Beranda / Liputan Khusus / Diaspora / Perkembangan Kapabilitas Manusia melalui Perjalanan Studi: Pembelajaran dan Refleksi Identitas Diri

Perkembangan Kapabilitas Manusia melalui Perjalanan Studi: Pembelajaran dan Refleksi Identitas Diri

Selasa, 01 Desember 2020 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muhammad Aulia

Muhammad Aulia, MTESOL., M.A., PhD (Not conferred yet) , Pengajar dan Peneliti Universitas Syiah Kuala


Sejarah mencatat dengan jelas dengan niat mencapai ridha Allah SWT, migrasi, pertukaran informasi dan pengetahuan, masyarakat multikultural, mendorong perubahan sosial. Dan, sudah dilakukan jauh hari sebelum istilah “globalisasi” diperkenalkan di dunia barat. Bagaimana mungkin, Islam dapat disebarkan di seluruh muka bumi dalam waktu yang tergolong singkat dan mampu menciptakan sebuah masyarakat yang madani di masa lampau. 

Globalisasi bukan sebuah momok yang harus ditakuti, saatnya kita kembali merefleksikan potensi kita dengan melakukan revitalisasi budaya: kembali kepada identitas Aceh yang berkarakter Islami dan menguasai teknologi (Meuadab dan Carong) sebagai upaya untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang berperadaban dan bermartabat (Qanun No. 05 Tahun 2008) sebagai sebuah sintesa antara akar pendidikan dayah (strukturalis) dan pendidikan formal serta vokasional (konstruktivis). Dalam kesempatan yang singkat ini, penulis mengajak pembaca untuk bernavigasi dalam sebuah kasus perkembangan pribadi penulis melalui metode autoetnografi.

Paska Perdamaian Aceh dan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dimulai (2005 - 2009), sumber daya manusia (SDM) Aceh memiliki momentum untuk bersanding dengan generasi diluar Aceh. Harus diakui simpati masyarakat internasional terhadap Aceh sangat besar. Hampir seluruh kepakaran (expertise) terlibat dan berkontribusi untuk membantu Aceh dalam segala bentuk baik pada organisasi internasional, lembaga pemerintah, maupun masyarakat sipil. Yakin sekali, proses transfer of knowledge/skills dalam segala aspek terjadi karena SDM Aceh terlibat langsung dan bekerja mendampingi para pakar.

Satu hal pertanyaan yang muncul dari salah seorang kolega penulis kala itu: “Mengapa SDM Aceh cenderung berada di Aceh, sedangkan secara geografis Malaysia dan Singapura hanya maksimal sekitar 3 jam?”. Malaysia sering dikunjungi oleh masyarakat Aceh dengan berbagai tujuan seperti berdagang, bertamasya, dan berobat. Namun, masyarakat Aceh belum “melirik” Singapura. Padahal Singapura adalah negara dengan GDP $335 Miliar pada tahun 2019 (World Bank, 2020) beserta seluruh unsur pendukung lainnya termasuk universitas terbaik di dunia. Dengan identitas ke-Acehan saya, pertanyaan ini dijawab dengan dampak negatif pada pendidikan Aceh akibat konflik dan bencana alam yang berkepanjangan membuat SDM Aceh termarjinalkan (Shah & Cardozo, 2014). Alhasil, kualitas lulusan sekolah kita sangat anjlok karena fasilitas dan penunjang pendidikan sangat terbatas.

Pada masa rekontruksi dan rehabilitasi inilah, Pemerintah Aceh beserta seluruh pemangku kepentingan membuat terobosan - terobosan seperti memberikan beasiswa kepada SDM Aceh untuk menuntut ilmu di pelbagai tingkatan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Sangat jelas masih ingatan penulis Komisi Beasiswa Aceh menjadi organisasi representatif Pemerintah Aceh yang melakukan kegiatan rekrutmen terhadap kandidat penerima beasiswa. Penulis, termasuk pada penerima beasiswa tersebut untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Asing (Arab/ Inggris/Jerman) sebelum mendaftar di universitas terbaik dunia sesuai dengan kapasitas, keahlian, dan bidang masing-masing.

Masih sangat segar di benak penulis di Deakin University, Australia (2009-2010), perjuangan yang sangat menantang harus dihadapi karena banyak sekali perbedaan “budaya belajar” antara Aceh dan Australia. Beberapa hal yang utama adalah menulis menjadi tolak ukur penilaian, membaca bahan pembelajaran sebelum masuk di kelas sehingga kita bisa memberikan ide/kontribusi dan berdiskusi, perpustakaan menjadi tempat belajar utama sampai larut malam dan menginap. Dan hal ini bukan hanya terjadi pada penulis pribadi, tetapi juga mahasiswa/i lain dari pelbagai belahan dunia. Di konteks inilah, identitas global terbentuk karena mahasiswa/i mempelajari dan menganalisa isu-isu pendidikan dari beragam konteks, dan mencoba mengkritisi kebijakan dan penerapan dari pelaksanaan pendidikan tersebut.

Jauh setelah kembali ke Aceh dan diberikan kesempatan untuk kembali hijrah ke Negeri Kangguru pada tahun 2014, penulis terpilih menjadi salah satu peneliti muda perwakilan Asia Tenggara (Sydney Southeast Asia Centre - SSEAC) untuk menawarkan solusi alternatif atas konflik di Dungog, sebuah kota kecil di New South Wales, antara perusahaan energi AGL (Australian Gas Light) dan masyarakat peternak lokal yang pro dan kontra. Perusahaan energi menawarkan Coal Seam Gas (Gas Batu Bara) dengan sumur - sumurnya di tanah masyarakat. Perselisihan terjadi karena adanya residu berupa air dan polusi terhadap cadangan air bawah tanah. Para peneliti muda mencoba menawarkan sebuah riset terapan yang bisa menjadi solusi bagi pihak yang bertikai. Harus diakui transparansi, akuntabilitas, dan standar pengelolaan sumber daya alam yang ketat masih menjadi permasalahan tanpa mengenal maju tidaknya perekonomian sebuah negara. 

Penulis merefleksikan identitas Aceh kala itu; menjelaskan bagaimana perusahaan mega minyak dan gas seperti ExxonMobil dan Arun belum bisa meningkatkan kesejahteraan sosial para penduduk disekitarnya. Bahkan menimbulkan konflik jangka panjang dan melahirkan banyak pelanggaran HAM berat yang sangat kompleks (Taylor, 2004). Penulis dengan kelompoknya menawarkan dua kelompok studi kasus peternak yang pro dan kontra untuk diteliti dampak sosial mereka baik kuantitatif dan kualitatif dalam jangka waktu tertentu, misalnya 5 tahun dan 10 tahun. Meskipun penulis dan kelompok tidak terpilih karena besarnya sumber daya yang dibutuhkan, rencana penelitian tersebut tetap dihargai dan digunakan di waktu akan datang.

Identitas Aceh bukan hanya didapat di lingkungan formal bahkan juga sosial. Diaspora Aceh sangat besar di Australia. Hal ini dikarenakan kedekatan geografis antara Pulau Sumatera dan Benua Australia. Ada banyak komunitas Indonesia, salah satunya komunitas Masyarakat Aceh Australia yang bernaung pada organisasi resmi Iskandar Muda Youth and Education Centre Incorporated (ISMUD) sangat terbuka dan ramah untuk mengajak muhajirin seperti penulis untuk terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat. Para anggota komunitas ini memiliki status yang beragam dan sudah tinggal di Sydney secara permanen dan bahkan sudah menjadi warga negara Australia. Organisasi Indonesia yang lain adalah Ashabul Kahfi Islamic Centre (AKIC) yang dikelola masyarakat Indonesia terdiri dari Aceh, Makasar, Jawa, Melayu, dan lain - lain. Kedua organisasi ini sekarang sedang berupaya untuk membangun masjid di kota Sydney. Seluruh rindu akan kampung halaman sirna ketika berjumpa dan bersilaturahmi dengan komunitas ini.

Identitas ke-Islaman penulis juga tak kalah tumbuh ketika penulis memilih tinggal di salah satu lingkungan pusat perkembangan Islam terbesar di Australia: Lakemba (Lawson, 2010). Sebagai golongan minoritas, identitas Islam mulai sedikit mendapat pengakuan atas kontribusinya pada Australia. Dengan kebebasan beragama yang dianut ditambah persatuan dan kesatuan antar umat muslim, perkembangan Islam tak dapat dibendung: jumlah tempat beribadah menjadi salah satu indikator. Menariknya, dalam satu tempat ibadah, penulis menjumpai lintas mazhab dalam sebuah lokus. Tidak ada yang pernah menyinggung bahwa satu mazhab lebih baik dari pada yang lain. Bahkan pembahasan mazhab diberikan secara proporsional dalam kajian - kajian yang diberikan. Sebuah keberkahan tersendiri bisa melihat fenomena ini.

Sebagai pengajar Bahasa Indonesia dan Budaya Indonesia di Australia, penulis juga sering memposisikan diri sebagai representatif warga Indonesia yang baik. Dengan pembelajar yang kebanyakan adalah orang asing dari berbagai latar belakang dan tujuan (bisnis, pemerintahan, sosial dan budaya, wisata, dan lain-lain). Pengalaman menunjukkan karakter ke-Indonesiaan dan ke-Acehan sebagai identitas lokal sangat penting. Salah satunya seperti menjelaskan stereotip yang sering muncul dibenak orang asing, disiplin, berpikiran terbuka, kooperatif, toleransi, dan lain sebagainya. Para pembelajar asing ini sering ‘terperdaya’ dengan media atas prasangka yang terbangun lebih awal. Tugas penulis untuk membantah stereotip dan prasangka tersebut. Bahkan ketika penulis memperkenalkan diri berasal dari Aceh, banyak pembelajar yang merasa terkejut dan kikuk karena stereotip yang terbangun tentang Aceh dalam diri mereka.

Penulis juga sering merasakan pengalaman sebagai warga negara dunia ketiga/pinggiran atau peripheral identity dalam keseharian. Dalam meneliti, penulis dengan kemampuan Bahasa Inggris terbatas sering “diremehkan” atau “dinomor duakan”, seolah - olah penulis dan para peneliti dari Asia mempunyai kemampuan yang “lemah”. Sebagai pengumpul dan penganalisa data pada sebuah lembaga riset Micromex yang membantu korporat dan pemerintah teritori (Konsil) dalam mengambil kebijakan dan layanan, penulis sering “diacuhkan” karena berfisik dan berpenampilan seperti orang Indonesia atau bahkan Asia Tenggara. Hal ini sudah menjadi kebiasaan dan lumrah bagi penulis karena memahami lingkungan yang dikunjungi. Beberapa hasil dari pembelajaran dan refleksi diri atas perjalanan hidup diatas.

Pertama, perkembangan kapasitas mental dan sosial manusia bersifat dinamis dan tergantung pada sumber daya yang tersedia disebuah lingkungan yang diserap oleh seorang individu (Vygotsky, 1981). Paradigma, filosofi kehidupan, pola pikir (mindset), perspektif, nilai, tingkah laku dan lain-lain sangat tergantung pada rumit atau sederhananya sistem sosial budaya yang berlaku disebuah lingkungan tersebut. Hal ini yang membentuk seluruh karakter, budaya belajar, mental, daya juang, dan lain - lain dalam kehidupannya. Menariknya, karena bersifat dinamis, seorang individu akan bisa menyerap sistem sosial budaya tertentu ketika mengunjungi sebuah tempat sesuai dengan penerimaan konsep diri individu tersebut. Penerimaan tergantung pada paradigma, keyakinan, dan pola pikir yang awal tumbuh, dan berubah bentuk dari sikap yang ditunjukkan dalam keseharian. Contohnya, seseorang akan sangat merasa bersalah apabila membuang sampah sembarangan karena sudah biasa tertib dalam melakukan hal itu ditempat sampah yang disediakan. Atau contoh yang lebih abstrak, seseorang akan sangat sulit menghormati orang yang berpendapat berbeda daripadanya. Padahal, menghormati pendapat yang berbeda sah-sah saja.

Sering terjadi “gagal” paham atas proses perkembangan unik ini. Banyak orang merasa bahwa individu yang hijrah pada suatu tempat harus mengikuti gaya atau pola hidup dari anggota masyarakat setempat. Padahal sebaliknya, memahami dan menghormati saja sudah cukup, bukan untuk ditiru (Holliday, 2013). Bayangkan apabila sebuah kebiasaan tidak baik ditiru oleh generasi muda kita. Hal ini bukanlah proses penerimaan yang dimaksud diatas. Sama halnya apabila kita menjadi tuan rumah (host) di Aceh sendiri dalam konteks wisata Islami. Tunjukkan kompleksitas identitas kita sebagai muslim yang harus mengkonsumsi makanan halal dan lain sebagainya. Apabila pengunjung memahami dasar filosofis dari hal itu, mereka pasti akan menghormati keputusan yang kita ambil. Inilah dasar yang dapat menumbuhkan nilai toleransi, mudah bekerjasama, dan saling menghormati antar manusia yang berbeda latar belakang budaya, keyakinan, ras, gender, dan lain-lain.

Mengenai sensitivitas dalam berinteraksi, penelitian menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia paling sulit bekerjasama dan berbaur dalam sebuah komunitas yang multikultural dan multietnis (Panggabean, 2004). Apalagi bagi generasi muda Aceh yang terimbas pada konflik dan bencana, butuh waktu resolusi konflik diri menghilangkan prasangka dan kecurigaan untuk bisa mendapat pengakuan dan kepercayaan diri dalam berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain (Abu-Nimer, 2001).

Dalam hal ini, penulis selalu mengadvokasi penerapan pendidikan sosial budaya melalui pembelajaran bahasa asing (Arab/Inggris/Mandarin, dll). Pendidikan ini dimulai dari mengenal diri: budaya dan sejarah Aceh termasuk didalamnya nilai - nilai Islami yang dilahirkan oleh endatu. Dan kemudian, hal ini diikuti oleh pembelajaran sosial budaya orang/negara lain. Untuk mengenal orang lain, kita harus mengenal diri kita terlebih dahulu (Liddicoat & Scarino, 2013). Pendidikan ini harus diarus utamakan di dalam segala jenjang. Pada akhirnya, generasi muda Aceh akan lebih memahami dan mencintai agamanya, budayanya, dan dirinya sendiri, meskipun dia melanglang buana ke negeri orang dan terus berkembang dengan identitas global yang terbaharukan. Hasilnya, globalisasi yang terjadi tidak menggerus identitas mereka, malah mereka memahami dan menggunakan kekuatan globalisasi untuk meningkatkan kapasitas diri dengan lanskap yang lebih luas di bumi Allah SWT tanpa batas untuk mencari keberkahanNya. Dan pada akhirnya kembali mengabdi di tanah kelahiran.

Semoga menginspirasi! Wallahu A’lam Bisshawab.

Penulis: Muhammad Aulia, MTESOL., M.A., PhD (Not conferred yet)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda