Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Wali Nanggroe Isi Kuliah Umum di UII: Jelaskan Narasi Peta Konflik Aceh hingga Damai

Wali Nanggroe Isi Kuliah Umum di UII: Jelaskan Narasi Peta Konflik Aceh hingga Damai

Kamis, 29 September 2022 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud Al Haythar saat mengisi kuliah umum dengan tema "Pathway to Peace: Lesson Learned from Aceh" pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII), Rabu, (28/9/2022). [Foto: Tangkapan layar]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wali Nanggroe Aceh, Paduka yang Mulia Teungku Malik Mahmud Al Haythar mengungkapkan faktor utama terjadinya konflik Aceh kala itu disebabkan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Aceh. 

“Aceh mengalami konflik selama 29 tahun dari 1976-2005, pemerintah Indonesia selama orde baru tidak mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat Aceh, padahal Aceh modal kemerdekaan negara Republik Indonesia,” jelasnya dalam kuliah umum Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Rabu, (28/9/2022).

Konflik di Aceh 33 tahun lalu, menurut penelitian terdapat 35 ribu korban yang tewas karena disiksa dan dianiaya. Konflik di Aceh itu memang banyak mendapatkan perhatian dunia hingga akhirnya sudah berdamai.  

Mantan Perdana Menteri GAM itu mengatakan, pasca Indonesia merdeka, Aceh tidak dapat dikuasai kembali oleh Belanda, setelah Jepang menyerah dan Belanda diusir. 

Aceh yang kaya SDA, adat istiadat, sosial budaya dan ajaran Islam telah dieksploitasi dan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Indonesia ketika itu. 

Mengapa Aceh menuntut kemerdekaan dari Pemerintah Indonesia? 

Wali menjelaskan, dikarenakan keadaan politik, ekonomi dan sosial di Aceh sejak tahun 1945-1976 berada dalam kondisi memprihatinkan. 

Seperti, jalan penghubung antar Kota di Aceh yang dibangun oleh Belanda sebagian besar rusak dan tidak diaspal. Kemudian, kesehatan masyarakat cukup menyedihkan terutama anak anak umur 10-15 tahun, banyak yang menderita penyakit mata putih dan tidak mendapat perawatan apapun. 

“ Saya menanyakan kepada Orangtua, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit? Mereka menjawab, karena keterbatasan ekonomi dan ketika di rumah sakit belum tentu mendapat perawatan langsung,” jelasnya. 

Hal-hal demikian menjadi penyebab pemberontakan masyarakat Aceh dengan pemerintah Indonesia kata itu. 

Selain itu, kata Wali Nanggroe, masa orde baru membuat kebijakan terhadap hukum adat Aceh dalam kondisi degradasi sehingga Aceh tidak dapat mengatur masyarakatnya menjadi lebih baik. 

Di zaman orde baru, politik telah menyebar di seluruh indonesia, adat Aceh hilang diganti dengan kehadiran tokoh-tokoh politik. Jadi kedekatan masyarakat gampong dengan tokoh masyarakat yang dipercayai dan yang peduli masalah rakyatnya tidak berlaku lagi, terjadi keruntuhan moral. 

Selanjutnya, karena urusan hutan belantara Aceh, hutan di Aceh terdapat gajah harimau sumatera, badak dan satwa liar lainnya dalam keadaan bahaya, karena hutan Aceh mulai dirambah untuk perkebunan sawit. Sedangkan waktu itu, hutan Kalimantan dan lainnya sedang gencar dirambah termasuk kekayaan mineralnya.  

“Untuk itu, kami khawatir hal demikian akan terjadi di Aceh, dan hutan Aceh dan satwa akan punah,” terangnya. 

Alur Penyelesaian Konflik Aceh 

Penyelesaian konflik Aceh merupakan jalan panjang dan terjal, MoU adalah titik akhir dari sejumlah perundingan yang melelahkan yang dilakukan oleh GAM dan pemerintah Indonesia. 

Proses terwujudnya MoU Helsinki sebenarnya telah dirintis sejak tahun 2000. Namun proses perundingan soft power yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC) hanya melahirkan Jeda Kemanusiaan I dan II (Joint Understanding on Humanitarian Pause For Aceh), serta Moratorium Konflik yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 di Jenewa, Swiss.

Jeda Kemanusiaan berakhir pada 15 Januari 2001, namun kedamaian tak kunjung tercipta di Aceh. Konflik malah kian keras terjadi. 

Upaya mewujudkan Aceh yang damai kemudian diupayakan di zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tepatnya pada 9 Desember 2002, diadakan perundingan CoHA (Cessation of Hostilities Agreement) atau Perjanjian Penghentian Permusuhan di Jenewa, Swiss. 

Sayang aneka perundingan yang digelar tak juga berhasil menghentikan konflik di Aceh. 

Pada 26 Desember 2004, bencana gempa bumi dan tsunami besar menimpa Aceh.

Kejadian ini memaksa para pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan atas inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional.

Selanjutnya, tanggal 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia.

Pada 17 Juli 2005, setelah berunding selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantta, Finlandia.

Penandatanganan kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005. 

Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN. 

Semua senjata GAM yang berjumlah 840 diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005. 

Kemudian, pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Dawood, menyatakan bahwa sayap militer Tentara Neugara Aceh (TNA) telah dibubarkan secara formal.

Memetik Pelajaran dari Proses Perdamaian Aceh

Pertama, kata Wali Nanggroe, membangun kepercayaan kedua belah pihak, dimana pihak GAM dan RI memiliki kesadaran yang sama bahwa perundingan adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik di Aceh. 

Kedua, lanjutnya, membangun kepercayaan dari fasilitator perdamaian dari lembaga internasional Crisis Management Initiative (CMI). 

“Hal ini menjadi tugas untuk implementasi UU tentang Aceh. Kita meyakini perdamaian akan tercapai secara berkelanjutan apabila bersungguh-sungguh dalam mewujudkannya”, ungkap Wali Nanggroe Aceh, Teungku Malik Mahmud Al Haythar. (NR)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda