Selasa, 23 Desember 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Rektor di Aceh Mendesak Keterlibatan NGO Asing untuk Percepatan Rehab Rekon Pascabencana

Rektor di Aceh Mendesak Keterlibatan NGO Asing untuk Percepatan Rehab Rekon Pascabencana

Selasa, 23 Desember 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Rektor Universitas Malikussaleh, Prof. Dr. Ir. Herman Fithra (kanan atas); Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Marwan (kiri atas); Rektor Universitas Teuku Umar, Prof. Dr. Ishak Hasan (kanan bawah); dan Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Mujiburrahman (kiri bawah). [Foto: kolase/dok. dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Banjir bandang yang melanda Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang pada akhir November 2025 meninggalkan dampak kemanusiaan dan ekonomi yang sangat luas. Infrastruktur dasar rusak, lahan pertanian terendam, dan ratusan ribu warga kehilangan ruang hidupnya. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 22 Desember 2025 mencatat sebanyak 481 orang meninggal dunia, 32 orang dinyatakan hilang, serta sekitar 375.483 jiwa terpaksa mengungsi. Di sektor pertanian, lebih dari 90 ribu hektare sawah terendam, dengan estimasi kerugian mencapai Rp1,164 triliun.

Skala bencana yang masif ini mendorong munculnya kesadaran bahwa pemulihan Aceh tidak dapat dilakukan secara parsial dan konvensional. Rehabilitasi dan rekonstruksi membutuhkan dukungan lintas sektor, lintas wilayah, bahkan lintas negara. Dalam konteks tersebut, Pemerintah Aceh secara resmi membuka akses keterlibatan lembaga kemanusiaan internasional untuk mempercepat proses pemulihan pascabencana.

Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, menegaskan bahwa bantuan internasional untuk penanganan bencana di Sumatera, termasuk Aceh, telah dibuka secara resmi. Menurutnya, keterlibatan organisasi kemanusiaan asing diharapkan dapat menghadirkan sumber daya, keahlian, serta pengalaman global yang selama ini terbukti efektif dalam penanganan bencana berskala besar. Meski demikian, ia menekankan bahwa seluruh aktivitas bantuan wajib dilaporkan kepada BNPB dan BPBA sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi. Selain itu, seluruh program pemulihan harus selaras dengan dokumen Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana (R3P) Aceh yang tengah disusun, agar pemulihan berjalan sejalan dengan arah pembangunan jangka panjang daerah.

Kebijakan ini mendapat dukungan kuat dari kalangan akademisi Aceh saat Dialeksis menghubungi satu persatu, Selasa (23/12/2025). Para rektor perguruan tinggi negeri di provinsi ini memandang keterlibatan NGO internasional bukan sekadar opsi darurat, melainkan strategi penting untuk memastikan pemulihan Aceh berlangsung cepat, tepat, dan berkelanjutan.

Dimulai dari pandangan Rektor Universitas Malikussaleh, Prof. Dr. Ir. Herman Fithra, menilai bahwa skala kerusakan pascabanjir menuntut pendekatan berbasis ilmu pengetahuan dan tata kelola risiko yang matang.

Menurutnya, organisasi internasional seperti UNDP, Save The Children, UNESCO, FAO, WHO, Islamic Relief, Mercy, IOM dll. memiliki rekam jejak panjang dalam penanganan pascabencana di berbagai negara. Pengalaman tersebut, kata dia, sangat relevan untuk diterapkan di Aceh, terutama dalam pembangunan infrastruktur tahan bencana, pemulihan sosial-ekonomi masyarakat, serta penguatan sistem pendidikan dan kesehatan.

Ia menegaskan bahwa fase rehabilitasi harus dijadikan momentum koreksi arah pembangunan agar tidak kembali pada pola lama yang rentan terhadap bencana. Dalam hal ini, Universitas Malikussaleh siap berkontribusi melalui penyediaan data spasial, riset hidrologi, dan kajian tata ruang berbasis risiko iklim sebagai rujukan kebijakan pemerintah pusat.

Fakta di lapangan, sebagaimana disampaikan rektor ternama tersebut, menunjukkan bahwa bencana banjir bandang dan longsor telah meluluhlantakkan Pidie Jaya, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara. Infrastruktur vital seperti jaringan irigasi, jembatan, jalan, sekolah, puskesmas, kantor layanan publik, hingga permukiman warga mengalami kerusakan parah.

“Dampaknya tidak berhenti pada kerusakan fisik. Lapangan pekerjaan hilang, aktivitas UMKM terhenti, sektor peternakan lumpuh, dan areal persawahan rusak berat. Kondisi ini memperparah tekanan sosial-ekonomi masyarakat yang sebelumnya sudah rentan,” ungkapnya.

Karena itu, menurutnya, seluruh pihak termasuk kehadiran NGO asing dan mitra internasional yang memiliki hati nurani serta kepedulian kemanusiaan sudah semestinya terlibat membantu Aceh pascabencana. Bantuan tersebut diperlukan semata-mata atas dasar kemanusiaan. Tanpa dukungan dari komunitas global, Aceh dikhawatirkan akan semakin tertinggal, sementara angka kemiskinan berpotensi meningkat secara signifikan.

Pandangan serupa disampaikan Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Marwan. Ia menilai bencana banjir Aceh sebagai sinyal kuat bahwa pendekatan sektoral tidak lagi memadai. Rekonstruksi, menurutnya, harus dilakukan secara holistik dengan mengintegrasikan aspek fisik, sosial, budaya, dan lingkungan secara simultan.

Ia mengingatkan bahwa pemulihan tidak boleh berhenti pada pembangunan kembali jalan dan jembatan, tetapi juga harus mencakup pemulihan pendidikan, pelestarian warisan budaya, serta penguatan ketahanan sosial masyarakat.

Dalam konteks ini, peran mitra internasional menjadi strategis. Universitas Syiah Kuala, kata Prof Marwan, siap memimpin konsorsium riset mitigasi bencana dan perubahan iklim yang terhubung dengan jejaring internasional, sehingga kebijakan rehabilitasi tidak bersifat reaktif, melainkan berbasis bukti ilmiah dan proyeksi risiko jangka panjang.

Prinsipnya menurut Prof Marwan, "kita mengajak berbagai pihak agar bisa membantu percepatan pemulihan pasca bencana. pihak bisa termasuk swadaya masyarakat, organisasi non pemerintahan dan perguruan tinggi."

“Keterlibatan organisasi non pemerintahan asal luar negeri diutamakan yang juga memiliki base di Indonesia, memiliki reputasi yang baik dan dapat ditempuh oleh masyarakat Aceh. Agar semua sinergis, proses pemulihan, rehab dan rekon harus dikelola terkoordinasi oleh badan dibawah pemerihtah pusat,” tegasnya.

Sementara itu, Rektor Universitas Teuku Umar, Prof. Dr. Ishak Hasan, menekankan pentingnya memastikan bahwa proses rehabilitasi benar-benar menyentuh akar persoalan masyarakat terdampak. Ia mengingatkan bahwa keterlibatan NGO asing harus diarahkan untuk memperkuat kapasitas lokal, bukan menggantikannya.

Menurutnya, peran lembaga seperti Save the Children sangat penting dalam perlindungan dan pemulihan psikososial anak-anak korban banjir, sementara UNDP dapat mendukung pembangunan fasilitas publik yang adaptif terhadap bencana. Namun, ia menegaskan bahwa masyarakat lokal harus diposisikan sebagai subjek pembangunan.

Ia bahkan mendorong agar Aceh dijadikan laboratorium nasional rehabilitasi berbasis partisipasi masyarakat dan teknologi tepat guna, dengan melibatkan mahasiswa dan akademisi secara sistematis dalam pendampingan desa dan pemetaan risiko.

Dimensi etika dan akuntabilitas turut menjadi sorotan Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Mujiburrahman. Ia menilai solidaritas global yang hadir ke Aceh harus dikelola secara transparan agar kepercayaan publik tetap terjaga.

Menurutnya, seluruh bantuan internasional harus terintegrasi dalam R3P Aceh dengan mekanisme pengawasan yang jelas dan terbuka, sehingga benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat terdampak.

Lebih jauh, ia mengingatkan pentingnya memperkuat modal sosial dan nilai-nilai lokal dalam proses rekonstruksi, termasuk peran lembaga keagamaan dan komunitas adat. Pengalaman Aceh, kata dia, dapat menjadi model nasional pengelolaan bantuan internasional yang efektif secara teknis sekaligus berkelanjutan secara sosial dan moral.

Pandangan para rektor tersebut memperlihatkan satu benang merah yang kuat: rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh membutuhkan kepemimpinan kebijakan yang tegas, kolaborasi internasional yang terarah, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan sebagai fondasi pengambilan keputusan. Bagi pemerintah pusat, suara akademisi ini menjadi pengingat bahwa bencana bukan semata krisis kemanusiaan, melainkan juga momentum untuk memperbaiki paradigma pembangunan nasional menuju ketahanan jangka panjang.

Dengan sinergi antara Pemerintah Aceh, NGO internasional, dan institusi pendidikan, proses pemulihan pascabanjir diharapkan tidak hanya berlangsung lebih cepat, tetapi juga lebih adil, berkelanjutan, dan tahan terhadap risiko bencana di masa depan. Aceh, sekali lagi, berpeluang menjadi rujukan nasional dalam membangun kembali wilayah terdampak bencana dengan pendekatan kolaboratif dan berbasis pengetahuan. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI