Minggu, 19 Oktober 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Masjid dan CSR: Menyatukan Semangat Sosial dan Spiritual

Masjid dan CSR: Menyatukan Semangat Sosial dan Spiritual

Sabtu, 18 Oktober 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Ilustrasi. Masjid dan CSR: Menyatukan Semangat Sosial dan Spiritual. [Foto: Desain diolah AI oleh dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Dialektika - CSR perusahaan kini menjadi perhatian publik, bukan hanya sebagai spirit sosial sebagai kewajiban perusahaan, namun menghadirkan trend baru dalam peningkatan nilai spiritual.

Praktik pengalokasian dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan untuk pembangunan atau rehabilitasi masjid, saat ini menjadi sorotan publik. Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia diketahui mendorong perusahaan menyalurkan dana CSR mereka bagi pembangunan rumah ibadah, khususnya masjid.

Langkah ini menimbulkan beragam tanggapan. Mulai dari dukungan penuh atas dasar kemaslahatan umat, hingga kritik mengenai prioritas dan aturan hukum. Tulisan ini menelusuri fakta kebijakan tersebut, studi kasus di beberapa daerah, serta pro dan kontra yang menyertainya.

Salah satu kasus menonjol datang dari Kabupaten Nagan Raya di Aceh. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nagan Raya secara resmi mengumumkan kebijakan untuk memfokuskan 80% dana CSR/Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSLP) selama periode 2025-2029, guna menyelesaikan pembangunan Masjid Giok sebuah masjid agung ikonik di daerah tersebut.

Bupati Nagan Raya, Teuku Raja Keumangan (TRK), menegaskan bahwa langkah ini diambil sebagai bagian dari komitmen bersama dunia usaha dalam pembangunan daerah berlandaskan nilai spiritual. Adapun sisanya 20% dana CSR akan dialokasikan ke sektor lain sesuai kesepakatan Pemkab dengan pihak perusahaan.

Kebijakan ini sejalan dengan upaya menuntaskan pembangunan Masjid Agung Baitul A’la yang lebih dikenal sebagai Masjid Giok. Masjid berarsitektur perpaduan Aceh, Timur Tengah, dan Asia Tenggara itu telah dibangun sejak 2012 dan hingga tahun 2023.

Pembangunannya baru mencapai sekitar 80%. Masjid Giok dihiasi batu giok asli Aceh dan bahkan sebelum rampung sepenuhnya sudah menjadi ikon wisata religi, menarik kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara terutama saat Ramadan.

Pemkab Nagan Raya menargetkan dalam empat tahun ke depan masjid ini tuntas secara keseluruhan (luar-dalam berlapis batu giok) dengan dukungan penuh dari dana CSR perusahaan. Sejak 2021 hingga 2024, tercatat 24 perusahaan telah menggelontorkan komitmen dana CSR mencapai Rp56 miliar lebih (dengan realisasi sekitar Rp53 miliar) untuk berbagai program di Nagan Raya.

Melalui kebijakan baru, mayoritas dana tersebut hingga 2029 akan difokuskan untuk Masjid Giok. Kebijakan Bupati TRK ini memperoleh dukungan penuh dari DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten) Nagan Raya.

Ketua DPRK Nagan Raya, Mohd. Rizki Ramadhan, menyatakan langkah mengarahkan 80% dana CSR untuk Masjid Giok sebagai kebijakan strategis memperkuat pembangunan bidang keagamaan di daerah.

DPRK menilai inisiatif ini menjadi momentum baik untuk kolaborasi antara pemerintah daerah, legislatif, dan dunia usaha dalam mewujudkan visi pembangunan daerah berlandaskan spiritual.

Para pimpinan dewan berharap pelaksanaan program CSR ke depan lebih terarah dan tepat sasaran, sehingga berdampak nyata bagi masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, maupun pemberdayaan ekonomi seiring dengan prioritas pembangunan masjid tersebut.

Alasan dan Dukungan: Perspektif Ulama dan Akademisi

Di Aceh, yang menerapkan nilai syariat Islam dalam tata kelola sosialnya, rencana penggunaan dana CSR untuk membangun masjid justru dipandang selaras dengan kebutuhan masyarakat. Para tokoh agama dan akademisi di sana membela kebijakan tersebut dan memberikan pemahaman bahwa CSR tidak terbatas pada sektor sekuler semata.

Dr. Nasrul Zaman, akademisi Universitas Syiah Kuala dan pakar kebijakan publik, menegaskan tidak ada satu pun regulasi yang melarang penggunaan dana CSR untuk pembangunan fasilitas keagamaan selama hal itu memberikan manfaat sosial bagi masyarakat.

Menurutnya, membangun masjid dapat menjadi bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan, apalagi masjid di tengah komunitas Muslim memiliki fungsi sosial yang luas.

“Tidak ada larangan dalam regulasi CSR yang menyebut dana tidak boleh digunakan untuk rumah ibadah. Justru, pembangunan masjid merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan, karena masjid bukan hanya tempat beribadah, tapi juga pusat kegiatan sosial, pendidikan, dan pemberdayaan umat,” ujar Nasrul.

Nasrul menjelaskan, bahwa masjid adalah pusat pembelajaran dan aktivitas sosial masyarakat. Dari perspektifnya, CSR hakikatnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial di sekitar operasi perusahaan; maka mendukung fasilitas yang menjadi pusat kehidupan warga jelas merupakan implementasi prinsip tersebut.

Nada dukungan senada disampaikan oleh kalangan ulama. Tgk. H. Faisal Ali, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang akrab disapa Abu Sibreh. Ulama ini menilai keberatan terhadap penggunaan dana CSR untuk masjid merupakan kekeliruan pemahaman atas makna tanggung jawab sosial perusahaan.

Ia menegaskan bahwa pembangunan rumah ibadah adalah bagian penting dari ikhtiar sosial demi kemaslahatan umat.

“Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi pusat kehidupan sosial umat. Di sana orang belajar, berdialog, menyantuni, dan memperkuat persaudaraan. Jika ada perusahaan yang menyalurkan CSR untuk mendukung pembangunan masjid, itu bukan pelanggaran, tapi bagian dari amal sosial yang membawa manfaat luas,” tegas Abu Sibreh.

Dalam sejarah Islam, lanjutnya, masjid selalu menjadi pusat peradaban dan pelayanan masyarakat, sehingga membantu pembangunan masjid berarti ikut menegakkan sendi sosial yang kokoh di tengah masyarakat.

Abu Sibreh pun mengapresiasi langkah Pemkab Nagan Raya mengarahkan dana CSR untuk Masjid Giok yang telah menjadi ikon religius dan destinasi wisata spiritual daerah. Menurutnya, kebijakan itu sejalan dengan semangat syiar Islam dan penguatan moral masyarakat Aceh.

“Apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya patut kita apresiasi. Mereka tidak hanya membangun infrastruktur duniawi, tapi juga memperkuat pondasi spiritual masyarakat. Itu langkah yang bernilai ibadah,” ujarnya.

Asalkan dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, tambah Abu Sibreh, tak ada alasan menolak program CSR untuk masjid, bahkan hal tersebut akan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir bagi semua pihak yang terlibat.

Para pendukung kebijakan ini juga menyebutkan bahwa penyaluran CSR ke pembangunan masjid bukanlah hal baru dan sudah banyak dilakukan perusahaan besar di Indonesia.

“Berbagai perusahaan besar di Indonesia telah menyalurkan CSR untuk pembangunan atau renovasi masjid, seperti PT Pertamina, PT Perkebunan Nusantara IV, hingga Bank BRI, tanpa ada satu pun yang dianggap melanggar regulasi,” papar Dr. Nasrul Zaman, memberikan contoh konkrit bahwa praktik tersebut lumrah dan sah secara hukum.

Bahkan di luar Aceh, banyak BUMN dan perusahaan daerah yang menjadikan pembangunan sarana ibadah sebagai wujud tanggung jawab sosial.

Misalnya, Bank Pembangunan Daerah seperti Bank BJB pernah membantu membangun Masjid Al-Aman di Markas Polda Jawa Barat melalui program CSR pada 2018, dengan harapan meningkatkan kenyamanan ibadah dan ukhuwah Islamiyah masyarakat sekitar.

Contoh lain, Bank Bengkulu secara rutin menyalurkan dana CSR untuk mendukung masjid-masjid di Provinsi Bengkulu. Fakta-fakta ini menguatkan argumen bahwa CSR untuk masjid dipandang positif sebagai kontribusi perusahaan dalam aspek spiritual masyarakat, bukan sekadar materiil.

Kritik dan Kontroversi: Isu Prioritas dan Regulasi

Kendati banyak dukungan, kebijakan mengarahkan CSR untuk pembangunan masjid juga menuai kritik dan perdebatan, khususnya terkait prioritas penggunaan dana sosial dan aspek inklusivitas.

Di Nagan Raya, polemik mulai mencuat setelah salah satu anggota DPRK, Rizki Julianda, secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana penggunaan 80% dana CSR untuk Masjid Giok.

Rizki berpendapat bahwa CSR seharusnya difokuskan pada program pembangunan non-keagamaan seperti pendidikan, kesehatan, atau lingkungan, yang manfaatnya dirasakan lintas golongan.

Menurutnya, penggunaan dana CSR untuk membangun rumah ibadah berpotensi menimbulkan kesan diskriminatif dan melanggar prinsip netralitas sosial.

“CSR itu untuk kepentingan sosial umum, bukan untuk urusan ibadah. Kalau digunakan untuk masjid, bagaimana dengan rumah ibadah agama lain? Ini bisa menimbulkan kecemburuan,” ujarnya mengingatkan.

Pandangan Rizki tersebut mengundang kontra-argumen dari berbagai kalangan. Sebagian masyarakat Aceh menilai kekhawatiran Rizki terlalu sempit dan tidak mencerminkan realitas sosial Aceh yang mayoritas Muslim. Bagi masyarakat setempat, banyak program CSR selama ini memang menyasar sektor-sektor umum, namun peran masjid juga sangat sentral sebagai pusat kegiatan sosial mereka.

Meski demikian, poin yang disoroti Rizki membuka diskusi soal asas keadilan: idealnya CSR perusahaan dapat menyentuh semua elemen masyarakat. Jika mayoritas dana hanya ke satu proyek masjid besar, dikhawatirkan kelompok atau kebutuhan lain menjadi terabaikan. Apalagi, regulasi daerah sebenarnya telah mengatur mekanisme penyaluran CSR.

Di Nagan Raya, misalnya, Qanun (Perda) Nomor 6 Tahun 2019 tentang TJSLP mengatur bahwa penggunaan dana CSR seharusnya diprioritaskan sesuai pemetaan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat setempat, melalui forum koordinasi bersama perusahaan.

Kebijakan Bupati yang langsung mengarahkan porsi dominan CSR ke masjid dinilai sebagian pihak berpotensi bertentangan dengan semangat aturan tersebut, jika tidak disertai pertimbangan hukum yang matang.

Kritik senada diungkapkan organisasi masyarakat sipil yang mengingatkan agar kebijakan CSR tidak ditentukan sepihak sesuai “selera” kepala daerah semata, melainkan harus transparan, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan mempertimbangkan skala prioritas berbagai sektor pembangunan daerah.

Selain itu, skeptisisme muncul terkait efektivitas dan proporsi alokasi dana. Mengarahkan 80% dari total CSR (yang nilainya puluhan miliar rupiah) ke satu proyek masjid dinilai sebagian kalangan terlalu besar dan “naif”.

Selama ini, dana CSR dari perusahaan di Nagan Raya telah berperan dalam berbagai program sosial mulai dari pembangunan infrastruktur dasar, bantuan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, hingga lingkungan hidup.

Mengunci sebagian besar anggaran CSR ke satu sektor dikhawatirkan mengurangi fleksibilitas perusahaan dalam membantu kebutuhan lain yang tak kalah mendesak, seperti penanggulangan kemiskinan atau peningkatan layanan kesehatan.

Namun, pendukung kebijakan menjawab bahwa fokus ini sifatnya sementara hingga masjid rampung; setelah itu CSR dapat kembali menyasar ragam program sosial lainnya.

“Selama puluhan tahun masyarakat sudah merasakan manfaat dana CSR dalam berbagai bentuk program sosial. Sekarang, jika dalam dua tahun ke depan dana itu diarahkan untuk rumah Allah, saya yakin masyarakat akan mendukung penuh,” ujar Cut Man, anggota DPRK Nagan Raya yang mendukung kebijakan Bupati.

Ia menegaskan perusahaan sebaiknya tidak memperdebatkan arahan tersebut. “Jangan ribut-ribut soal CSR. Kalau tidak mau mengikuti arahan Bupati Nagan Raya untuk mengalokasikan dana CSR bagi pembangunan Masjid Giok, lebih baik angkat kaki dari bumi nenek moyang kami,” kata Cut Man.

Dia dengan nada keras memperingatkan agar seluruh perusahaan patuh pada kebijakan demi kepentingan umat. Pernyataan ekstrem ini menunjukkan kuatnya dukungan politis dan kultural di tingkat lokal terhadap pembangunan Masjid Giok, meskipun menimbulkan kekhawatiran di sisi pelaku usaha.

Di tengah pro-kontra tersebut, para ahli kembali mengingatkan esensi dari CSR dan koridor yang harus dijaga. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kata kunci.

 “Yang salah bukan penggunaan CSR untuk masjid, tapi kalau pelaksanaannya tidak transparan dan tanpa akuntabilitas. Jadi jangan salah alamat (menyalahkan tujuan pembangunannya),” tegas Dr. Nasrul Zaman.

Artinya, apabila memang dana CSR dialihkan untuk membangun masjid, perencanaan dan pengelolaannya harus terbuka serta melibatkan pengawasan bersama, agar tidak terjadi penyelewengan atau sekadar pencitraan politik.

Dengan memahami substansi kebijakan secara utuh, diharapkan tujuan mulia dari CSR -- yakni membangun nilai dan kesejahteraan publik - tetap tercapai tanpa memicu konflik atau kecemburuan sosial yang tak perlu.

Praktik Serupa di Daerah Lain

Fenomena pemerintah daerah mengarahkan CSR untuk masjid tidak hanya terjadi di Aceh. Di Provinsi Bengkulu, misalnya, pemerintah daerah berkolaborasi dengan bank daerah untuk membantu rumah ibadah.

Pemerintah Kabupaten Mukomuko pada tahun 2024 menerima dana CSR dari Bank Bengkulu sebesar Rp400 juta, dan Rp300 juta diantaranya dialokasikan khusus untuk mendukung pembangunan masjid di berbagai kecamatan.

Dana tersebut kemudian disalurkan kepada 15 masjid melalui kegiatan Safari Ramadhan yang dipimpin bupati dan wakil bupati, di mana setiap kecamatan menerima bantuan untuk satu atau dua masjid di wilayahnya.

Pola ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat berperan sebagai penyalur CSR ke unit-unit keagamaan tingkat lokal secara merata, terutama pada momen tertentu seperti bulan Ramadan.

 Tak hanya itu, Pemerintah Kota Bengkulu juga aktif menggandeng BUMN/BUMD menyalurkan CSR guna rehabilitasi masjid dan musala - tercatat puluhan rumah ibadah skala kelurahan mendapatkan bantuan melalui program tersebut hingga tahun 2025.

Di Pulau Jawa, Pemerintah Kota Depok pernah mendorong warga memanfaatkan dana CSR perusahaan untuk pembangunan masjid. Wali Kota Depok Mohammad Idris menjelaskan bahwa selain dana hibah APBD, CSR perusahaan merupakan salah satu sumber pendanaan yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk pembangunan infrastruktur termasuk masjid.

Pemerinta kota mempersilakan panitia pembangunan masjid mengajukan proposal bantuan CSR melalui Pemkot, yang nantinya akan dimediasi oleh Bagian Kesejahteraan Sosial ke perusahaan-perusahaan di wilayah Depok.

Kebijakan fasilitatif semacam ini menunjukkan bahwa secara umum pemerintah mendukung penyaluran CSR ke sarana keagamaan, selama prosedurnya tepat. Pemerintah daerah lain, seperti Kabupaten Bengkulu Tengah, bahkan memiliki program “Makmurkan Rumah Ibadah” di mana bank daerah menyerahkan rutin bantuan CSR untuk sejumlah masjid setiap tahun.

Dukungan formal pemerintah ini menjadi sinyal bahwa pembangunan masjid dianggap layak dan penting untuk dibantu melalui skema CSR, seiring dengan proyek sosial lainnya.

Namun, setiap daerah tentunya memiliki kearifan lokal dan komposisi masyarakat berbeda. Di wilayah dengan keragaman agama tinggi, penyaluran CSR mungkin lebih sensitif jika difokuskan hanya pada satu agama tertentu. Karena itu, pendekatan kebijakan perlu disesuaikan kondisi sosial setempat.

Di Aceh yang hampir seluruh penduduknya Muslim, alokasi CSR untuk masjid besar memperoleh legitimasi kuat secara sosial-budaya. Sementara di daerah yang plural, pemerintah cenderung mendorong CSR ke bidang umum (kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi) atau memastikan proporsionalitas antar kelompok dalam bantuan keagamaan.

Evaluasi: Menjaga Niat dan Tata Kelola

Kebijakan pemerintah mengalokasikan dana CSR bagi pembangunan atau rehabilitasi masjid pada dasarnya lahir dari niat untuk membantu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat melalui kemitraan dengan dunia usaha.

Di banyak kasus nyata, seperti di Nagan Raya dan Mukomuko, kebijakan ini mendapat sambutan positif dan dianggap sejalan dengan semangat tanggung jawab sosial yang holistik - tidak hanya fisik material, tapi juga mental spiritual.

Dukungan dari tokoh agama, legislator, hingga warga biasa menunjukkan bahwa pembangunan rumah ibadah dipandang sebagai investasi sosial jangka panjang yang akan mengokohkan moral dan kohesi komunitas.

Meski demikian, implementasi kebijakan ini harus dikelola secara hati-hati. Pemerintah perlu memastikan tidak ada pihak yang merasa terpinggirkan dan bahwa penggunaan dana CSR tetap sesuai koridor hukum.

Prinsip inklusivitas hendaknya dijaga, misalnya dengan tetap menyediakan porsi CSR untuk program sosial lainnya di samping proyek masjid, atau dengan mendorong perusahaan juga membantu rumah ibadah agama lain apabila relevan dengan demografi setempat.

Transparansi dalam perencanaan hingga penyerapan anggaran sangat krusial agar tujuan mulia ini tidak tercoreng penyimpangan. Seperti diingatkan para pakar, CSR bukan sekadar kewajiban administratif perusahaan, melainkan amanah moral.

Oleh karena itu, ketika dana CSR digunakan untuk membangun masjid, yang dibangun bukan hanya fisik bangunannya, tetapi juga nilai - nilai sosial, kebersamaan, dan kebermanfaatan umat.

Selama niat baik ini dijaga dan tata kelolanya profesional, kontribusi CSR untuk masjid dapat menjadi model sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam membangun peradaban yang seimbang antara aspek material dan spiritual.

Pada akhirnya, polemik seputar kebijakan CSR untuk masjid menyadarkan semua pihak agar kembali ke substansi: bahwa tanggung jawab sosial adalah tentang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Perdebatan perlu diarahkan untuk mengawasi bagaimana program dijalankan, bukan semata apa objek pembangunannya.

Jika transparansi, akuntabilitas, dan dialog lintas pemangku kepentingan dijunjung tinggi, maka bantuan perusahaan untuk rumah ibadah dapat diterima sebagai ekspresi tanggung jawab moral bersama, alih-alih dianggap sebagai isu sektarian.

Sebagai catatan, ketika niat baik dunia usaha bertemu dukungan pemerintah dan kebutuhan masyarakat, hasilnya bukan hanya bangunan masjid yang berdiri megah, melainkan juga terbangunnya nilai-nilai kebajikan yang akan diwariskan lintas generasi. [ra]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI