Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / BSI Bermasalah Qanun LKS Akan Direvisi?

BSI Bermasalah Qanun LKS Akan Direvisi?

Minggu, 14 Mei 2023 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga
Qanun Lembaga Keuangan Syariah. Foto: Ist

DIALEKSIS.COM | Dialektika - Semua pihak ingin kenyamanan. Ketika kenyamanan terusik, akan melahirkan kegaduhan. Itulah gambaran pelayanan Bank Syariah Indonesia (BSI), telah membuat masyarakat gaduh, khususnya di Aceh.

Apalagi di Aceh tidak ada bank konvensional, hanya ada Bank Aceh Syariah (BAS) dan BSI yang dominan. Ketika nasabah dirugikan akibat pelayanan, berdampak besar terhadap aktivitas perekonomian masyarakat dan dunia usaha.

Mulailah Aceh hingar bingar, bahkan sampai dengan pembahasan perlu adanya revisi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang sudah dituangkan dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2018. Namun ada juga yang meminta agar tidak tergesa-gesa merevisi Qanun LKS. Banyak pihak memberikan pendapat komentar dan pendapat soal perkembangan bank di Aceh.

Masyarakat yang merasa dirugikan akibat buruknya layanan BSI mengadu ke berbagai pihak. Anggota DPR RI asal Aceh yang kini duduk Komisi VI, Muslim, mengakui sangat banyak menerima pengaduan masyarakat. 

Dia mengakui prihatin, gangguan layanan sistem BSI sangat merugikan masyarakat. Apalagi di Aceh mayoritas masyarakatnya menggunakan Bank BSI. Banyak masyarakat yang protes, demikian dengan pelaku usaha.

Menurut Muslim, dalam keteranganya kepada media, seharusnya BSI sebagai bank syariah harus dapat memberikan layanan yang berkualitas dan andal kepada nasabahnya, terutama dalam hal keamanan transaksi dan kecepatan layanan. 

“BSI harus mengembangkan teknologi dan infrastruktur yang dapat menunjang kinerja bank syariah, pengalaman gangguan layanan ini tidak harus terjadi lagi, karena sangat merugikan masyarakat,” jelasnya.

Ada komentar yang lebih kritis disampaikan Direktur Pusat Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat (PAKAR), Muhammad Khaidir. Dia menilai adanya perbedaan pendapat antara Regional CEO Bank Syariah Indonesia (BSI) Wisnu Sunandar dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menandakan ada yang tidak sinkron.

“Pernyataan terkait hal yang dialami BSI yang disampaikan ke publik apakah tidak satu pintu. Ini menunjukkan SOP di internal BSI antara menteri dan struktur BSI dalam memberikan keterangan masih belum terbentuk. Harusnya satu pesan sehingga nasabah tidak dibuat bingung harus mempercayai dan memegang pernyataan siapa," ujar Khaidir kepada DIALEKSIS.COM, Rabu (10/5/2023).

Khaidir menuntut Regional CEO BSI Aceh harus meminta maaf kepada nasabah Aceh atas penyampaian informasi yang tidak selaras dengan pernyataan Menteri BUMN itu.

Sebelumnya, Regional CEO BSI Aceh, Wisnu Sunandar mengatakan BSI sedang melakukan maintenance di hari kerja dan memakan waktu yang lama dan berjanji akan kembali ke kondisi normal secepatnya.

Sementara Menteri BUMN mengakui adanya serangan siber terhadap sistem PT BSI. Serangan itu yang membuat layanan bank syariah berpelat merah tersebut eror.

"Ada serangan, saya bukan ahlinya, tapi disebutin three point apalah itu, sehingga mereka (BSI) down hampir satu hari kalau tidak salah," ujar Erick Thohir, dilansir Kompas.com di sela-sela KTT ASEAN di Manggarai Barat, Labuan Bajo, Rabu (10/5/2023). 

Di masyarakat beredar kabar, uang mereka direkening BSI berkurang, berpindah ke rekening lainya, sejak aplikasi mobile dan ATM bermasalah Senin (8/5/2023). Menanggapi isu yang beredar ini, Wisnu Sunandar, CEO BSI Regional Aceh, memastikan bahwa seluruh dana, rekening, dan data nasabah BSI aman. 

Ia menjamin bahwa saldo nasabah tidak akan berkurang atau dipindahkan ke rekening manapun, dan mengatakan bahwa laporan tersebut tidak benar.

“Kami pastikan rekening nasabah dan datanya aman, InsyaAllah,” kata Wisnu Sunandar saat dihubungi DIALEKSIS.COM, Kamis (11/5/2023). Menurutnya, pihaknya mengambil langkah-langkah pencegahan yang diperlukan untuk memastikan keamanan data nasabah dan dana mereka. 

“Semua sistem BSI sedang diperiksa dan dites secara menyeluruh, dan BSI berupaya untuk memperbaiki masalah secepat mungkin. Alhamdulillah seluruh layanan kita meningkat, transaksinya, satker-satker sudah bisa mulai narik uang, transaksi untuk kementerian dan dinas-dinas sudah bisa,” ujar Wisnu Sunandar. 

“Saya sudah koordinasi dengan pertamina, dananya sudah efektif dan mereka bisa terima dananya. Kami ingin memberikan jaminan bahwa BSI akan terus bekerja keras untuk memperbaiki masalah tersebut dengan segera dan mengembalikan sistem ke kondisi normal secepat mungkin,” jelasnya.

Kami juga ingin memberikan jaminan kepada nasabah BSI bahwa tidak ada pengalihan dana atau data nasabah ke rekening lain,” lanjutnya.

Soal harapan perbaikan kinerja BSI juga disampaikan Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA dia berharap kepada pihak BSI untuk dapat segera menyelesaikan masalah ini karena berdampak besar terhadap aktivitas perekonomian masyarakat dan dunia usaha.

Muhammad MTA menjelaskan, selain menggunakan Bank Aceh Syariah (BAS), sebagian besar masyarakat dan dunia usaha di Aceh menggunakan BSI setelah terjadinya kebijakan peleburan beberapa bank konvensional menjadi BSI oleh pemerintah. 

Revisi Qanun LKS?

Ketika layanan tidak nyaman dari BSI diterima masyarakat, mulailah bermunculan kembali ide tentang menghadirkan bank konvensional di Aceh. Gagasan itu terus bergulir dan ditiupkan banyak pihak, termasuk pimpinan DPRA.

Hal lain di respon politisi Aceh yang juga mantan anggota DPRA, Kautsar, melihat masalah yang dihadapi rakyat Aceh saat ini terkait macetnya sistem Bank Syariat Indonesia, menurutnya, Pemerintah dan DPR Aceh perlu melakukan terobosan mengevaluasi Qanun Lembaga Keuangan Syariah dengan membenarkan kembalinya Bank Konvensional ke Aceh.

“Pelaksanaan setiap qanun memang perlu diuji secara empiris dan layak untuk dievaluasi dikemudian hari. Jika kemudharatan dari sebuah aturan lebih dominan daripada tujuan kemaslahatan yang sifatnya masih diawang-awang, maka evaluasi adalah hal mutlak,” jelasnya. 

“Qanun adalah aturan manusia yang terbuka sekali kekeliruan dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Bila ada kekeliruan dari sebuah produk, maka mengakui kekeliruan dan memperbaikinya adalah sikap yang bermarwah,” kata Kautsar.

Belajar dari pengalaman ini, sudah selayaknya pemerintah Aceh dan DPRA mengevaluasi qanun tentang Lembaga Keuangan Syariah dan memberikan kesempatan kepada bank konvensional untuk membantu perekonomian rakyat Aceh, pintanya. 

Demikian juga direaksi  Ketua Umum Dewan Pembina Aceh (DPA) Partai Aceh, Muzakir Manaf, dia meminta agar bank konvensional kembali beroperasi di Aceh. 

“Sebaiknya bank konvensional kembali aktif di Aceh. Karena masyarakat sudah resah akibat transaksi perbankan terhenti karena pelayanan BSI terganggu,” ujar Mualem dalam keterangannya, Kamis (11/5/2023).

Mualem juga mendesak agar Pemerintah Aceh dan DPR Aceh segera duduk bersama menyelesaikan masalah ini. Diantaranya ikut mengkaji ulang Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

Bahkan keinginan banyak orang disahuti Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Saiful Bahri dalam keterangnya kepada media menyebutkan, pihaknya akan mengevaluasi regulasi terkait keuangan syariah yang berlaku di Aceh. 

Menurutnya, setelah melihat dampak gangguan sistem Bank Syariah Indonesia (BSI) hampir sepekan ini, sudah saatnya Aceh mengevaluasi ulang regulasi keuangan syariah yang berlaku saat ini.

"Jika Qanun LKS ini direvisi sangat memungkinkan Bank Konvensional akan kembali ke Aceh. Biarlah nanti masyarakat yang memilih mau bank syariah atau konvensional," kata Saiful kepada wartawan dialeksis.com, Kamis (11/5/2023).

Pria yang akrab disapa Pon Yahya ini menilai bahwa kejadian yang terjadi di Aceh akibat gangguan sistem BSI sangat serius dan berdampak luas pada perekonomian masyarakat Aceh. 

Banyak masyarakat yang kesulitan dalam melakukan transaksi keuangan, terutama dalam mengakses dana yang disimpan di bank. Hal ini dapat menyebabkan kerugian finansial bagi masyarakat, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah.

"Di Aceh sangat banyak pengusaha yang terkendala dengan pembayaran karena bank syariah indonesia ini bermasalah," ujarnya. 

Dia mengaku sudah bermusyawarah di DPRA untuk meninjau ulang dan merevisi qanun LKS agar bank konvensional bisa beroperasi kembali di Aceh.Revisi itu merupakan suatu hal yang mendesak, mengingat sejak tidak beroperasi lagi bank konvensional banyak pengusaha hingga masyarakat mengeluh lemahnya layanan bank syariah di Aceh. 

Menurut Saiful, masyarakat berhak memilih layanan perbankan tanpa adanya sekat-sekat. Sehingga nanti masyarakat punya hak merdeka ingin memakai jasa bank apa saja. Pihaknya akan memanggil Pemerintah Aceh untuk membahas yang dialami masyarakat dan revisi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang LKS. 

Berbeda pola pikir mantan wakil ketua DPR RI asal Aceh. Ahmad Farhan Hamid yang sekaligus tokoh Aceh ini tidak sependapat jika Qanun LKS direvisi. Menurutnya, mesti dilakukan kajian yang komprehensif.

"Mesti ada kehadiran 3 pihak yaitu pelaku pengguna jasa perbankan, akademisi, ulama yang bisa menilai tingkat halal haram perbankan," ujarnya kepada Dialeksis.com, Sabtu (13/5/2023).

Kata Farhan, jangan sampai ketika ada masalah langsung bereaksi menggebu-gebu, semua mesti tenang. Kemudian dibahas secara tertutup dulu jangan apa-apa langsung diumumkan ke publik, dampaknya akan menimbulkan masalah dan memalukan diri sendiri.

"Kebijakan publik harus dilakukan secara berhati-hati, cermat, perlu analiasa dan kajian walau agak sedikit terlambat, itu lebih bagus dari pada mengambil kesimpulan dan keputusan yang tergesa-gesa," ucapnya.

Menyangkut masalah layanan BSI saat ini, kata Farhan, ada hal yang perlu diseriuskan termasuk bagaimana arus kas yang keluar dari Aceh itu berapa besar. Fasilitas pelayanan sistem syariah itu bagaimana? 

Beban yang ditanggung oleh pengguna jasa itu berapa besar dibandingkan antara bank syariah dan konvensional. Ada banyak kajian yang perlu dilakukan secara serius, jelasnya.

“Setelah itu baru disimpulkan ujungnya kita harus berbuat apa dan itu harus disepakati semua pihak, baik pemberi/pengguna jasa, dalam Islam juga dikaji walaupun tidak sepenuhnya syariah tapi setidaknya tidak melahirkan mudharat kepada setiap orang," jelas tokoh politikus Aceh ini. 

Sekedar catatan, dari data yang berhasil Dialeksis.com himpun, Triwulan I tahun 2023, pertumbuhan ekonomi Aceh tumbuh sebesar 4,63 %. Meskipun mengalami kenaikan tetapi masih berada dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera (4,79 %).

 Atau, berada dibawah pertumbuhan ekonomi Sumut (4,87 %), Sumbar (4,80 %), Jambi (5,00), Sumsel (5,11 %), Kep Riau (6,51 %), dan Lampung (4,96 %). Masih relatif rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah ini pula menjadi penyebab tingginya angka TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) dan angka kemiskinan di provinsi ini (Data BPS Aceh 5 Agustus 2022)  

Mengutip data laporan perekonomian Provinsi Aceh yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada Triwulan IV Tahun 2022 menunjukkan pertumbuhan total kredit berdasarkan lokasi bank naik sebesar hampir 10,0 %, atau menjadi Rp 34,23 triliun dari sebelumnya Rp 31,91 triliun (Triwulan I 2022).  

Jumlah investasi juga naik dari Rp 2,74 triliun (Triwulan I 2022) menjadi Rp 3,62 triliun). Namun, pertumbuhan modal kerja yang disalurkan oleh perbankan masih minus selama periode setahun terakhir. 

Pada Triwulan I 2022, jumlah modal kerja yang disalurkan perbankan berdasarkan lokasi bank mencapai Rp 7,33 triliun, kemudian turun menjadi hanya sebesar Rp 6,8 triliun pada Triwulan IV 2022. 

Penurunan penyaluran modal kerja ini diperkirakan erat kaitannya dengan pemberlakuan Qanun LKS yang membatasi jumlah perbankan di daerah ini, sehingga terbatasnya akses permodalan perbankan oleh pelaku usaha dan masyarakat.

Menurut laporan Bank Indonesia Agustus 2022, secara spasial, penyaluran pembiayaan/kredit berdasarkan lokasi proyek di Aceh masih belum merata. Hal ini terlihat dari terkonsentrasinya penyaluran pembiayaan pada 5 (lima) Kabupaten/Kota yang mendominasi setengah dari total pembiayaan yang tersalurkan.

 Ke 5 daerah tersebut adalah Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar Rp1,553 T, Kabupaten Aceh Besar Rp0,736 T, Kabupaten Aceh Utara Rp0,764 T, Kabupaten Aceh Tamiang Rp0,544T, dan Kota Langsa Rp0,505 T. Terkonsentrasinya penyaluran pembiayaan di 5 kota/kabupaten ini menjadi indikator bahwa penyaluran pembiayan di Provinsi Aceh masih belum merata. 

Kini, dengan adanya permasalahan yang dialami BSI, wacana untuk menghadirkan kembali bank konvensional di negeri ujung barat Sumatera ini terus menggema, bahkan pimpinan DPRA menyatakan pihak serius akan melakukan revisi qanun LKS.

Hadirkah kembali bank konvensional di Aceh, atau Aceh tetap bertahan dengan bank syariah? Kita ikuti perkembangan, sejarah apalagi nantinya yang akan diukir di negeri Iskanda muda ini. * Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda