Beranda / Dialog / Kekerasan Seksual, CATAHU 2018 Sampai 2020 Sebut Aceh 20 Besar di Indonesia

Kekerasan Seksual, CATAHU 2018 Sampai 2020 Sebut Aceh 20 Besar di Indonesia

Sabtu, 18 Desember 2021 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Pemerhati Masalah Sosial dan Founder Cahaya Setara Indonesia (CSI), Nur Aisyah. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kekerasan seksual yang masih terus terjadi di Aceh merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan dan merupakan hal yang urgensi. namun hal-hal seperti ini juga tak lepas dari faktor lingkungan sekitar dan masyarakat.

Faktor lingkungan di Aceh yang serba syariat Islam merupakan satu hal yang baik untuk masyarakat, namun berkaca dari itu, tentu masih saja ada hal-hal menyimpang lainnya, terutama kekerasan seksual.

Nur Aisyah atau lebih dikenal Aisyah yang merupakan Pemerhati Masalah Sosial dan Founder Cahaya Setara Indonesia-CSI memberi tanggapannya kepada Dialeksis.com, Sabtu (18/12/2021). DirInya juga Banyak terlibat dalam program - program peningkatan kapasitas dan edukasi publik, khususnya dalam bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara.

Berikut Dialog singkat bersama Nur Aisyah:

Dalam hal ini bagaimana ibu menyikapi kekerasan seksual. Secara Aceh merupakan negeri Serambi Mekkah, yang dimana masih ada banyak sekali kasus kekerasan seksual?

Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan yang tinggi di Aceh. Mari kita cermati dari data yang ada.

Bila kita melihat data, secara nasional, menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional erempuan (Tahun 2020, 2019 dan 2018), selama tiga tahun (2018 s/d 2020), Aceh termasuk kedalam 20 besar Provinsi yang tinggi angka kekerasan berbasis gendernya di Indonesia, yaitu urutan ke-9 (298 kasus) pada tahun 2020, turun ke urutan ke-16 di tahun 2019 (167 kasus) dan urutan ke-14 pada tahun 2018 (290 kasus).

Sedangkan pada tingkat Provinsi, sepanjang 2017-2019, terdapat 5953 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di provinsi Aceh, dengan kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan yang tinggi terjadi, khususnya pada anak (kelompok usia 0-17 tahun).

Nah ini yang menjadi perhatian banyak pihak (tak hanya di Aceh, tapi juga menjadi perhatian nasional), dimana disatu sisi Aceh menerapkan Syariat Islam, namun disisi lain kita mendapati realitas yang menunjukkan tingginya kekerasan seksual di Provinsi ini.

Dalam hal ini, kita tidak menyalahkan pelaksanaan Syariat Islam tersebut karena secara jelas tujuan dari pelaksanaan syariat islam ini adalah untuk membawa kemaslahatan bagi umat, dimana tujuan utama dari Syariat Islam adalah maqasid syari’ah adalah untuk merealisasikan kemanfaatan untuk umat manusia, baik urusan dunia maupun urusan akhirat mereka, Sehingga substansi dari tujuan dari syariat islam itu sendiri adalah maslahah.

Oleh karena itu, saya kira, ini harus menjadi sebuah refleksi dari semua pihak agar dapat melihat dengan jelas dan berniat baik untuk melakukan sesuatu dengan segera (karena situasi sudah darurat).

Apakah pengaruh teknologi saat ini bagian dari problematika di Aceh?

Kalau kita berbicara tentang penyebab, kita harus melihatnya dengan sangat hati-hati, karena Karena persoalan kekerasan, termasuk kekerasan seksual, sering dinyatakan penyebab terjadinya adalah karena persoalan kurangnya pendidikan (termasuk pendidikan agama), karena faktor kemiskinan (ekonomi), karena pengaruh teknologi, dan lain sebagainya.

Kesemua yang barusan saya sebutkan adalah bukan akar dari permasalah yang mendorong terjadinya kekerasan, kesemua hal tersebut adalah faktor pemicu terjadinya kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Yang menjadi akar permasalahan (penyebab mendasar) adalah karena adanya kesalahan perspektif dalam memahami relasi dan peran gender di dalam masyarakat yang terbentuk dari konstruksi sosial yang berkembang melalui norma dan nilai-nilai yang memberikan privilase (priviladge) lebih tinggi pada salah satu jenis kelamin yang akhirnya membentuk ketimpangan relasi kuasa antara individu yang mempunyai kuasa dengan individu yang tidak memiliki kuasa (kelompok rentan).

Sehingga dalam pola relasi yang timpang tersebut, terjadilah kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Nah, penyebab utama ini harus diketahui oleh berbagai pihak termasuk pemerintah, sehingga intervensi yang akan dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan , termasuk kekerasan seksual menjadi tepat dan berdampak signifikan.

Bagaimana ibu menyikapi kasus kekerasan seksual ini (Yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, dan terlebih utama untuk anak dibawah umur)?

Nah seperti saya jelaskan di atas, kekerasan seksual itu terjadi karena adanya ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku adalah pihak yang mempunyai kuasa atas tubuh korban (korban powerless).

Sehingga pelaku dapat dengan mudah melakukan kekerasan seksual kepada korban. Contoh, untuk kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kepada anaknya, penjelasannya adalah seperti ini: ayah mempunyai kuasa terhadap anak nya, sedangkan anak sebagai korban, tak berdaya melawan kehendak pelaku (ayahnya).

Demikian pula bila kita lihat dalam kasus kekerasan seksual yang baru-baru ini terjadi di salah satu lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia, yaitu pelakunya adalah guru/uztdadz (yang mempunyai kuasa) atas anak didiknya (korban yang powerless). Dengan kata lain dapat dikatakan bila “powerless-nya si korban” digunakan oleh pelaku untuk melakukan kekerasan seksual.

Dari segala point permasalah saat ini, mungkin hal apa yang menjadi urgensi sekali untuk memperbaiki permasalahan ini?

Yang pertama, seperti saya sebutkan diawal, semua pihak perlu membuka hati, tidak cukup membuka mata, karena mata tidak mampu melihat dengan mendalam permasalahan ini.

Yang kedua, perlu ada niat baik untuk segera melakukan aksi nyata, tidak hanya retorika, dan menganggap ini bukan isu penting - atau malah tahu tapi pura-pura tidak tahu, karena takut dianggap menjatuhkan marwah dan nama baik. Ini saya kira hal yang paling mendara yang harus dibenahi.

Bagaimana menurut ibu peran pemerintah kita (Aceh) dalam menilik kasus jahannam ini?

Kekerasan seksual merupakan permasalahan yang sangat kompleks, sehingga upaya pencegahan dan penanganan yang dilakukan juga harus komprehensif.

Misalnya yang terkesan selama ini upaya pencegahan dan penanganan yang dilakukan ibarat pemadam kebakaran, dimana pada saat ada kasus, semua pihak tergopoh-gopoh untuk menyelesaikannya.

Tetapi sangat perlu dilakukan pula upaya-upaya pencegahan yang sistematis dan terintegrasi, apalagi saat ini kekerasan seksual sudah menjadi sebuah bencana sosial (kedaruratan yang harus segera mendapat intervensi).

Selain itu mekanisme penanganan secara hukum juga masih terjadi dualisme, sehingga korban tidak mendapatkan kepastian hukum.

Apa solusi dan pesan ibu terhadap kita sebagai masyarakat awam dalam mengatasi dan menyelesaikan permasalahan ini?

Saya ingin menyimpulkan dan mengaskan bila kekerasan keksual di Aceh bukan lagi sebuah fenomena, tetapi sudah merupakan sebuah kedaruratan dan bencana sosial, tetapi upaya/intervensi yang dilakukan tidak berbading lurus dengan potret nyata kekerasan seksual di negeri syariat.

Dengan demikian, semua pihak wajib terlibat dalam upaya pencegahan dan penangan kasus kekerasan seksual. Boleh saja, kita memakai baju yang berbeda-beda, tapi sebagai khalifah di bumi Allah, kita berkewajiban untuk memenuhi kewajiban utama kita sebagai khalifah di bumi ini, yaitu menjalankan amal ma’ruf dan nahi mungkar, dan dalam konteks upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan ini, sangat tepat bila kita berpegang pada satu slogan “tak peduli siapapun kita, mari kita berkontribusi untuk mengakhiri kekerasan, termasuk kekerasan seksual, karena dengan begitu, kemaslahatan umat, khususnya di Aceh sebagi negeri Syariat, akan dapat tercapai.”

[ftr]
Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda