Sabtu, 02 Agustus 2025
Beranda / Berita / Dunia / Turki Jadi Kiblat Transplantasi Rambut Dunia, Artis hingga Elit Politik Indonesia Ikut Antre

Turki Jadi Kiblat Transplantasi Rambut Dunia, Artis hingga Elit Politik Indonesia Ikut Antre

Jum`at, 01 Agustus 2025 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi transplantasi rambut di Turki. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Internasional - Dalam dunia estetika modern, kepercayaan diri tak lagi hanya soal pencapaian. Penampilan ikut bicara. Dan untuk urusan rambut, jutaan orang kini menoleh ke Turki. Negara dua benua itu menjelma menjadi episentrum transplantasi rambut dunia dan Indonesia ikut mengalaminya.

Fenomena ini bukan baru. Sejak awal dekade 2010 - an, Turki mulai membangun reputasi sebagai pusat layanan transplantasi rambut berbiaya terjangkau namun berkualitas tinggi. Klinik-klinik di Istanbul, Ankara, dan Izmir mendadak jadi langganan pasien dari seluruh dunia. Mulai dari warga biasa, pesohor hiburan, hingga elit penguasa, memilih "menyulam" kepercayaan dirinya di Negeri Ottoman.

"Pasien datang bukan cuma karena hasil yang bagus. Tapi juga karena seluruh pengalaman mediknya terasa seperti wisata," kata seorang agen wisata medis di Istanbul yang kerap mendampingi pasien dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Harga menjadi salah satu daya pikat utama. Di Turki, prosedur transplantasi rambut dengan teknik FUE (Follicular Unit Extraction) dan DHI (Direct Hair Implantation) bisa dilakukan dengan biaya mulai USD 2.000 jauh lebih murah dibandingkan negara - negara Eropa Barat yang tarifnya berkisar USD 10.000 hingga USD 20.000. Padahal hasil dan teknologinya relatif setara.

Namun bukan hanya karena harga. Pelayanan profesional, teknologi yang terus diperbarui, hingga sistem satu pintu (dari konsultasi, tindakan, hingga hotel dan penerjemah) membuat Turki unggul dalam paket lengkap. Pemerintah Turki bahkan secara terbuka mendukung sektor ini dengan regulasi ramah wisatawan medis.

Dalam beberapa tahun terakhir, nama Turki makin lekat di telinga publik Indonesia bukan hanya karena drama Turki atau wisata halal, tapi karena barisan artis dan figur publik yang mengunggah dokumentasi transplantasi rambut mereka di sana.

Anang Hermansyah, misalnya, secara terbuka membagikan pengalaman tanam rambutnya di Istanbul. Disusul kemudian oleh Vicky Prasetyo, Atta Halilintar, dan sejumlah influencer papan atas. Dari politikus hingga pejabat tinggi, banyak yang ikut antre meski diam-diam, menghindari sorotan kamera. Salah satu pengusaha nasional bahkan menyebut transplantasi rambut sebagai "investasi citra jangka panjang".

Dalam era media sosial dan citra visual, rambut menjadi simbol vitalitas. Di dunia politik dan bisnis, penampilan bukan sekadar pelengkap ia bagian dari bahasa kekuasaan. “Orang akan melihat kita beda jika terlihat lebih muda dan segar. Rambut bisa memberi itu,” ujar seorang konsultan citra publik di Jakarta.

Redaksi Dialeksis menemukan bahwa sejak tahun 2015, pertumbuhan wisata medis di Turki, khususnya untuk layanan estetika, melonjak signifikan. Data dari Kementerian Kesehatan Turki menyebutkan lebih dari 500 ribu wisatawan medis datang setiap tahun. Transplantasi rambut menyumbang lebih dari 60 persen dari angka tersebut.

Turki pun menjadikan ini sebagai industri strategis. Klinik-klinik yang dulunya tersembunyi di jalanan sempit Istanbul kini berubah menjadi pusat estetika berstandar internasional. Mereka mempekerjakan tenaga medis bersertifikat, melayani pasien dari Timur Tengah, Afrika, Asia Tenggara, hingga Amerika Latin.

Tren ini mengubah wajah kota. Hotel - hotel bintang empat bertransformasi menjadi klinik-klinik estetika eksklusif. Paket “tanam rambut sambil liburan” jadi produk wisata unggulan. Bahkan ada penerbangan reguler dari beberapa kota Afrika hanya untuk wisata medis ke Istanbul.

Transplantasi rambut tak lagi dipandang sekadar kebutuhan kosmetik, tetapi sebagai bagian dari konstruksi identitas baru. Dalam masyarakat yang makin menaruh perhatian besar pada citra, terutama di era digital, tampilan luar menjadi modal sosial.

Di Indonesia, fenomena ini ditopang oleh iklim sosial yang permisif terhadap prosedur estetika. Stigma mulai berkurang, bahkan berubah menjadi aspirasi. Semakin banyak orang yang melihat transplantasi rambut bukan sebagai tindakan malu-malu, tapi pernyataan terbuka tentang kontrol atas tubuh dan penampilan.

"Menjaga penampilan adalah bagian dari investasi diri," kata seorang figur publik yang tak ingin disebut namanya, setelah menjalani transplantasi rambut di Istanbul. "Saya merasa lebih percaya diri saat bicara di depan publik. Itu tidak ternilai."

Kini, Turki tak hanya dikenal karena Hagia Sophia, Baklava, dan kota tua Istanbul. Ia juga identik dengan hair transplant. Negara ini berhasil menggabungkan antara keahlian medis, branding internasional, dan keramahan budaya dalam satu paket yang nyaris tak tertandingi.

Indonesia mungkin masih tertinggal jauh dalam membangun ekosistem serupa. Tapi fenomena ini memberi pelajaran penting: di dunia yang makin visual, bahkan rambut pun bisa jadi diplomasi lunak. Dan Turki, lebih dulu membaca peluang itu lalu menjadikannya industri bernilai miliaran dolar.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI