Beranda / Dialog / Dana Otsus berakhir 2028 apa yang harus dilakukan?

Dana Otsus berakhir 2028 apa yang harus dilakukan?

Selasa, 06 April 2021 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Biyu

Rustam Effendi Pengamat Ekonomi, Foto: doc FB 


Aceh menjadi daerah miskin berdasarkan data yang diliris Badan Pusat Statistik Aceh. BPS menyebut Aceh kembali menjadi provinsi termiskin di Sumatera. Dilihat dari jumlah penduduk miskin menurut provinsi di Pulau Sumatera, Aceh kembali menduduki peringkat satu. Angka kemiskinan di Aceh 15,43 persen, diikuti Bengkulu 15,30 persen, dan Sumatera Selatan 12,98 persen.

Dalam rilis yang diterbitkan, Kepala BPS Aceh Ihsanurrijal menjelaskan, jumlah penduduk miskin Aceh pada September 2020 sebanyak 833.910 orang atau 15,43 persen. Jumlah itu bertambah 19.000 orang dibanding Maret 2020, yakni 814.910 orang.

Melihat fakta kemiskinan itu, sejak paska konflik dan hantaman bencana tsunami Pemerintah pusat telah memberikan dana otsus kepada Aceh seperti yang tertuang dalam Pasal 183 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Besaran Dana Otsus untuk tahun pertama sampai kelima belas (2008-2022) adalah 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Kemudian pada tahun kelima belas hingga kedua puluh (2023-2027) adalah 1% dari plafon DAU nasional. Peruntukan

Dana Otsus adalah untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Dana otonomi khusus (Otsus) Aceh yang sudah digelontorkan oleh pemerintah sejak 2008-2020 Rp 88,86 triliun belum dimanfaatkan secara baik yang ditunjukkan oleh beberapa capaian indikator yang masih belum menggembirakan seperti masih tingginya angka kemiskinan dan jumlah pengangguran, serta rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah ini.

Untuk mencermati dan menilai penggunaan dana otsus di Aceh, Dialeksis.com (05/04/2021) menghubungi Pengamat Ekonomi Rustam Effendi untuk wawancara eksklusif. Beliau merupakan Dosen Lektor Kepala pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala.

Secara objektif Rustam memberikan pandangan dan masukan yang konstruktif dan solutif agar dana otsus dapat memberikan manfaat signifikan terutama dalam menurunkan angka kemiskinan sekaligus menaikkan tingkat kelayakan hidup (kesejahteraan) masyarakat Aceh. Apalagi Aceh akan dihadapkan pada penurunan penerimaan dana otsus menjadi 1 % (dari 2%) mulai Tahun 2023 mendatang. Guna mengatasi dan memberikan jalan keluar, simak petikan wawancaranya dibawah ini.

Pengoptimalan dana Otsus harus berdampak nyata kepada perubahan kesejahteraan masyarakat Aceh, termasuk menurunkan angka kemiskinan di Aceh. Menurut anda apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki keadaan?

Sebelum kita bahas soal tersebut, pertama kita harus lihat dulu komposisi kapasitas fiskal Aceh selama hamper 15 tahun terakhir ini. Tidak dapat dinafikan, kontribusi dana Otsus dalam APBA ini masih sangat dominan. Lihat saja, kita punya PAD atau PAA (Pendapatan Asli Aceh) hanya sekitar Rp 2,2 T hingga Rp 2,4 T. Jika ditambah dengan sumber penerimaan lain-lain itu paling kita punya uang (anggaran) sekitar Rp 4 T. Iya, plus plus lah kalau pun mungkin ada lagi Dana Alokasi Khusus (DAK), dan lainnya. Terakhir, yang saya hitung, kontribusi dana Otsus lebih dari lima puluhan persen dalam struktur penerimaan daerah kita.

Maksudnya bagaimana ?

Maksudnya, APBA kita ditopang oleh Otsus lebih dari 50 persen. Artinya, kalau kita dapat 2% dikali DAU, iya. Dengan asumsi kenaikan DAU itu tetap konstan ke depan, atau tidak ada kenaikan atau penambahan signifikan jumlah DAU, maka DAU sebagai basis pengalinya (2% dikali dengan DAU nasional), dipastikan tidak akan mengalami kenaikan yang terlalu siginifikan jumlah dana Otsus. Sebab apa, kita cermati angka DAU nasional tidak bertambah, maknanya besaran dana Otsus yang diterima Aceh tidak terlalu mengalami tambahan.

Riilnya yang terjadi ?

Tidak banyak terjadi tambahan dana Otsus. Paling ada di angka Rp 8,0 T, itu kita sudah mentok, delapan koma sekian trililun. Coba kalau kita lihat ke dalam rekening, kan tetap pada angka Rp 8,1 kan. Nah, itu tidak mungkin bisa naik lagi, apalagi hanya sisa waktu tinggal setahun lag. Tahun 2022 atau tahun depan itu adalah angka 2% tadi yang terakhir. Arti kata, kita hanya dapat sekitar Rp 8 T lagi lah. Tidak mungkin bertambah jadi Rp 10 T lah. Jadi berarti, angka APBA kita berkisar pada angka 15-17-18 triliun saja. Setengahnya, atau lebih dari 50%-an masih ditopang oleh dana Otsus. Sedangkan mulai Tahun 2023 sampai Tahun 2027 kita hanya dapat 1% dikali dengan angka DAU Nasional.

Secara objektif Rustam memberikan pandangan dan masukan yang konstruktif dan solutif agar dana otsus dapat memberikan manfaat signifikan terutama dalam menurunkan angka kemiskinan sekaligus menaikkan tingkat kelayakan hidup (kesejahteraan) masyarakat Aceh. Apalagi Aceh akan dihadapkan pada penurunan penerimaan dana otsus menjadi 1 % (dari 2%) mulai Tahun 2023 mendatang. Guna mengatasi dan memberikan jalan keluar, simak petikan wawancaranya dibawah ini.

Pengoptimalan dana Otsus harus berdampak nyata kepada perubahan kesejahteraan masyarakat Aceh, termasuk menurunkan angka kemiskinan di Aceh. Menurut anda apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki keadaan?

Sebelum kita bahas soal tersebut, pertama kita harus lihat dulu komposisi kapasitas fiskal Aceh selama hamper 15 tahun terakhir ini. Tidak dapat dinafikan, kontribusi dana Otsus dalam APBA ini masih sangat dominan. Lihat saja, kita punya PAD atau PAA (Pendapatan Asli Aceh) hanya sekitar Rp 2,2 T hingga Rp 2,4 T. Jika ditambah dengan sumber penerimaan lain-lain itu paling kita punya uang (anggaran) sekitar Rp 4 T. Iya, plus plus lah kalau pun mungkin ada lagi Dana Alokasi Khusus (DAK), dan lainnya. Terakhir, yang saya hitung, kontribusi dana Otsus lebih dari lima puluhan persen dalam struktur penerimaan daerah kita.

Maksudnya bagaimana ?

Maksudnya, APBA kita ditopang oleh Otsus lebih dari 50 persen. Artinya, kalau kita dapat 2% dikali DAU, iya. Dengan asumsi kenaikan DAU itu tetap konstan ke depan, atau tidak ada kenaikan atau penambahan signifikan jumlah DAU, maka DAU sebagai basis pengalinya (2% dikali dengan DAU nasional), dipastikan tidak akan mengalami kenaikan yang terlalu siginifikan jumlah dana Otsus. Sebab apa, kita cermati angka DAU nasional tidak bertambah, maknanya besaran dana Otsus yang diterima Aceh tidak terlalu mengalami tambahan.

Riilnya yang terjadi ?

Tidak banyak terjadi tambahan dana Otsus. Paling ada di angka Rp 8,0 T, itu kita sudah mentok, delapan koma sekian trililun. Coba kalau kita lihat ke dalam rekening, kan tetap pada angka Rp 8,1 kan. Nah, itu tidak mungkin bisa naik lagi, apalagi hanya sisa waktu tinggal setahun lag. Tahun 2022 atau tahun depan itu adalah angka 2% tadi yang terakhir. Arti kata, kita hanya dapat sekitar Rp 8 T lagi lah. Tidak mungkin bertambah jadi Rp 10 T lah. Jadi berarti, angka APBA kita berkisar pada angka 15-17-18 triliun saja. Setengahnya, atau lebih dari 50%-an masih ditopang oleh dana Otsus. Sedangkan mulai Tahun 2023 sampai Tahun 2027 kita hanya dapat 1% dikali dengan angka DAU Nasional.

Apakah itu berpengaruh secara tata kelola keuangan di Aceh ?

Oya, jelas sangat berpengaruh. Kalau dulu katakanlah asumsinya kita dapat Rp 8,1 T, maka mulai Tahun 2023 hanya tinggal sekitar Rp 4 T, dengan asumsi tidak terjadi kelanjutan penerimaan dari sumber dana Otsus. Kalau ditambah dengan PAA kita sebesar Rp 2,4 T, katakanlah begitu, berarti menjadi Rp 6,4 T. Jika pun ada tambahan dari sumber lainnya, misalnya dari dana DAK sedikit bla..bla.. bla..Perkiraan saya paling ada APBA kita hanya ada sekitar Rp 10 T. Itu dengan asumsi tidak ada penopang sumber lain. Untuk PAA kita tidak mungkin bisa naik drastis lagi.

Dampaknya ada ?

Sudah pastilah berdampak. Pertama, kemampuan belanja kita menjadi kian terbatas. Pembangunan kita jalankan kan dengan ada belanja itu. Kegiatan pembangunan atau proyek itu dibiayai dengan belanja. Semakin besar pendapatan, maka akan banyak pilihan bagi kita untuk jalankan proyek. Harus kita ingat, bahwa alat pembangunan terpenting itu adalah proyek (kegiatan). Proyek juga dimaknai sebagai agen perubahan. Di sana mengandung banyak harapan untuk perubahan masa depan menuju pada tercapainya kesejahteraan. Dalam konteks rumah tangga, misalnya, kita sebagai suami yang pendapatannya besar tentu bisa berbelanja lebih banyak. Mungkin, kita mampu menambah pilihan menu makanan, untuk pendidikan anak, bisa tambah belanja dapur. Coba kalua pendapatan kita terbatas, pasti pilihan dalam berbelanja juga makin terbatas. Nah, analoginya begitulah.

Artinya, jika anggaran besar maka dana belanja untuk kebutuhan kesehatan, pendidian, dan lain-lain dapat lebih dicukupi. Nah, ketika pendapatan terbatas, hilang setengah dana otsus tadi, sementara di sisi lain belum ada tambahan pendapatan lain yang bisa menopang kehilangan itu, tentu akan berdampak nyata dalam menggerakkan roda pembangunan, termasuk kehidupan ekonomi masyarakat Aceh. Lapangan usaha ekonomi seperti pertanian, perikanan, kelautan, juga usaha perdagangan atau lapangan-lapangan usaha ekonomi lain menjadi terimbas dampaknya. Tentu, kita tidak bisa melakukan peruntukan belanja yang lebih banyak lagi. Akibatnya, aktivitas produksi yang dihasilkan oleh lapangan usaha ekonomi yang ada menjadi terbatas. Misalnya, alokasi belanja pupuk untuk petani, belanja input lainnya, atau mungkin untuk membantu aktivitas pelaku usaha ekonomi mikro kecil, membangun jalan usahatani, membuat bendungan, dan lainnya menjadi terbatas. Ujung-ujungnya pertumbuhan ekonomi daerah menjadi rendah dan berimbas pada penciptaan lapangan kerja. Sulit dinafikan, jika kemungkinan upaya untuk mengentaskan kemiskinan juga menjadi semakin sulit.

Lalu ?

Sudah pasti tata kelola keuangan kita menjadi lebih rumit, harus lebih cermat lagi dalam mengalokasikan pendapatan yang terbatas itu. Harus kita ingat, kebutuhan itu tidak akan pernah cukup. Kebutuhan itu pasti ada dan bertambah setiap tahun sesuai dengan kompleksitas masalah seiring dengan dinamika pembangunan. Disisi lain, pendapatan sudah menjadi terbatas, apalagi setengah dari penerimaan dana Otsus itu hilang.

Lantas, apa tindakan nyata yang perlu dilakukan pemerintah dan para stakeholders ?

Saya pikir tidak ada cara lain. Berharap dari PAD tidak mungkin kita bisa genjot dan naikkan secara signifikan dalam waktu singkat. Karena kenaikan PAD sangat bergantung pada geliat aktivitas ekonomi di daerah. Kalau aktivitas ekonomi kita banyak, hotel itu bagus, ada kilang atau pabrik, tentu bisa bertambah pemasukan PAD Aceh. Oleh sebab itu, solusinya tidak ada lain Pemerintah Aceh harus menggalakkan aktivitas sektor swasta. Swasta harus masuk ke daerah ini dalam satu skala yang besar. Harus ada usaha industri lain yang mampu mensupport PAD kita. Peluang di sektor Migas, misalnya, harus dimanfaatkan dan dijadikan fokus mulai sekarang. Peran dari Badan Usaha Milik Daerah (Aceh) harus semakin didorong secara nyata. Tempatkan orang-orang yang professional dibidangnya. Lakukan komunikasi yang intensif dengan pihak Jakarta. Manfaatkan kewenangan-kewenangan yang telah diberikan dibidang ekonomi sesuai UUPA. Buat aturan-aturan yang lebih implementatif seperti yang telah diwujudkan dalam sektor Migas. Itu sudah sangat bagus. Potensi penerimaan bagi Aceh sangat menjanjikan, percayalah. Semuanya harus focus dan kompak. Semua elemen mesti saling mendukung. Para elit harus bersinerji, tidak boleh saling melemahkan satu sama lain. Jika potensi ini bisa dimanfaatkan, kita tidak perlu takut dengan kehilangan dana Otsu situ. KIta bisa menciptakan lapangan pekerjaan, bisa menghasilkan pendapatan lewat hak-hak pajak yang telah diatur undang-undang. Tapi, kalau itu tidak bisa kita selesaikan dalam lima atau delapan tahun kedepan, maka akan bermasalah kepada kemampuan pendapatan dan belanja kita. Jika ini berlaku, maka usaha kita untuk mengentaskan kemiskinan menjadi semakin sulit kedepannya.

Penting tidak kalau umpamanya dilakukan efektivitas dan efisiensi dari sisi pengelolaan dan pemanfaatan dana otsus tepat peruntukannya, tepat manfaat, atau tepat guna ?

Bisa saja itu dilakukan. Efisiensi atau penghematan itu wajib, ya. Tetapi mesti diingat, ada hal-hal yang tidak bisa kita potong seperti honor tenaga kontrak, belanja pegawai, kan tidak mungkin itu dipotong. Yang bisa diefisiensikan, misalnya tunjangan bagi pejabat. Itu mungkin harus dipangkas jika kita tidak ada uang lagi. Kalau biasanya dapat, misalnya maaf dapatnya Rp 20 juta sebulan, iya harus disesuaikan lagi. Anggaran untuk SPPD terpaksa dihemat, dan belanja lainnya. Artinya, peruntukan belanja harus dilakukan secara ekstra hemat. Tentu, ini akan berdampak pada putaran roda pembangunan, termasuk dalam putaran perekonomian di daerah.

Apakah dalam penggunaan dana otsus dibutuhkan blue print atau road map?

Jelas sekalai butuh. Itu sangat penting sekali. Seharusnya dari awal blue print itu sudah dibuat dan dijadikan sebagai pedoman dalam penggunaan otsus Aceh, baik untuk sektor Kesehatan dan pendidikan, maupun dalam pembangunan ekonomi. Dengan demikian, output dan outcomenya menjadi jelas dan kebijakan yang dibuat pun menjadi lebih terarah, apalagi bila diperkuat dengan partisipasi publik dalam mengawasi penggunaan dana otsus sehingga lebih terjaga akutabilitasnya. Dengan upaya yang demikian, daerah-daerah di Aceh yang masih katagori miskin seperti Gayo Lues, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan daerah lainnya lebih fokus dalam melakukan proses pembangunan.

Apa penting dana Otsus diperpanjang untuk Aceh ?

Kalau bicara penting pasti penting. Perpanjangan dana Otsus bagi Aceh sangat dibutuhkan masyarakat Aceh. Apalagi kapasitas fiskal daerah kita belum begitu mandiri. Dalam konteks ini, Gubernur Aceh dan unsur legislatif baik DPRA maupun rekan-rekan DPR Ri dan DPD RI harus berkomunikasi secara intensif dengan pemerintah pusat dalam meyakinkan keberlanjutan dana otsus ini. Semuanya harus saling berkoordinasi dan bersinerji dalam gerak langkah. Rumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan, termasuk menyiapkan format dan konsep penggunaan dana otsus ke depan. Kita harus menyiapkannya mulai dari sisi perencanaan, bentuk implementasi penggunaannya hingga sisi pengawasannya dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kita harus meyakinkan tidak ada lagi kebocoran dalam penggunaan dana Otsus, sehingga realisasinya benar-benar untuk mensejahterakan hidup rakyat Aceh.

Masalah utamanya ke depan, kira-kira apa ?

Dalam amatan saya, yang jadi masalah dalam upaya meminta perpanjangan dana Otsus berwujud pada aspek kuantitatif dan kualitatif. Dari sisi kuantitatif atau jumlah dana Otsus yang kita minta, apakah tetap dengan pola yang sama. Artinya, apakah masih untuk periode 20 tahun ke depan (2028-2047), dengan persentase alokasi 2% dari DAU Nasional untuk 15 tahun ke depan (2028-2042), sedangkan 1% dari DAU Nasional untuk periode 5 tahun sisanya(2043-2047). Tentu, kita tidak bisa memastikannya.

Dari sisi kualitatifnya, semuanya ini sangat ditentukan oleh kuat tidaknya komunikasi dan lobi yang dibangun oleh pihak Pemerintahan Aceh (eksekutif dan legislatif) dengan pihak pusat. Semua ikhtiar harus dilakukan untuk memastikan ketersediaan dana otsus bagi Aceh paska Tahun 2027, nantinya.

Berapa tahun dibutuhkan untuk melanjutkan pemberian dana otsus bagi Aceh paska 2027 ?

Semua tergantung pada hasil komunikasi tadi. Apakah masih sama dengan skema sebelumnya, 20 tahun, atau bagaimana? Lebih pastinya perlu ada hitung-hitungan oleh ahlinya sesuai dengan kompleksitas dan kebutuhan daerah kita. Apa yang terjadi selama ini, saya dapat menyimpulkan bahwa tidaklah mudah merekonstruksi Kembali sebuah wilayah yang pernah diterpa konflik berkepanjangan ditambah lagi dengan hantaman bencana dahsyat tsunami pada akhir tahun 2004 lalu. Belum ada kajian empiris yang dapat menentukan berapa lama sebuah wilayah yang berkonflik mampu melakukan perubahan kesejahteraan rakyatnya. Jelas terlihat, sudah 15 tahun pasca konflik dan hantaman bencana tsunami ternyata daerah kita Aceh belum terbebas dari problema kemiskinan, pengangguran, dan lambannya pertumbuhan ekonomi serta belum meratanya pembangunan antarwilayah.

Pertanyaan terakhir, apa yang perlu dilakukan agar publik dapat berpartisipasi dalam mengawasi dan mengkritisi penggunaan dana otsus di Aceh ?

Saya merasa kita semua harus bertanggungjawab untuk memajukan daerah kita. Inilah fondasi utama yang harus dibangun. Ini daerah kita. Bagian dari sebuah bangsa besar yang bernama Indonesia. Proses pembangunan merupakan upaya yang dilakukan secara sadar dan sistematik oleh pemerintah bersama dunia usaha dan masyarakat. Kesadaran ini yang harus dimiliki oleh semua pihak, bukan oleh sebagian golongan, dan bukan untuk kepentingan segelintir orang. Tidak ada jalan lain, kita harus sama-sama berada dalam satu langkah, harus bersatu padu. Ada pihak yang tugasnya merencanakan dan melaksanakan pembangunan dengan memanfaatkan anggaran pembangunan yang dikucurkan saban tahun. Ada pula yang bertugas menjemput dan meyakinkan investor (pemilik modal) agar mau berinvestasi di daerah kita. Tentu, harus juga ada yang mengawasi penggunaan dana Otsus tadi. Tugas pengawasan dapat dilakukan oleh lembaga resmi pemerintah, lembaga independen, termasuk lewat publik itu sendiri. Semua ada porsinya, koq. Tidak ada persoalan. Yang penting semuanya serius dan berkomitmen untuk mewujudkan perubahan, bukan untuk kesejahteraan diri pribadinya, tetapi untuk kesejahteraan Rakyat Aceh secara keseluruhan. Kita berharap lewat upaya yang serius ini ekonomi Aceh juga akan bisa mandiri, tidak lagi bergantung terlalu besar pada daerah lain.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda