Beranda / Dialog / Pusat dan Aceh Soal Pilkada 2022 atau 2024, Begini Kata Ketua DPRA

Pusat dan Aceh Soal Pilkada 2022 atau 2024, Begini Kata Ketua DPRA

Kamis, 11 Maret 2021 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni
Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin. [Dok. FB Pribadi]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly sepakat untuk mencabut revisi UU Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021.

Artinya tidak ada Pilkada 2022 dan 2023. Sebab akan tetap dilakukan serentak pada tahun 2024 sebagaimana UU Nomor 10 Tahun 2016.

Meski demikian, Aceh tetap bersikukuh mempertahankan Pilkada 2022 dengan dalih kekhususan sebagaimana diamanatkan UU 11 Tahun 2006 atau Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang di dalamnya ikut mengatur pelaksanaan Pilkada.

Menanggapi hal itu, Dialeksis.com berkesempatan mewawancarai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Dahlan Jamaluddin pada Kamis (11/3/2021). Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana pandangan bapak terkait dengan satu keputusan resmi dari pemerintah pusat soal Pilkada serentak termasuk Aceh, tetap dilaksanakan di 2024?

Begini, batalnya revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016, artinya Pilkada tetap 2024, namun itu secara hukum nasional.

Nah yang harus diingat, saya kan bilang sebelumnya bahwa kita harus menghargai dan menghormati proses politik soal dinamika yang berkembang di nasional terkait dengan wacana normalisasi kembali pelaksanaan Pilkada, maupun wacana tentang revisi UU Pemilu. Meski demikian, konteks Aceh hal itu berbeda.

UU Nomor 10 Tahun 2016 itu mengamanatkan Pilkada itu November 2024. Di sisi lain, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 ada ketentuan di Pasal 199 yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam UU ini juga berlaku untuk Aceh, untuk DKI, DIY, Papua dan Papua Barat, kecuali diatur khusus dalam UU tersendiri.

Di Aceh, dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) diatur khusus tentang Pilkada yaitu dalam BAB 9 dan 10. Baik soal teknis penyelenggaraan maupun teknis pelaksanaannya. Jadi, dalam hal ini tidak ada persoalan, tidak ada kendala apapun terkait hal itu, hanya keputusan politik saja, tinggal kita lihat saja perkembangannya ke depan.

Dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sudah melaksanakan tanggung jawabnya dengan menetapkan tahapan Pilkada Aceh sebagaimana yang dilakukan beberapa waktu lalu.

Bagaimana dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkankan kewenangan pengelolaan rezim Pilkada oleh Pemerintah Aceh itu tidak masuk lagi?

Kita belajar kepada keputusan MK sebelumnya. Ketika UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 digugat oleh DPRA, digugat oleh saudara Tiyong dan Kausar, terkait dengan penyelenggaraan Pilkada, keputusannya jelas bahwa mengembalikan ketentuan pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 terkait dengan penyelenggaraan Pilkada di Aceh.

Nah keputusan MK itu sudah cukup menjadi Yurisprudensi (pedoman bagi hakim yang lain) bahwa negara menghormati dan mengakui kekhususan sebagaimana konstitusi dasar kita.

Lalu ada dua item dimana MK dalam amar putusannya itu, mencabut kewenangan rezim pengelolaan Pilkada tidak masuk lagi menjadi pengelolaan secara otonom?

Isi putusan MK: "Pertama, dengan menggunakan dasar pertimbangan MK maka MK Nomor 5 PPU Tahun 2007 bertanggal 23 Juli Tahun 2007 dan putusan MK Nomor 35 PU Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 memutuskan Pemilihan Kepala Daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Kedua, Hubungan antara UU Nomor 11 Tahun 2006 dengan UU Pemda bukan merupakan hubungan yang bersifat khusus dan hubungannya bersifat umum"

Ya khusus Aceh, MK mengakui UU Nomor 11 Tahun 2006. Yang intinya sepanjang ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2006 itu tidak dicabut, artinya dia tetap berlaku. Dan tidak ada keputusan pencabutan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 sampai dengan hari ini.

Sama halnya dengan saudara Tiyong dan Kausar Cs, mereka memenangkan gugatan ini, dikabulkan. Karena ketentuan itu (Pilkada di Aceh) tetap berlaku selama tidak dicabutnya UU Nomor 11 Tahun 2006.

Nah sekarang apa solusinya agar ini menjadi satu hal yang pasti dalam menentukan langkah dan arah Pilkada Aceh ke depan?

Kalau itu dalam konteks penyelenggaraan Pilkada, posisinya di Aceh penyelenggaranya KIP Aceh. Mereka sudah menentukan program, jadwal dan tanggal tahapan. Pemerintah Aceh, eksekutif dan legislatif dalam konteks ini mendukung pelaksanaannya.

Nah satu sisi dukungan DPRA sudah menjalankan tugasnya dengan mengirimkan surat berakhirnya masa jabatan gubernur sebagai salah satu dasar untuk penyusunan program jadwal tahapan, sekarang cuma teknis anggaran. Itu teknis sekali, nomenklaturnya ada di eksekutif.

Coba didiskusikan dengan eksekutif terkait dengan anggaran pelaksanaan Pilkada Aceh 2022. Kan tidak banyak juga komen eksekutif terkait dengan hal itu.

Lalu bagaimana dengan keputusan KPU yang memang memberhentikan tahapan Pilkada Aceh 2022?

Itu tidak memberhentikan, itu surat balasan terhadap KIP Aceh mengenai rancangan program jadwal tahapan sebelum KIP Aceh melakukan pleno penetapan. Telat dibalas, dan balasannya juga meminta hanya menunggu untuk berkoordinasi, bukan membatalkan jadwal tahapan Pilkada Aceh.

Menunggu untuk berkoordinasi karena di tiba-tiba nasional ada kekuatan politik, dalam proses politik nasional yang menginginkan perubahan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016.

Nah, hari ini keputusannya sudah clear, tidak ada perubahan (revisi UU 7 Tahun 2017 dan UU 10 Tahun 2016). Tapi tanpa ada revisi, Aceh memang diatur khusus dalam pelaksanaan Pilkada dalam BAB 9 dan 10 UU Nomor 11 Tahun 2006. Dan sampai dengan detik ini tidak ada pencabutan pengaturan soal Pilkada yang ada dalam UUPA.

Kita menghormati dan menghargai proses politik di sana, tapi kita juga harus menghormati dan menghargai apa yang sudah diakui negara terhadap kekhususan Aceh. Seperti itu. Sepanjang ketentuan yang ada dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tidak dicabut, artinya dia tetap berlaku.

Nah apakah nanti ada koordinasi lanjutan antara DPRA, KIP Aceh dan Pemerintah Aceh untuk melakukan koordinasi ulang memastikan langkah selanjutnya dengan pemerintah pusat?

Pasti, pasti. Dalam bernegara, berkoordinasi sudah pasti. Sebagai penyelenggara pemerintahan, koordinasi itu kan memang sesuatu yang harus dilakukan.

Ini terus berproses, termasuk juga DPRA sedang melakukan revisi terhadap Qanun Nomor 12 tentang Pilkada Aceh. Revisi terkait beberapa pasal yang dianggap perlu ditinjau ulang, atas kesepakatan eksekutif dengan legislatif. Cuma belum pengesahan saja.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda