Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Usai Lewati Berbagai Sidang, MK Putuskan Tak Terima Judicial Review UU Otsus Papua

Usai Lewati Berbagai Sidang, MK Putuskan Tak Terima Judicial Review UU Otsus Papua

Kamis, 01 September 2022 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Sejumlah mahasiswa Papua melakukan aksi penolakan perpanjangan otonomi khusus (Otsus) Papua Jilid II di depan gedung Kementerian Dalam Negeri, Rabu (24/2/2021). [Foto: tirto.id/Andrey Gromico]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Setelah melewati proses yang begitu lama, akhirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memutuskan perkara gugatan judicial review terhadap uji materi Undang-undang No.2/2021 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. 

MK memutuskan tak menerima gugatan tersebut dikarenakan pengaju/pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review.

Selain itu, berdasarkan salinan putusan MK sebagaimana diterima repoter Dialeksis.com, MK berpendapat bahwa pokok permohonan yang diajukan tidak beralasan menurut hukum.

Sepanjang pengujian Pasal, MK juga menyatakan tak menerima gugatan bahkan menolak pengujian pemohon selain dan selebihnya.  

Di samping itu, MK menyebut pengaju/pemohon tak mampu menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional, baik yang bersifat aktual, spesifik, atau setidaknya memiliki causalitas (sebab-akibat).

Konklusi putusan MK terhadap permohonan uji materi UU Otsus Papua. [Foto: Tangkapan Layar]

"Pemohon tidak memenuhi persyaratan untuk diberi kedudukan hukum sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam pengujian pasal a quo," ucap majelis sebagaimana diwartakan oleh jurnalis Detikcom, .

Kilas Balik Sidang Perdana

Judicial review terhadap UU Otsus Papua diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua MRP) dan juga Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debore Mote Wakil (Ketua II). Pengajuan pengujian yudisial ini tercatat dalam Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai Orang Asli Papua (OAP).  

Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, Timotius Murib mengatakan, Pemohon mengajukan permohonan tersebut karena telah mencermati perubahan UU Otsus Papua karena terdapat adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). 

Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.

Selain itu, Timotius menyebut, dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua. 

“Oleh karenanya Majelis Rakyat Papua merasa tindakan pemerintah pusat tersebut telah melanggar konstitusi Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” paparnya.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’.

“Menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Berikutnya, menyatakan norma Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai usulan perubahan undang-undang ini wajib diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP,” papar Stefanus Roy Rening selaku kuasa hukum.

Nasihat Hakim dalam Sidang Perdana

Terkait permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat sebagai Anggota Panel meminta agar Pemohon menyederhanakan dan meringkas permohonannya. Selain itu, ia meminta agar Pemohon memperjelas objek permohonannya.

“Ini objek permohonannya ada beberapa yang perlu disempurnakan atau diperbaiki. Dalam bacaan saya, dalam permohonan ini tidak konsisten menyebut dari awal sampai akhir bagian mana yang diujikan dalam permohonan ini,” ujar Arief.

“Apakah itu pasal, apakah itu ayat, apakah itu frasa? Coba secara konsisten supaya tadi meskipun masih susah dimengerti, tapi Mahkamah kadang-kadang masih dapat dimengerti apa yang hakikatnya diinginkan oleh Pemohon. Tapi kalau sampai tidak bisa dimengerti, kemudian (Mahkamah) berkesimpulan bahwa permohonan ini kabur,” tambah Arief.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum yang dinilainya belum dicantumkan dasar hukumnya dalam permohonan.

“Pertanyaan saya juga sama nanti untuk mempertegas, apa dasar hukumnya? Apa yang menguatkan mereka bisa mewakili keberadaan kelembagaan MRP tersebut untuk maju di depan forum pengadilan, di dalam dan luar pengadilan? Apa dasarnya yang menguatkan itu? Karena dalam undang-undang tidak ada, itu harus ada dasar yang kuat untuk menunjukkan itu,” jelas Enny.

Ketua Panel Hakim Aswanto memberi waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan tersebut diterima Kepaniteraan MK selambatnya pada 5 Oktober 2021.

Warga Papua Tolak Otsus Jilid Dua, Kenapa?

Dilansir dari sumber jubi.co.id dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Volunter di LBH Kaki Ibu, Johan Djamanmona mengatakan, otsus belum menjadi jawaban bagi persoalan Papua sehingga jawaban dari alasan kenapa otsus ditolak dikarenakan tidak memberi manfaat bagi orang asli Papua.

Ia mengatakan, dana yang awalnya ditunjukkan untuk memberdayakan orang Papua malah dinikmati oleh segelintir orang, sedangkan masyarakat yang membutuhkan dana tesebut tidak pernah merasakan ataupun menikmatinya.

“Memang itulah masalah utama yang menjadi alasan rakyat Papua lewat para generasi mudanya menyatakan penolakan terhadap otsus. Mereka menilai dana otsus hanya dinikmati oleh segelintir orang, bukan dinikmati oleh seluruh rakyat Papua,” tulis Djamanmona di laman jubi.co.id.

Di samping itu, dengan menimbang konsideran yang menjadi dasar pertimbangan UU Otsus dibuat bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia bagi rakyat Papua.

Yang terjadi selama ini, kata dia, orang Papua yang menjadi korban pelanggaran HAM, korban diskriminasi dan korban kriminalisasi tidak dilihat sebagai sebuah masalah untuk diselesaikan. 

Tetapi semua kebijakan tergantung pemerintah pusat, pertimbangan yang disebutkan dalam UU Otsus pun belum menjadi hal prioritas bagi pemerintah Indonesia, sehingga pemberian dana dan pembangunan infrastruktur yang selalu dijadikan sebagai solusi, padahal bukan itu yang diinginkan rakyat Papua. 

“Yang diinginkan rakyat Papua adalah bentuk penghargaan yang sebenarnya kepada orang Papua,” pungkasnya. [Akh]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda