DIALEKSIS.COM | Rusia - Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia (PYM) Teungku Malik Mahmud Al-Haytar, tampil sebagai pembicara dalam forum internasional Eastern Economic Forum (EEF) 2025 di Vladivostok, Rusia pada 3-6 September 2025.
Forum ini digelar di bawah naungan Presiden Federasi Rusia dan menjadi ajang strategis pertemuan pemimpin dunia, pebisnis global, serta investor internasional.
Kehadiran Wali Nanggroe Aceh dalam forum tersebut disebut sebagai kebanggaan tersendiri, baik bagi rakyat Aceh maupun dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kami menyampaikan apresiasi tulus kepada Pemerintah Rusia dan Yayasan Roscongress atas undangan yang hangat serta sambutan yang ramah kepada kami,” ujar PYM Malik Mahmud saat membuka presentasinya.
Dalam pidatonya, Malik Mahmud juga menyinggung bencana gempa bumi dan tsunami yang mengguncang Semenanjung Kamchatka pada 30 Juli 2025 lalu. Ia menyampaikan simpati mendalam dari rakyat Aceh kepada masyarakat Rusia yang terdampak.
“Rakyat Aceh turut merasakan duka ini, karena kami juga pernah mengalami tsunami besar tahun 2004. Kami berdiri dalam solidaritas bersama Anda dan berdoa untuk pemulihan serta ketangguhan,” ucapnya.
Aceh di Persimpangan Peradaban
Malik Mahmud memaparkan bahwa Aceh adalah wilayah strategis yang terletak di ujung utara Pulau Sumatra, berdiri tegak di gerbang barat Indonesia. Selama berabad-abad, Aceh telah menjadi persimpangan peradaban global, tempat bertemunya para pedagang, cendekiawan, dan kebudayaan dari Asia, Timur Tengah, hingga Eropa.
“Kini, sebagai bagian Indonesia yang damai dan dinamis, Aceh tetap menjadi gerbang strategis yang menghubungkan Samudra Hindia dan Asia-Pasifik,” jelasnya.
Lima Sektor Unggulan Aceh
Dalam forum ekonomi yang dihadiri ribuan peserta itu, Malik Mahmud menekankan lima sektor utama yang menjadi kekuatan Aceh sekaligus peluang kerja sama internasional:
Pertanian
Aceh memiliki lahan subur dengan komoditas kelas dunia. Kopi Arabika Gayo, yang sudah diakui secara internasional dan dilindungi Indikasi Geografis, menjadi ikon utama. Selain itu, Aceh juga menghasilkan kakao, kelapa sawit, kelapa, padi, buah tropis, dan rempah.
Peternakan dan Perikanan
Padang penggembalaan luas mendukung budidaya sapi dan kambing. Sementara garis pantai sepanjang 1.600 kilometer menyimpan potensi besar perikanan dan akuakultur, khususnya tuna, udang, dan rumput laut, yang sudah menembus pasar internasional.
Kehutanan dan Keanekaragaman Hayati
Ekosistem Leuser menjadi hutan hujan tropis penting di Asia Tenggara. Kawasan ini merupakan habitat spesies langka seperti gajah, harimau, orangutan, dan badak Sumatra. Potensi konservasi, ekowisata, serta kolaborasi ilmiah terbuka lebar di sektor ini.
Energi dan Sumber Daya Alam
Aceh menyimpan cadangan minyak dan gas yang historisnya diwakili oleh Lapangan Gas Arun. Kini, Aceh membuka blok baru untuk eksplorasi migas, sekaligus bergerak ke energi terbarukan”tenaga air, panas bumi, dan surya”guna mendukung tujuan keberlanjutan global.
Pariwisata dan Budaya
Selain alamnya yang indah dengan pantai perawan, terumbu karang, dan pegunungan megah, Aceh juga dikenal sebagai “Serambi Mekkah” dengan tradisi Islam yang kuat. Atraksi budaya seperti Tari Saman (yang diakui UNESCO) hingga kuliner khas mi Aceh dan kopi Aceh menjadi daya tarik tersendiri.
Dari Konflik Menuju Perdamaian
Malik Mahmud menekankan bahwa Aceh bukan hanya kaya akan sumber daya, tetapi juga memiliki kisah ketangguhan. Dua dekade lalu, Aceh berhasil keluar dari konflik panjang melalui perjanjian damai yang didukung Pemerintah Indonesia dan komunitas internasional.
“Sejak itu, Aceh merengkuh perdamaian, memperkuat tata kelola demokratis, dan membuka pintu bagi kerja sama internasional. Inilah sebabnya kami melihat banyak kesamaan dengan Kawasan Timur Jauh Rusia,” ungkapnya.
Ia menutup presentasi dengan ajakan kolaborasi antara Aceh dan Rusia, terutama dalam mengembangkan sektor ekonomi berkelanjutan dan membangun kemitraan strategis di kawasan Asia-Pasifik. [*]