Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / RAPBA 2018 Diujung Tanduk

RAPBA 2018 Diujung Tanduk

Sabtu, 20 Januari 2018 16:07 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : arniv


DIALEKSIS.COM| Banda Aceh -  DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) dan Pemerintah Aceh sampai saat ini belum menemukan kata sepakat soal Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) Imbasnya dana APBA Rp 14,7 triliun itu belum disahkan.


Banyak faktor menganjal pengesahan anggaran Aceh tersebut. Di antaranya, karena DPRA hanya fokus pada dana aspirasi dewan sebesar Rp 1,7 triliun yang dialokasikan dari total APBA.

Mencermati dinamika polemik RAPBA 2018, wartawan dialeksis.com mencoba menelusuri dan menurunkan dalam laporan berikut

=================================================================================================

 Berkait silang pendapat soal APBA, Wakil Ketua DPRA  Irwan Djohan sebagaimana pernyataannya kepada pers, bahwa penyebab utama rancangan APBA 2018 menjadi tersendat, dikarenakan akibat dari 81 anggota DPRA hari demi hari, detik demi detik, jam demi jam, hanya terfokus pada 1,7 triliun. (Serambinews.com).

Anggota dewan fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) itu mengaku, selama ini anggota DPRA hanya sibuk dengan dana yang dianggarkan untuk aspirasi dewan sebesar Rp 1,7 triliun. Mirisnya, seperti diungkapkan salah seorang anggota legislatif, para anggota DPRA menginginkan dana aspirasi tersebut sebagai hibah yang diakomondir tanpa harus melalui mekanisme tertentu Itu. kemudian gubernur Aceh Irwandi Yusuf, menolak usulan dewan itu. Karena bila dana aspirasi tidak jelas nomenklaturnya. Sama saja membuat perangkap agar Irwandi berkasus hukum karena telah menyetujui.

Gubernur Irwandi minta dana aspirasi itu diproses sesuai mekanisme dan aturan perundang-undangan. Oleh karena itu,  pihak pemeritntah Aceh mengeluarkan SOP (standar operasional prosedur) tentang Desk Pembahasan Kegiatan Usulan Masyarakat 2018.

 Dalam SOP sudah ditentukan dan dibagi mana usulan yang boleh dan mana yang dilarang. Untuk usulan yang dtandai dengan status "hijau" dibolehkan. Sedangkan usulan yang dilarang diberi status "merah". Misal, usulan infrastruktur yang berstatus "hijau, di antaranya jalan, jembatan, irigasi, drainase, masjid, rumah dhuafa, sumur bor, dan lain-lain. Tentu saja, dapat dilaksanakan dengan mengajukan terlebih dahulu proposal dengan ketentuan yang mengikat secara aturan.

 Sementara, sulan berstatus "merah" atau yang tidak dibolehkan, seperti dana aspirasi (hibah) yang digunakan modal usaha, pengadaan buku, bantuan pendidikan perorangan, teratak, publikasi (pariwara), dan kendaraan bermotor. Inilah kemudian telah memicu polemic, karena ternyata hamper semua progam yang diusul anggota DPRA itu berstatus "merah".

Berkait dengan silang pendapat antara legislatif dan eksikutif itu, Jubir Pemerintah, Saifullah Abdulgani yang ditanyai dialeksis.com, menjelaskan keluarnya SOP usulan kegiatan masyarakat tahun 2018, bukan berdiri sendiri. Semua itu dirumuskan dengan merujuk terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia N0. 14 tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD atau APBA. "Jadi, ini bukan aturan baru dan tidak  berdiri sendiri," ujar Saifullah.

Saifullah Abdul Gani, Jubir Pemerintah AcehSaifullah Abdul Gani, Jubir Pemerintah Aceh

Dijelaskan, dalam Pasal 4 ayat 1 pemerintah daerah dapat memberikan hibah sesuai kemampuan keuangan daerah. Hal itu diperkuat dengan ketentuan dalam  ayat 2, yang  menegaskan pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib.

Pemerhati politik dan hukum, Erlanda, menilai polemik APBA 2018 antara dewan dan pemerintah Aceh, sulit dituntaskan bila kedua pihak hanya mementingkan dirinya tanpa melihat kepentingan rakyat. "Ego masing-masing masih leboh menonjol dan mengesampingkan kepentingan rakyat dan pembangunan, maka ini sulit bisa dicari solusi," papar Erlanda.

Seharusnya, kata Erlanda, kedua pihak (legislativ dan eksikutif) tidak terus mementingkan kelompoknya, sementara abai atas kepentingan dan nasib rakyat Aceh. Sebab akibat egostis para elit politik telah menghambat  roda perekonomian Apalagi selama ini hampir semua sector pembangunan harus bergantung dari sumber dana APBA.

Hal senada diungkapkan Bupati Abdya Akmal Ibrahim melalui akun facebook-nya (Senin 15 Januari 2018).  Akmal menulis, Aceh satu-satunya propinsi yang belum siap APBD-nya di Indonesia, salah satu propinsi termiskin di Sumatera, dan satu-satunya propinsi yg dapat Otsus, juga di Sumatera. Kontras sekali.

Akmal menulis, bahwa hal tersulit bagi seorang pemimpin adalah mengambil keputusan. Kadang dia harus mendengar banyak kalangan. Tapi kadang dia juga harus mengunci telinga demi menyelamatkan kepentingan umum. Dengan kondisi saat ini, mestinya sudah tak ada yang harus didengar; APBA sudah Pergub.




Gubernur dapat Membuat Pergub

Jika APBA tidak disahkan DPRA, maka gubernur boleh saja membuat Peraturan Guberur (Pergub). Peluang itu  terbuka lebar. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 20 Ayat (6) disebutkan, APBA sebagai perwujudan dari penyelenggaraan otonomi daerah, mengharuskan pengelolaan APBA oleh Kepala Daerah (baca: Gubernur) dan DPRD dilakukan secara tranparan, efektif, efisien dan akuntabel serta tertib dan taat terhadap peraturan perundang-undangan.

Artinya, bila  DPRA tidak menyetujui Raqan APBA yang diajukan Gubernur, maka untuk membiayai pembangunan pada tahun yang direncanakan, Gubernur dibolehkan melakukan pengeluaran setiap bulannya sebesar angka (pagu) APBA tahun sebelumnya.

APBD merupakan sumber pendanaan utama bagi pelaksanaan pembangunan di daerah. Karenanya, penetapan dan pengesahan Ranperda APBA jangan sampai tertunda/ berhenti hanya karena kebuntuan (deadlock) dalam pengambilan keputusan politik di DPRA.

Menurut kajian Jaringan Survei Inisiatif (JSI), berkait kandasnya APBA, dapat diantisipasi dengan merujuk pada UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi UU.

Secara rinci diatur mengenai pemberlakuan pagu APBD tahun sebelumnya yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang APBD sebagai akibat dari adanya keputusan DPRD yang tidak menyetujui Ranperda APBD yang diajukan oleh kepala daerah.

Sebagaiaman dijelaskan juru bicara Pemerintah Aceh, Wiratmadinata, mempercepat pengesahan APBA 2018 terus diupayakan antara Pemerintah Aceh dan DPRA.

Prinsipnya, kata Wiratmadinata, bagaimana agar program-program prioritas Pembangunan Aceh pada tahun 2018 dapat dikejar sesuai target.  Pihak pemerintah terus berkoordinasi dengan DPRA  seuai fungsi anggaran (budgetting). Pemerintah Aceh juga berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bina Anggaran Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri di Jakarta.


Wiratmadinata, Jubir Pemerintah AcehWiratmadinata, Jubir Pemerintah Aceh
Menurut  Wira, pemerintah Aceh dan DPRA telah melakukan pertemuan. Intinya, bahwa Aceh harus secepat mungkin melakukan pengesahan RAPBA menjadi APBA-2018 yang ideal. Ideal dimaksud adalah sesuai dengan regulasi yang ada.

Diakui, melihat kondisi dimana sampai saat ini RAPBA yang telah diserahkan oleh pihak Eksekutif kepada Legislatif pada 4 Desember 2017 lalu belum dibahas oleh DPRA, (karena dikembalikan pada hari yang sama tanpa persetujuan), maka terhitung sejak saat itu, sebelum 60 hari harus sudah disahkan menjadi APBA-2018.

"Artinya deadline dari pengesahan RAPBA-2018 adalah 5 Pebruari 2018. Jika melewati batas waktu itu maka kemungkinan harus disahkan melalui Pergub. Pada dasarnya Pergub bukanlah opsi, melainkan konsekuensi dari lewatnya waktu pembahasan yang normal menurut Undang-undang," papar jubir pem pemerintah Aceh itu.

Sebagaimana diketahui, keterlambatan APBA akan telah berdampak pada pemberian sanksi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2017 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggara pemerintah daerah.

"Pasal 36 ayat 2 huruf o dijelaskan kepala daerah dan anggota DPRA/DPRD yang tidak menyetujui bersama rancangan peraturan daerah tentang APBA/APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun. Kemudian dalam Pasal 37 ayat 4 tentang jenis sanksi bagi gubernur/wagub dan DPRA (DPRD) yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi, mulai teguran tertulis, tidak dibayarkan hak keuangan selama tiga bulan, tidak dibayarkan hak keuangan selama enam bulan, pemberhentian sementara dan pemberhentian," jelas Askhalani seperti dilansir AJNN.

Menurut Askhalani, bila ketentuan itu diberlakukan, Aceh mengalami fase kemunduran dalam mendorong kinerja pemerintahan yang efektif dan efisien. Padahal seharusnya di tahun pertama pemerintahan baru, penetapan APBA harus menjadi indikator yang lebih cepat yaitu tepat waktu.

Tentu saja Kemendagri tidak tinggal diam.  Karena ini menyangkut kebutuhan public, masih bergantungnya rakyat Aceh pada belanja pemerintah. Bersama dengan  provinsi lain, akan dilakukan koordinasi percepatan pengesahan anggaran APBA/D pada 23 Januari 2018 di Jakarta. Ultimatum yang menentukan nasib Rancangan APBA** [ ]



Keyword:


Editor :
HARIS M

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda