Beranda / Dialog / Azhari Idris: BPMA Membuka Kran Pendapatan Aceh

Azhari Idris: BPMA Membuka Kran Pendapatan Aceh

Selasa, 16 Juli 2019 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Azhari Idris, Plt Kepala BPMA. [FOTO: Dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM - Setahun paska PT Arun NGL tutup secara resmi di Aceh, lahir Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Badan ini dibentuk berdasarkan UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dalam pasal 160 ayat 1 dan 2 disebutkan, Pemerintah dan Pemerintah Aceh mengelola bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh dengan membentuk BPMA. Pada 5 Mei 2015, Pemerintah mengeluarkan PP nomor 23 tahun 2015 tentang pengelolaan bersama migas di Aceh.

BPMA memiliki posisi seperti SKK Migas yang khusus berada di wilayah Aceh. Badan ini bertanggung jawab kepada Gubernur Aceh dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). BPMA pun mulai beroperasi pada 2016.

Kehadiran badan ini diharapkan mampu membuka kran pendapatan baru bagi Aceh, terlebih sebagai persiapan, seandainya Aceh tidak lagi menerima dana otonomi khusus setelah 2027. 

Dialeksis.com melakukan wawancara khusus dengan Azhari Idris, Plt Kepala BPMA di Kantor BPMA, Lampineung, Banda Aceh, Jumat (24/5/2019) lalu.

Pria asal Bireuen ini dipercayakan Menteri ESDM menggantikan peran Kepala BPMA pertama, Marzuki Daham, yang pensiun. Sebelumnya, Azhari bertugas di BP Migas (sekarang SKK Migas) pada 2010. Terakhir ia menjadi Senior Manager Management Pengamanan Kegiatan Usaha Hulu Migas Indonesia sampai 2015.

Kepala SKK Migas tugaskan Azhari untuk mengkoordinir transisi manajemen pengelolaan usaha hulu migas di Aceh ke BPMA, hingga ia menjabat Plt Kepala per 27 Juli 2018.

Sebagai referensi, Azhari pernah menjadi tim fasilitator perundingan damai GAM dengan Pemerintah Indonesia bersama Henry Dunant Center Swiss Geneva. Dia juga menamatkan pascasarjana Manajemen Bisnis di Wilayah Konflik dari University of York, Inggris.

Latar belakang pendidikan dan pekerjaannya itu membuat Azhari tertarik untuk dialog industri migas Aceh dikaitkan dengan dana otsus Aceh saat ini. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Anda melihat perekonomian Aceh saat ini yang kesannya bergantung pada dana otonomi khusus dari Pusat?

Karena Aceh punya special area, special history, Aceh mendapatkan special treatment dari Pemerintah Pusat dari sisi anggaran. Tapi ini tidak serta merta kita dapatkan. Dikabarkan akan habis pada 2027. Sehingga jumlahnya yang akan hilang nanti cukup besar.  

Seandainya Jakarta tidak berikan kesempatan kedua. Kalau saya berpikir, marilah kita berpikir posisi terjelek, bahwa kita tidak akan mendapatkan kesempatan kedua, karena itu akan menjadi keputusan politiknya pemerintah. 

BPMA tugasnya mengelola dan mensupervisi kegiatan hulu migas di Provinsi Aceh. 

Saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang berjalan sebelum BPMA. Saat ini BPMA mengambil alih pengelolaannya dari SKK Migas ke BPMA di Aceh. Ini sudah jalan.

Nah, bagaimana supaya bisa memberikan nilai tambah atau memberikan nilai positif bila dalam prediksi kita tahun 2027 nanti dana otsus berakhir, tentu pemerintah Aceh harus berpikir dari mana sumber-sumber dana diambil.

Karena pada saat itu nanti populasi bertambah, kebutuhan daerah bertambah, gaya hidup warga sudah berubah, mungkin kebutuhan uang untuk Aceh lebih besar dari yang kita dapatkan sekarang. Kalau hari ini butuh belanja Rp 17 triliun mungkin ke depan 20-an.

BPMA ada dimana?

Kita saat ini sedang agresif melakukan eksplorasi. Eksplorasi adalah proses pencarian sumber cadangan migas baik yang ada di darat maupun di laut untuk mendapatkan sumber-sumber cadangan baru migas.

Migas yang kita produksi sekarang itu hasil temuan 40 tahun lalu, misal yang ada di Pertamina sekarang, di Medco sekarang. Kenapa diproduksi sekarang karena pasarnya baru ada sekarang. Harganya juga baru cocok sekarang. Itu hasil masa lalu yang kita nikmati sekarang.

Pusat prosesing Blok A Medco E&P Malaka. [FOTO: Dok. BPMA]

Kami (BPMA_red) punya spirit menggantikan penemuan sumber cadangan migas masa lalu di lapangan Arun (PT Arun NGL_red) yang begitu besar.

Kita harapkan seandainya di tahun 2020-2022 bisa melakukan eksplorasi, seismik survei, pengeboran, untuk membuktikan potensi cadangan migas yang ada di Aceh.

Kalau kita temukan, nanti dalam jangka waktu lima tahunan ini, kita akan proses untuk bisa produksi. Kita akan cari market untuk kemudian kita jual. 

Disitulah BPMA berkontribusi untuk kekurangan Aceh ketika otsus berakhir, dari bagi hasil migas Aceh.

Bagaimana pembagiannya? 

Bagi hasil migas Aceh lumayan bagus. Kalau gas berada pada area 0 - 12 mil laut, Aceh dapat 70 % dimana provinsi lain hanya 30 %. Sedangkan di atas 12 mil laut - 200 mil laut, Aceh dapat 30 % dimana daerah lain 0 %.

Jadi kesempatan bagi hasil itu kalau kita dapatkan hidrokarbon minyak atau gas bumi, potensi keuangan Aceh akan sangat bagus saya pikir. Sekian persen kebutuhan belanja Aceh di masa mendatang mungkin bisa kita tutupi dari sini.

Kita juga membawa perusahaan-perusahaan lain untuk mulai melirik ke Aceh. Supaya ketika mereka masuk kesini, mereka bisa jadi partner kita untuk bekerja.  

Itu penting. Karena selama 40 tahun terakhir Aceh tidak ada aktivitas pencarian sumber-sumber cadangan migas akibat kondisi Aceh kurang bagus dari sisi investasi sehingga hanya diproduksi apa yang ditemukan tahun 70-an.

Karena sudah lama ditinggalkan, asumsi para ahli geologi dan geofisik, di Aceh masih memiliki potensi bagus untuk menemukan sumber-sumber cadangan migas sebagai sumber ekonomi baru, di mana selama ini fokus industri migas Indonesia ke Indonesia bagian timur.  

Contoh kalau kita temukan gas besar di lepas pantai Aceh, itu tidak akan habis terserap di dalam negeri, sebagian akan kita ekspor.  

Nah kalau ekspor itu tidak bisa begitu saja, tapi harus dicairkan dulu. Di-lng-kan namanya, di-liquified, baru kemudian bisa dibawa dengan tangki. 

Aceh punya fasilitas LNG Arun. Dulu cukup megah dan sekarang masih bagus. Kalau kita temukan gas di Aceh dalam jumlah besar, setelah kita pakai untuk dalam negeri, sisanya itu bisa kita ekspor.  

Proses itu kalau kita dapat, kita bisa lebih cepat. Karena untuk prosesing LNG sudah ada di Lhokseumawe, hanya perlu diganti teknologi dan peralatannya. Kemudian lahan juga sudah ada. Dalam hal ini, pembebasan lahan cukup lama apalagi dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.  

Investasi kita kemudian akan lebih murah. Kenapa? Arun tidak perlu dibangun dari nol. Kalau bangun dari nol butuh puluhan miliar sehingga harga gas menjadi tinggi untuk diekspor karena modalnya besar.  

Nah sekarang kita punya fasilitas sehingga modal lebih sedikit. Harga gas kita jual ke luar bisa kompetitif. Jika orang jual tinggi, kita bisa turunkan harga. 

Sisi lainnya, jika otsus berakhir pada 2027, pemerintah harus manfaatkan industri migas untuk potensi daerah.  

Sekarang gas kita dikirim ke Medan untuk PLN. Itu tujuannya untuk menghidupi industri disana karena tidak ada industri di Aceh.

Nah ke depan, katakanlah kita punya gas, itu pemerintah harus mendirikan industri di Aceh. Dekatkan industri dengan sumber gas.  

Kenapa harus diperbanyak industri di Aceh?

Kalau gasnya disini harus kita kirim ke Medan, itu mahal di transportasi. Beruntungnya, Medan tidak punya sumber gas terdekat selain Aceh.  

Bagaimana caranya pemerintah menghadirkan industri ke Aceh lebih banyak? Dengan berkoordinasi dengan BPMA, supaya industrinya bisa lebih murah. Kalau harga gas murah tenaga kerja juga akan terserap di situ.

Apalagi Aceh dengan PP No 23 Tahun 2015, Gubernur Aceh boleh memberikan rekomendasi terhadap pemanfaatan gas. 

Menteri ESDM sebelum memutuskan gas Aceh harus dibawa kemana, gubernur harus memberikan pendapat lebih dulu. Provinsi lain tidak punya keistimewaan ini, mereka diatur oleh Menteri ESDM. Ini kesempatan cukup baik bagi Aceh.

Kita harapkan Pemerintah Aceh saat ini mulai membangun komunikasi-komunikasi bisnis ke luar untuk menyampaikan Aceh punya potensi migas cukup bagus, sehingga ketika mereka perlu investasi mereka tak perlu ke kota/daerah lain yang gasnya jauh. 

Karena semua industri itu butuh fuel untuk pembangkit listrik tenaga listrik, gas bisa juga untuk petrokimia. Jadi gas menjadi sumber bahan baku untuk produksi barang-barang. Itu kan bisa juga dilakukan di sini (Aceh_red) daripada kita bawa ke tempat lain. 

Kesimpulannya adalah Aceh harus menjadi tempat yang indah untuk investasi. Harus jadi tempat yang nyaman dan menyenangkan, harus ada kemudahan birokrasi dan perizinan, sehingga industri datang, gasnya murah.  

Ini harapan besar kita. BPMA bisa berikan kontribusi besar buat Aceh. Untuk itu BPMA harus tau planning besar Pemerintah Aceh seperti apa. Bappeda seperti apa. KEK Arun di Lhokseumawe seperti apa misalnya. Kami punya informasi itu. 

Apa yang dilakukan BPMA saat ini terkait potensi cadangan migas di Aceh? 

Contoh saat ini, kita sedang ajukan Plan of Development (POD) membangun lapangan gas di lepas pantai Lhokseumawe.  

Menteri ESDM sedang review. Kalau kita dapat persetujuan, kita akan bangun platform untuk produksi gas di laut. Itu bisa kita produksikan 15 mmscfd (Million Standard Cubic Feet per Day) selama 12-15 tahun ke depan dengan hanya satu sumur. 

Perusahaan minyak itu ketika sudah dapat satu sumur produksi, dia akan jual gas dan menghasilkan uang nih, dia nanti akan invest lagi untuk ngebor di sekitarnya, sehingga bisa menggantikan sumur yang habis dan kemudian masa produksi bisa berlangsung lama.  

Saat bersamaan kita ngobrol ini, Triangle Pase Inc sedang ngebor di Aceh Timur dan Aceh Utara. Semoga mereka juga mendapatkan sumber cadangan gas baru.  

Cluster SLS D -Triangle Pase Inc. [FOTO: Dok. BPMA]

Kalau mereka dapat, mau dibawa kemana? Mereka kan sudah invest tentu ingin dapat uang segera. Kalau ada pembeli di Medan, mereka jual kesana. Sekarang kan ada Pipa Arun Belawan yang ditanam dari Lhokseumawe ke Medan, sehingga tinggal dikirim via pipa itu.  

Tapi kalau Pemerintah Aceh punya planning, kita bisa ngomong. BPMA bisa jualan ke perusahaan minyak siapa yang punya cadangan gas? sehingga kita bisa sinkronkan dengan rencana pemerintah. Tidak berjalan sendiri, sehingga kita lakukan secara integrasi. 

Ketika nanti ada gas, tapi planning pemerintah belum terarah, dan gas harus dijual karena orang sudah invest, mereka jual gas ke luar. Kalau ini terjadi pemerintah akan ngomong nanti, kenapa dijual? 

Nah sebelum ini terjadi, kita harus komunikasi secara intens apa rencana dan program pemerintah. Kita kolaborasikan.

Kalau kita bisa kalkulasikan, kira-kira berapa potensi gas di Aceh?

Oh, itu saya (BPMA_red) harus cek dulu. Karena yang namanya potensi itu kita baru tahu setelah kita bor. Kalau tidak kita bor, prediksi-prediksi itu bisa beragam.  

Misal di Pidie Jaya potensinya bisa sampai 3,5 scf (Standard Cubic Foot). Itu kan masih di atas kertas. Masih seismik survei. Apakah memang segitu?  

Saat ini di BPMA, ada sumber cadangan migas yang sudah terbukti, ada juga yang belum terbukti dan ini terus kita cari. Pembuktian adanya migas itu hanya bisa dilakukan dengan pengeboran.  

Saya sering mengumpamakan: ini ada rumah besar sekali, orangnya pasti rame di dalam. Sepintas kita bisa bilang begitu. Biasa rumah besar isinya rame. Tapi orang migas bilang, ‘saya harus buka pintu dulu, masuk dan lihat.’ 

Buka pintu bagi orang migas adalah melakukan pengeboran. 

Pengeboran untuk menemukan sumber cadangan migas hampir sama dengan pengeboran menemukan sumber cadangan air sumur. Usai dibor, mungkin air yang didapat kuning, sehingga tak bisa pakai. Kemudian dibor di titik lain lagi sampai ditemukan air yang jernih.  

Demikian di industri migas. Kita bor, ternyata kandungan CO2 (karbondioksida) tinggi sekali, sehingga tak bisa kita bakar. Ada (yang seperti ini_red). Salah satunya saat ini kita punya lapangan di Aceh Timur, punya Medco di Kuala Langsa. Itu besar cadangan gasnya, tetapi CO2-nya hampir 80 % sementara mesin yang ada disini yang bisa membakar untuk menghasilkan energi paling maksimal di 40 %.  

Menurunkan kadar CO2 itu membutuhkan biaya cukup mahal, sehingga harga jualnya juga akan cukup mahal. Ketika harga gas mahal maka tidak ada yang beli. 

Kapan hasil dari industri migas itu dapat dinikmati? 

Industri migas itu bukan industri instan. Industri migas perlu waktu, butuh proses. Dari eksplorasi sampai produksi itu butuh waktu 0-10 tahun paling cepat.  

Kalau hari ini kita ngobrol tentang migas, bisa jadi sekian tahun akan datang anda sudah lupa. Anda baru ngeh, eh tiba-tiba disini kok ada api ya. 

Saya sering katakan, bekerja di migas itu harus cukup ikhlas, kenapa? 

Misal kita seorang pejabat pemerintahan. Surat yang kita tandatangani hari ini belum tentu bisa kita nikmati hasilnya. Kalau kita ada umur panjang, kita sudah pensiun. Prosesnya lama, baru bisa lihat. 

Seorang buyer gas akan pertimbangkan laba, volume, dan harga. Kalau cocok baru dibeli untuk dikembangkan. Dia butuh pasar 20-30 tahun baru dikembangkan.  

Kalau minyak gampang. Ada minyak, masukkan tanker, jual. Minyak langsung ada pembeli. Itu mudah sekali.  

Makanya siapapun, untuk migas ini saya bilang: "hasilnya mungkin tidak akan bisa kita lihat tapi kita harus mulai."  

Kawan saya bilang, "kita harus berpikir di luar masa hidupnya kita supaya ada semangat kerja."  

Misal saya ini kan Plt (Pelaksana Tugas). Saya bisa besok pagi tidak ada lagi disini. Kalau begitu, saya tidak akan buat apa-apa, ngapain pikir panjang. Ah, itu tidak akan jalan. 

Siapapun itu berpikirlah di luar batas potensi dia untuk hidup. Semangat ini harus ada. Di migas itu harus berpikir seperti itu. Ya, kita capek kerja hari ini, nanti yang nikmati anak cucu kita generasi akan datang. 

Sama seperti sekarang, hasil migas yang kita nikmati sekarang itu buah keringatnya orang-orang dulu yang sudah tiada, yang kerja di tahun 70-an. Hal yang sama akan berulang. Itu siklus dalam migas. 

Ketika ada orang yang bertanya, kok sudah ada BPMA, tapi produksinya belum tambah-tambah? Itu karena kita bukan industri yang instan. Industri ini padat modal, resiko, dan sebagainya. 

Kalau kita lihat proses produksi migas, tahapannya apa saja? 

Jadi kalau saya bisa jelaskan, prosesnya itu dimulai dari penyiapan Wilayah Kerja (WK), lelang WK, eksplorasi, development, produksi/komersialisasi, dan abandon/penutupan. 

Pemerintah dalam hal ini BPMA, menyiapkan WK. Misal di laut Aceh, kita dapatkan Sabang 1 sebagai WK. WK Sabang 1 ini punya NKRI. Pemerintah lakukan lelang. Ada tim dari BPMA melelang ke kontraktor SKK Migas.  

Katakanlah perusahaan x menangkan blok Sabang 1. Dia dapatkan hak kelola. Itu lelang umum. 

Ada yang namanya lelang Join Study. Pemerintah belum tetapkan WK. Anda sebagai perusahaan tawarkan Join Study untuk satu wilayah. 

Setelah dipelajari, ok, diberikan waktu Join Study 1-2 tahun. Setelah diyakini ada sumber cadangan migas, minta ke pemerintah untuk jadikan WK. Misal WK Kutacane 1. Lalu dia berhak kelola WK itu, tidak seperti lelang umum. 

Usai tender, masa eksplorasi mencapai 6 tahun pertama. Ada studi G&G (geologi dan geofisika) di tahapan ini yaitu studi bawah tanah.  

Dari hasil G&G misal dapat cadangan migas. Misal dapat 1 mmscfd (1 triliun kubik feet per hari). Dapat minyak misalnya 200 juta barel cadangan. ini sedikit minyak, gas besar. Baru perusahaan dan BPMA cari buyer.  

Baca: Tiga Perusahaan Asing Eksplorasi Perairan Aceh

Jumlah, harga, durasi kontrak. Setelah ini ok, cocok, ekonomis atau menguntungkan, baru dikembangkan. 

Pengembangannya dengan bangun fasilitas produksi. Di laut ada platform. Setelah diproduksi, dijual. Lalu ada hasilnya, kemudian bagi hasil: pemerintah pusat, pemda, perusahaan, pajak, dan sebagainya. 

Kadangkala produksi habis 30 tahun. Setelah habis diapakan? Abandon. Sumur minyak ditutup semua.  

Sementara, perusahaan yang dapat WK bisa teken kontrak. Kontrak biasanya 30 tahun produksi + (include) masa eksplorasi. Kalau dia eksplorasinya 6 tahun, masa produksinya 24 tahun.  

Sekarang misal, kita eksplorasi pada 2019-2020, hasilnya mungkin dalam 5 tahun mendatang. Tergantung.  

Makanya perlu waktu. Ini bukan industri instan. Kalau ada media yang kritisi, BPMA mana hasil produksi? Tunggu dulu.  

Nah, inti dari semua tahapan aktivitas industri migas adalah eksplorasi. Kalau kita tidak lakukan ini, tentu tidak ada produksi. Kita harus cari dulu sumber cadangan migasnya, baru kemudian bisa produksi.  

Bagaimana industri migas bisa membantu rakyat kecil, di tahapan mana? 

Paling besarnya itu di tahapan eksplorasi (development) dan produksi. 

Di tahapan eksplorasi, perlu tenaga kerja, suplai barang-barang, ada vendor-vendor. Begitu juga di tahap produksi, ada banyak orang jualan untuk kebutuhan industri, dan lain-lain. 

Perputaran uang paling besar (business opportunity) terjadi di antara dua tahapan itu, eksplorasi dan produksi.

Ketika ini dikembangkan, dengan ada gas disitu, bisa dibuka petrokimia dan industri lain yang butuh fasilitas perminyakan.(Makmur Emnur)

  

Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda