbang terbesar pengangguran.

“Ini menunjukkan ada masalah serius dalam link and match. Kurikulum vokasi belum sepenuhnya terkoneksi dengan kebutuhan industri, sehingga lulusan terjebak dalam persaingan ketat dengan sarjana untuk memperebutkan lapangan kerja formal yang jumlahnya terbatas,” ujar Fakhruddin kepada Dialeksis, Kamis (28/08/2025).

BPS mencatat TPT lulusan SMK di Aceh mencapai 10,76%, jauh di atas rata - rata nasional. Fakhruddin menegaskan, tanpa pembenahan serius, setiap tahun akan muncul ribuan pengangguran baru dari sekolah vokasi yang tidak terserap pasar kerja.

Selain faktor keterampilan, Fakhruddin juga menyoroti struktur ekonomi Aceh yang masih didominasi sektor informal. Sebanyak 64% tenaga kerja Aceh terserap di sektor informal, sementara hanya 36% di sektor formal. Dominasi pertanian, perdagangan kecil, dan pekerjaan mandiri membuat banyak pekerja terjebak pada penghasilan rendah dan rentan kehilangan pekerjaan.

“Tanpa transformasi ekonomi menuju sektor padat karya, mustahil angka pengangguran di Aceh bisa turun signifikan. Investasi industri manufaktur, pengolahan hasil pertanian, hingga pariwisata berbasis budaya harus didorong agar Aceh tidak sekadar menjadi pasar, tapi juga pusat produksi dan lapangan kerja,” jelas Fakhruddin.

Fakhruddin menilai solusi pengangguran Aceh harus menyentuh tiga aspek utama yakni pendidikan, investasi, dan wirausaha. Pertama, pendidikan vokasi perlu direformasi dengan melibatkan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) agar lulusan memiliki keterampilan relevan, didukung sertifikasi kompetensi yang diakui secara nasional.

Selanjutnya katanya yang kedua, iklim investasi harus lebih ramah dan proaktif. Pemerintah Aceh bersama pusat perlu menjadikan stabilitas keamanan dan dana otonomi khusus sebagai modal menarik investor, khususnya di sektor padat karya.

Ketiga, mendorong wirausaha muda menjadi salah satu jalan keluar. Dengan dukungan modal usaha, pendampingan, dan akses pasar, generasi muda Aceh bisa mengurangi ketergantungan pada lapangan kerja formal yang terbatas.

“Kalau hanya berharap pada sektor formal, masalah ini akan stagnan. Generasi muda Aceh harus diarahkan untuk menjadi pencipta kerja, bukan sekadar pencari kerja,” tegas Fakhruddin Dosen di Fakultas Ekonomi Bisnis USK.

Pemerintah Aceh bersama BPS menekankan bahwa penanganan pengangguran membutuhkan sinergi lintas sektor. Program pelatihan berbasis industri, insentif bagi perusahaan yang menyerap tenaga kerja lokal, serta pengembangan wirausaha mandiri merupakan bagian dari paket solusi jangka panjang.

Fakhruddin menegaskan, persoalan pengangguran di Aceh tidak bisa dipandang sebagai sekadar angka statistik, melainkan sebagai alarm bagi arah pembangunan daerah.

“Jika Aceh ingin keluar dari lingkaran pengangguran tinggi, maka jalan satu - satunya adalah berani melakukan transformasi memperbaiki mutu pendidikan vokasi, membuka ruang investasi produktif, dan melahirkan wirausaha baru. Tanpa langkah berani itu, setiap tahun kita hanya akan menambah daftar panjang penganggur baru,” pungkasnya.


Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
17 Augustus - depot
sekwan - polda
damai -esdm
bpka