Beranda / Berita / Dunia / Ungkapan Etnis Rohingya di Myanmar, Trauma Disiksa Bila Militer Kembali Berkuasa

Ungkapan Etnis Rohingya di Myanmar, Trauma Disiksa Bila Militer Kembali Berkuasa

Sabtu, 13 Februari 2021 15:45 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi Etnis Rohingya. [Dok. AFP/TAUSEEF MUSTAFA]


DIALEKSIS.COM - Etnis minoritas Rohingya di Myanmar yang tidak memiliki kewarganegaraan dilanda ketakutan kekerasan lebih lanjut menimpa mereka karena militer kembali berkuasa.

Sebagian besar minoritas Muslim Rohingya telah teraniaya bertahun-tahun di kamp sempit, tanpa kebebasan bergerak atau mengakses perawatan kesehatan, hidup dalam kondisi yang disebut kelompok HAM sebagai "apartheid".

Mereka masih trauma atas tindakan keras militer pada 2017, yang menghancurkan seluruh desa dan membuat sekitar 750.000 orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh dengan jumlah kasus pemerkosaan dan pembunuhan di luar hukum.

"Di bawah pemeirntahan demokrasi, kami memiliki sedikit harapan, kami dapat kembali ke rumah kami," ujar seorang narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya seperti yang dilansir dari AFP pada Sabtu (13/2/2021). 

Narasumber ini berusia 27 tahun yang sementara tinggal di kamp dekat kota Sittwe. 

"Sekarang, pasti kami tidak akan dapat kembali," lanjutnya.

Kasus Myanmar dan para jenderal diadili dalam pengadilan PBB untuk tuduhan genosida dari kekerasan pada 2017 silam di Rakhine utara, di mana di sana mayoritas populasi Rohingya tinggal sebelum dieksodus. 

Pemimpin militer Min Aung Hlain, yang sekang mengepalai junta militer baru, yang berulangkali mengklaim tindakan keras diperlukan untuk membasmi pemberontak di negara bagian Rakhine utara. 

"Ada risiko nyata bahwa (rezim ini) dapat menyebabkan kekerasan baru di Rakhine," kata Tun Khin, presiden kelompok lobi Organisasi Rohingya Burma Inggris.

Tak lama setelah merebut kekuasaan pada 1 Februari, junta berjanji akan mematuhi rencana untuk memulangkan para pengungsi Rohingya dari Bangladesh. Rencana itu adalah sebuah skema yang telah terbengkalai selama bertahun-tahun.

Namun, "tidak ada yang percaya kata yang mereka ucapkan," kata Tun Khin.

Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil yang digulingkan dan ditahan oleh para jenderal pada pekan lalu, telah melakukan perjalanan ke Den Haag untuk membela mereka dari tuduhan genosida saat menjabat.

Tetapi, di seberang perbatasan di Bangladesh, pengungsi Rohingya telah mengirim pesan dukungan kepada pengunjuk rasa anti- kudeta yang menyerukan agar Suu Kyi kembali.

Beberapa telah mengunggah foto diri mereka di media sosial sambil memberikan salam penghormatan tiga jari, yang menandakan mereka menentang aturan militer.

"Kali ini akan berbeda" Negara bagian Rakhine, rumah bagi Rohingya dan mayoritas etnis Rakhine Buddha, telah menjadi pusat konflik selama beberapa dekade.

Dalam beberapa tahun terakhir, militer telah memerangi Tentara Arakan, yang memperjuangkan untuk mendapatkan hak otonomi yang lebih banyak bagi populasi etnis minoritas di negara bagian Rakhine itu.

Namun beberapa hari setelah kudeta, junta mengakhiri penutupan internet selama 19 bulan dan menegaskan kembali komitmen untuk gencatan senjata dengan kelompok militan tersebut.

Rezim juga mengumumkan anggota partai nasionalis Rakhine lokal akan bergabung dengan kabinetnya.

Junta kemudian membebaskan mantan pemimpin partai Aye Maung, yang dipenjara oleh pemerintah Suu Kyi pada 2019, atas pidato yang diberikan orator kuat di negara bagian Rakhine sehari sebelum kerusuhan mematikan.

Pembebasan Aye Maung oleh junta sebagai bagian dari amnesti massal.

Beberapa di negara bagian percaya bergabung dengan rezim militer akan memberi mereka kesempatan yang lebih baik untuk mengejar otonomi yang lebih besar dari seluruh negeri. 

"Kali ini pemerintahan militer akan berbeda," kata penduduk Minbya, Myo Kyaw Aung.

Kyaw Aung lalu, menambahkan bahwa kekuatan Partai Nasional Arakan (ANP) dan Tentara Arakan memberi komunitas etnis Rakhine pengaruh yang lebih besar di meja perundingan.

Namun, yang lain memiliki kekhawatiran yang sama tentang Rohingya saat memikirkan kembali ke pemerintahan militer.

Tun Maung masih ingat saat dia bersembunyi di sumur untuk menghindari tembakan selama junta Myanmar sebelumnya. 

Saat itu ia tinggal di jantung kuil yang berabad-abad sebelumnya merupakan kerajaan yang diperintah oleh raja Rakhine. 

"Saya telah hidup melalui kediktatoran militer dan pemerintahan sipil...Saya tahu perbedaannya," kata pria berusia 60 tahun itu, yang meminta untuk menggunakan nama samaran. 

"Kami tidak bisa menerima hidup kami berada di bawah kekuasaan militer lagi," terangnya.

Dia menceritakan bagaimana orang-orang di desanya dipaksa oleh tentara untuk bekerja secara gratis, membuat jalan dan membangun barak tentara.

Keluarga etnis Rakhine yang menolak menghadapi intimidasi, dan terkadang bahkan didenda. 

"Saya sangat membenci mereka," katanya kepada AFP. 

"Saya akan memilih seseorang yang memukul saya dua kali dari pada seseorang yang memukul saya 5 kali," ungkapnya. (kompas.com)

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda